tag:blogger.com,1999:blog-30160614271103276142024-02-18T23:55:16.193-08:00al-Firqoh al-NajiyyahKelompok yang Berjaya...Nor Baizura bt Zulkiflihttp://www.blogger.com/profile/03309953886503563441noreply@blogger.comBlogger56125tag:blogger.com,1999:blog-3016061427110327614.post-54860717149494498952011-05-13T23:58:00.000-07:002011-05-14T00:00:24.720-07:00MINYAK MORHABSHI AJAIB<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgCCE4901eSLNbjBGlXqAbwSy5shKdJyqJpWcnf17U8jP4_42dqfXnLJHpRLQJWce5UzSTLANsFZNZzkAro7Lw2hYewgabTIoiVQuE0J4Mz7ER1068Nn-bkF6CnSTQJJ-OHCJS6Yb1gxr_c/s1600/morhabshi.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 178px; height: 400px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgCCE4901eSLNbjBGlXqAbwSy5shKdJyqJpWcnf17U8jP4_42dqfXnLJHpRLQJWce5UzSTLANsFZNZzkAro7Lw2hYewgabTIoiVQuE0J4Mz7ER1068Nn-bkF6CnSTQJJ-OHCJS6Yb1gxr_c/s400/morhabshi.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5606413519261895506" /></a><br />Berikut adalah penyakit yang dikenalpasti sering disembuhkan menggunakan Minyak Morhabshi:<br /><br />histeria <br />dirasuk syaitan <br />sihir (buatan orang) <br />santau <br />bayi 'diganggu' <br />bayi 'kembung' <br />sawan tangis <br />pusat bayi (agar mudah tanggal) <br />batuk <br />lelah/asma <br />sakit gigi <br />senak <br />cirit birit <br />kanser (lihat testimoni kami berkenaan pesakit barah hati) <br />kayap <br />kurap <br />gatal-gatal (termasuk celah jari kaki & pangkal paha) <br />jerawat batu (termasuk bisul kecil pada muka) <br />kudis <br />bisul <br />melecur terkena api atau air/minyak panas <br />gigitan serangga & binatang bisa <br />lenguh <br />terseliuh <br />simpul biawak (krem) <br />sakit kepala <br />mabuk-mabuk & meloya <br />muntah. <br />::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::<br /><br />Cara penggunaan:<br /><br />Untuk penyakit luaran, sila gunakan secara sapuan. Manakala untuk masalah 'dalaman' seperti santau, sila masukkan 2-3 titik ke dalam 1/3 air suam dan diminum. <br /><br />Minyak Morhabshi tidak beracun. Oleh itu jika anda sakit gigi, anda boleh menyapunya terus pada gusi atau gigi yang berlubang dan sakit itu. Caranya, ambil secebis tisu, celupkan dalam Minyak Morhabshi dan tampalkan ke dalam gigi yang berlubang. Saya telah mencubanya 3 tahun lalu dan hingga sekarang tidak pernah mengalami sakit itu lagi.<br /><br />Untuk bayi dan kanak-kanak, calitkan pada kening, ubun-ubun, belakang cuping telinga, sendi-sendi kaki dan tangan, serta tengkuk bagi menghindari daripada gangguan. Amalkan setiap hari (sebelum maghrib) pada bayi anda.<br /><br />Amalkan menyapu pada perut bayi setiap hari dapat mengelakkan bayi diserang kembung perut. Insya-Allah. <br /><br />Untuk makluman, sebaik tiba di sekolah pagi tadi, seorang ustazah menemui saya untuk mendapatkan Minyak Morhabshi lagi. Menurut beliau, bayinya terhindar dari kembung sejak menggunakan Minyak Morhabshi. Oleh itu beliau telah mengesyorkan pada adiknya yang juga baru bersalin.<br /><br />Tambahan:<br /><br />Untuk lelaki, cara guna rujuk link yang diberikan...<br /><br />Demikianlah pengalaman yang dikongsikan oleh beberapa orang rakan yang telah mencubanya.<br /><br />Alhamdulillah.<br /><br />Untuk tempahan boleh hubungi 0134475900 atau klik link di bawah<br /><br />http://www.morhabshi.com/?id=zura86 <br /><br />Harga: RM5.50 sebotolNor Baizura bt Zulkiflihttp://www.blogger.com/profile/03309953886503563441noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3016061427110327614.post-43114621990556883242011-02-11T18:46:00.002-08:002011-02-11T18:54:53.256-08:00Peringatan Maulid Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam Menurut Syari’at IslamSegala puji bagi Allah Azza wa Jalla yang telah menyempurnakan agama Islam untuk hamba-hamba-Nya yang beriman dan menjadikan Sunnah Rasul-Nya sebagai sebaik-baik petunjuk yang diikuti. Semoga shalawat serta salam tercurah kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, dan para Shahabatnya.
<br />
<br /> Allah Azza wa Jalla telah menyempurnakan agama Islam bagi umatnya; menyempurnakan nikmat-Nya bagi mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mewafatkan Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali setelah beliau selesai menyampaikan segala sesuatu yang disyari’atkan Allah Azza wa Jalla dengan jelas, baik berupa perkataan maupun perbuatan; juga setelah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa setiap hal baru yang diada-adakan oleh manusia dan disandarkan kepada agama Islam, baik berupa i’tiqâd (keyakinan), perkataan maupun perbuatan semua itu adalah bid’ah dan tertolak, walaupun maksudnya baik.
<br />
<br />Semua ini karena bid’ah merupakan penambahan terhadap ajaran agama dan mensyari’atkan sesuatu yang tidak diizinkan Allah Subhanahu wa Ta’ala serta merupakan tasyabbuh (penyerupaan) dengan musuh-musuh Allah Azza wa Jalla dari golongan Yahudi dan Nasrani. Selain itu, melakukan bid’ah berarti pelecehan terhadap agama Islam dan menganggapnya tidak sempurna. Keyakinan ini mengandung kerusakan yang besar dan bertentangan dengan firman Allah Azza wa jalla dan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memperingatkan terhadap bid’ah.
<br />
<br /> Mengada-ada hal baru dalam agama, seperti peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berarti beranggapan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala belum menyempurnakan agama-Nya bagi umat ini, atau beranggapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam belum menyampaikan segala sesuatu yang mesti dikerjakan umatnya. Tidak diragukan lagi, anggapan seperti ini mengandung bahaya besar lantaran menentang Allah k dan Rasul-Nya. Karena Allah Azza wa Jalla telah menyempurnakan agama ini bagi hamba-Nya.
<br />
<br /> Tidak dapat dipungkiri bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Nabi paling mulia dan terakhir. Nabi yang paling sempurna penyampaian dan ketulusannya. Seandainya Peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu benar-benar termasuk ajaran agama yang diridhai Allah Azza wa Jalla, niscaya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menerangkannya kepada umatnya; Atau paling tidak, pasti telah dikerjakan oleh para Shahabatnya. Tetapi, semua itu tidak terjadi. Dengan demikian, jelaslah hal itu bukan bagian dari ajaran Islam dan termasuk perkara yang diada-adakan (bid’ah) dan termasuk tasyabbuh (menyerupai) Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) dalam hari-hari besar mereka.
<br />
<br /> Diantara hal aneh dan mengherankan ialah banyak orang yang giat dan bersemangat menghadiri acara-acara yang bid’ah, bahkan membelanya, sementara mereka meninggalkan kewajiban-kewajiban yang Allah Azza wa Jalla syari’atkan seperti shalat wajib, shalat Jum’at, dan shalat berjama’ah bahkan sebagian mereka terbiasa dengan perbuatan maksiat dan dosa-dosa besar. Mereka sadar bahwa mereka telah melakukan kemungkaran yang besar. Ini semua dikarenakan oleh lemahnya iman, dangkalnya pemikiran, serta banyaknya noda yang mengotori hati.
<br />
<br /> Lebih aneh lagi, sebagian pendukung maulid mengklaim bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang menghadiri acara tersebut. Karena itu, mereka berdiri untuk menghormati dan menyambutnya. Ini merupakan kebatilan yang paling besar dan kebodohan yang amat buruk. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan bangkit dari kuburnya sebelum hari Kiamat, tidak berkomunikasi dengan seorang manusia pun, dan tidak menghadiri pertemuan-pertemuan umatnya sama sekali.
<br />
<br /> Mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah dengan menyelenggarakan acara-acara perayaan maulid semacam itu, akan tetapi dengan mentaati perintahnya, membenarkan semua yang dikabarkannya, menjauhi segala yang dilarang dan diperingatkannya, dan tidak beribadah kepada Allah Azza wa Jalla kecuali dengan yang beliau syari’atkan.
<br />
<br /> A. ORANG YANG PERTAMA KALI MENGADAKAN MAULID NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
<br /> Peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bid’ah yang mungkar. Kelompok yang pertama kali mengadakannya adalah Bani ‘Ubaid al-Qaddah yang menamakan diri mereka dengan kelompok Fathimiyah pada abad ke- 4 Hijriyah. Mereka menisbatkan diri kepada putra ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu. Padahal mereka adalah pencetus aliran kebatinan. Nenek moyang mereka adalah Ibnu Dishan yang dikenal dengan al-Qaddah, salah seorang pendiri aliran Bathiniyah di Irak.[1]
<br />
<br /> Para ulama ummat, para pemimpin, dan para pembesarnya bersaksi bahwa mereka adalah orang-orang munafik zindiq, yang menampakkan Islam dan menyembunyikan kekafiran. Bila ada orang yang bersaksi bahwa mereka orang-orang beriman, berarti dia bersaksi atas sesuatu yang tidak diketahuinya, karena tidak ada sesuatu pun yang menunjukkan keimanan mereka, sebaliknya banyak hal yang menunjukkan atas kemunafikan dan kezindikan mereka.[2]
<br />
<br /> B. BEBERAPA ALASAN DILARANGNYA MEMPERINGATI MAULID NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
<br />
<br /> Para ulama dahulu dan sekarang telah menjelaskan kebathilan bid’ah memperingati Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan membantah para pendukungnya. Memperingati Maulid (kelahiran) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu adalah bid’ah dan haram berdasarkan alasan-alasan berikut:
<br />
<br /> Pertama: Peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bid’ah yang dibuat-buat dalam agama ini. Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menurunkan keterangan sedikit pun dan ilmu tentang itu. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mensyariatkannya baik melalui lisan, perbuatan maupun ketetapan beliau. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
<br />
<br /> “…Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah…” [al-Hasyr/59:7]
<br />
<br /> Juga berfirman yang maknanya :
<br />
<br /> “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah k dan (kedatangan) hari Kiamat dan dia banyak mengingat Allah Azza wa Jalla.” [al-Ahzâb/33: 21]
<br />
<br /> Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
<br />
<br /> مَنْ أَحْدَثَ فِـيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ “Barangsiapa yang mengadakan suatu yang baru yang tidak ada dalam urusan agama kami, maka amalan itu tertolak”.
<br />
<br /> Dalam riwayat Imam Muslim, “Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak atas dasar urusan kami, amalan tersebut tertolak”.
<br />
<br /> Kedua: Khulafa-ur Rasyidîn dan para Shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lainnya tidak pernah mengadakan peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak pernah mengajak untuk melakukannya. Padahal mereka adalah sebaik-baik umat ini setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
<br />
<br /> …فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْـخُلَـفَاءِ الْـمَهْدِيِّيْنَ الرَّاشِدِيْنَ ، تَـمَسَّكُوْا بِـهَـا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ ، وَإِيَّاكُمْ وَمُـحْدَثَاتِ الْأُمُوْرِ ؛ فَإِنَّ كُلَّ مُـحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ. ”
<br />…Maka wajib atas kalian berpegang teguh kepada Sunnahku dan Sunnah Khulafâ-ur Râsyidîn yang mendapat petunjuk. Peganglah erat-erat dan gigitlah dia dengan gigi gerahammu. Dan jauhilah perkara-perkara yang diada-adakan (dalam agama), karena setiap perkara yang diada-adakan adalah bid‘ah, dan setiap bid‘ah adalah kesesatan.” [3]
<br />
<br /> Peringatan maulid tidak pernah dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya. Seandainya perbuatan itu baik niscaya mereka telah lebih dahulu melakukannya.
<br />
<br /> Al-Hâfizh Ibnu Katsîr berkata, “Ahlus Sunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa setiap perkataan dan perbuatan yang tidak ada dasarnya dari Shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bid’ah. Karena bila hal itu baik, niscaya mereka akan lebih dahulu melakukannya daripada kita. Sebab mereka tidak pernah mengabaikan satu kebaikan pun kecuali mereka telah lebih dahulu melaksanakannya.”[4]
<br />
<br /> Ketiga: Peringatan hari kelahiran (ulang tahun/maulid) adalah kebiasaan orang-orang sesat dan orang-orang yang menyimpang dari kebenaran. Karena yang pertama kali menciptakan kebiasaan tersebut adalah para penguasa generasi Fathimiyah Ubaidiyah, sebagaimana keterangan diatas. Mereka sebenarnya berasal dari kalangan Yahudi, bahkan ada pendapat mereka berasal dari kalangan Majusi. Bisa jadi, mereka adalah orang-orang Atheis.[5]
<br />
<br /> Orang yang pertama menciptakannya adalah al-Mu’iz Lidînillah al-‘Ubaidi al-Maghribi yang keluar dari Maroko menuju Mesir pada bulan Ramadhan tahun 362 H.[6]
<br /> Apakah layak bagi orang Muslim berakal untuk mengikuti Rafidhah dan mengikuti kebiasaan mereka serta menyelisihi petunjuk Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?
<br />
<br /> Keempat: Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
<br />
<br /> “…Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu…” [al-Mâ-idah/5:3]
<br />
<br /> Al-Hâfizh Ibnu Katsîr rahimahullah (wafat th. 774 H) menjelaskan, “Ini merupakan nikmat AllahSubhanahu wa Ta’alal terbesar yang diberikan kepada umat ini, tatkala Allah Azza wa Jalla menyempurnakan agama mereka. Sehingga, mereka tidak memerlukan agama lain dan tidak pula Nabi lain selain Nabi mereka, yaitu Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
<br />
<br /> Oleh karena itu, Allah Azza wa Jalla menjadikan beliau sebagai penutup para Nabi dan mengutusnya kepada seluruh manusia dan jin. Sehingga, tidak ada yang halal kecuali yang beliau halalkan, tidak ada yang haram kecuali yang diharamkannya, dan tidak ada agama kecuali yang disyari’atkannya. Semua yang dikabarkannya adalah haq, benar, dan tidak ada kebohongan, serta tidak ada pertentangan sama sekali. Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :
<br />
<br /> وَتَـمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدْقًا وَّعَدْلاًً “Dan telah sempurna kalimat Rabb-mu (Al-Qur-an), (sebagai kalimat) yang benar dan adil …” [al-An’âm/6:115]
<br />
<br /> Maksudnya, benar dalam kabar yang disampaikan dan adil dalam seluruh perintah dan larangan. Setelah agama disempurnakan bagi mereka, maka sempurnalah nikmat yang diberikan kepada mereka.
<br />
<br /> Maka ridhailah Islam untuk diri kalian, karena ia agama yang dicintai dan diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karenanya Allah Azza wa Jalla mengutus Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang paling utama dan menurunkan Kitab yang paling mulia (Al-Qur`an).
<br />
<br /> Mengenai firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (al-Mâ-idah/5:3), ‘Ali bin Abi Thalhah berkata, dari Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu ‘anhuma,
<br />
<br /> “Maksudnya adalah Islam. Allah Azza wa Jalla telah mengabarkan kepada Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum Mukminin bahwa Dia telah menyempurnakan keimanan untuk mereka, sehingga mereka tidak membutuhkan penambahan sama sekali. Dan Allah Azza wa Jalla telah menyempurnakan Islam sehingga Allah Azza wa Jalla tidak akan pernah menguranginya, bahkan telah meridhainya sehingga Allah Azza wa Jalla tidak akan memurkainya selamanya.”[7]
<br />
<br /> Orang yang melaksanakan Sunnah-Sunnah dan meninggalkan bid’ah-bid’ah -termasuk bid’ah Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam- maka mereka menjadi asing di masyarakat, pendukung perayaan ini. Padahal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan dengan sangat jelas. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membiarkan satu jalan pun yang dapat menghantarkan ke Surga dan menjauhkan dari Neraka melainkan telah beliau jelaskan kepada umatnya.
<br />
<br /> Kalau peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu termasuk ajaran agama yang diridhai Allah Azza wa Jalla, tentu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskannya atau melakukannya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
<br />
<br /> مَا بَعَثَ اللهُ مِنْ نَبِيٍّ إِلَّا كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرِ مَا يَعْلَمُهُ لَـهُمْ وَيُنْذِرَهُمْ شَرَّ مَا يَعْلَمُهُ لَـهُمْ “Tidaklah Allah Azza wa Jalla mengutus seorang Nabi, kecuali wajib baginya untuk menunjukkan kebaikan yang diketahuinya kepada ummatnya dan memperingatkan mereka terhadap keburukan yang diketahuinya kepada mereka.” [8]
<br />
<br /> Kelima: Dengan mengadakan bid’ah-bid’ah semacam itu, timbul kesan bahwa Allah Azza wa Jalla belum menyempurnakan agama ini, sehingga perlu dibuat ibadah lain untuk menyempurnakannya. Juga menimbulkan kesan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam belum tuntas menyampaikan agama ini kepada umatnya sehingga kalangan ahli bid’ah merasa perlu menciptakan hal baru dalam agama ini. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyempurnakan agama dan nikmat-Nya bagi hamba-hamba-Nya.
<br />
<br /> Keenam: Dalam Islam tidak ada bid’ah hasanah, semua bid’ah adalah sesat sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
<br />
<br /> كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ “Setiap bid’ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya di neraka” [9]
<br />
<br /> Imam asy-Syâfi’i rahimahullah berkata.
<br />
<br /> مَنِ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ “Barangsiapa menganggap baik sesuatu (ibadah) maka ia telah membuat satu syari’at” [10]
<br />
<br /> Diantara kaidah ahli ilmu yang telah ma’ruf ialah bahwa “Perbuatan baik ialah yang dipandang baik oleh syari’at dan perbuatan buruk ialah apa yang dipandang buruk oleh syari’at.”[11]
<br />
<br /> Syaikh Hâfizh bin Ahmad bin ‘Ali al-Hakami rahimahullah (wafat th. 1377 H) berkata, “Kemudian ketahuilah bahwa semua bid’ah itu tertolak tidak ada sedikitpun yang diterima; Semuanya jelek tidak ada kebaikan padanya; semuanya sesat tidak ada petunjuk sedikitpun di dalamnya; Semuanya adalah dosa tidak berpahala; Semuanya batil tidak ada kebenaran di dalamnya. Dan makna bid’ah ialah syari’at yang tidak diizinkan Allah Azza wa Jalla dan tidak termasuk urusan (agama) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya.”[12]
<br />
<br /> Para ulama Islam dan para peneliti kaum Muslimin secara terus-menerus mengingkari budaya perayaan maulid tersebut dan mengingkarinya demi mengamalkan nash-nash dari Kitabullah dan Sunnah Rasul yang memang memperingatkan bahaya bid’ah dalam Islam, memerintahkan agar mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta memperingatkan juga agar tidak menyelisihi beliau dalam ucapan, perbuatan, dan amalan.
<br />
<br /> Ketujuh: Memperingati kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membuktikan kecintaan terhadap Rasululah Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena kecintaan itu hanya dapat dibuktikan dengan mengikuti beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengamalkan Sunnah beliau, dan mentaati beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
<br />
<br /> Allah Azza wa Jalla berfirman:
<br />
<br /> “Katakanlah (Muhammad), ‘Jika kamu mencintai Allah Azza wa Jalla, maka ikutilah aku, niscaya Allah Azza wa Jalla mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Dan Allah Azza wa jalla Maha Pengampun, Maha Penyayang.” [Ali Imrân:31]
<br />
<br /> Al-Hâfizh Ibnu Katsîr rahimahullah berkata, “Ayat yang mulia ini sebagai pemutus hukum atas setiap orang yang mengaku mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapi tidak berada di atas jalan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ia dusta dalam pengakuannya mencintai Allah Azza wa Jalla sampai ia mengikuti syari’at dan agama yang dibawa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam setiap perkataan, perbuatan, dan keadaannya. Disebutkan dalam kitab ash-Shahîh, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
<br />
<br /> مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ. “Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak atas dasar urusan kami, amalan tersebut tertolak.”[13]
<br />
<br /> Oleh karena itu, maksud firman Allah Azza wa Jalla yang maksudnya :
<br />
<br /> “Katakanlah (Muhammad), ‘Jika kamu mencintai Allah Azza wa Jalla, maka ikutilah aku. Niscaya Allah Azza wa Jalla mengasihimu”
<br />
<br />Adalah kalian akan mendapatkan sesuatu yang melebihi kecintaan kalian kepada-Nya, yaitu kecintaan-Nya kepada kalian. Ini lebih besar daripada kecintaan kalian kepada-Nya. Seperti yang dikatakan ulama ahli hikmah, “Yang jadi ukuran bukanlah jika engkau mencintai, tetapi yang jadi ukuran adalah jika engkau dicintai.” al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Ada suatu kaum yang mengaku mencintai Allah Azza wa Jalla, lalu Allah Azza wa Jalla menguji mereka melalui ayat ini …”
<br />
<br /> Kemudian firman Allah Azza wa Jalla yang maknanya,
<br />
<br /> “Dan mengampuni dosa-dosamu.’ Dan Allah Azza wa Jalla Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
<br />
<br />Maksudnya adalah dengan mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kalian akan memperoleh pengampunan, berkat keberkahan utusan-Nya.”
<br />
<br /> Kedelapan: Memperingati Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjadikannya sebagai perayaan berarti menyerupai orang-orang Yahudi dan Nashrani dalam hari raya mereka, padahal kita telah dilarang untuk menyerupai mereka dan mengikuti gaya hidup mereka. [15]
<br />
<br /> Kesembilan: Orang yang berakal tidak mudah terperdaya dengan banyaknya orang yang memperingati maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena tolok ukur kebenaran itu bukan jumlah orang yang mengamalkannya, namun berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah yang shahih menurut pemahaman Salafush Shâlih.
<br />
<br /> Kesepuluh: Berdasarkan kaidah syariat yaitu mengembalikan perkara yang diperselisihkan kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
<br /> Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
<br />
<br /> ” … Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur-an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah k dan hari Kemudian” [an-Nisâ'/ 4:59]
<br />
<br /> Demikian juga dengan firman-Nya yang bermakna:
<br />
<br /> Tentang sesuatu apa pun yang kamu berselisihkan, maka putusannya (terserah) kepada Allah Azza wa Jalla.” [asy-Syûra/42: 10]
<br />
<br /> Orang yang mengembalikan persoalan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini kepada Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya, dia akan mendapati bahwa Allah Azza wa Jalla memerintahkan manusia agar mengikuti Nabi-Nya. Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memerintahkan ataupun memperingati kelahiran beliau dan beliau sendiri, juga para sahabat beliau. Dengan demikian dapat diketahui bahwa peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah berasal dari Islam, tetapi merupakan perbuatan bid’ah.
<br />
<br /> Kesebelas: Yang disyariatkan bagi seorang Muslim pada hari Senin adalah berpuasa, bila ia mau. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang puasa pada hari Senin, beliau bersabda,
<br />
<br /> “Itu adalah hari kelahirkanku, hari aku diutus sebagai nabi, serta hari aku diberikan wahyu.” [16]
<br />
<br /> Yang disyariatkan adalah meneladani beliau, yaitu berpuasa pada hari Senin, bukan merayakan hari kelahiran beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
<br />
<br /> Kedua belas: Perayaan hari kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan perbuatan ghuluw (berlebih-lebihan/melampaui batas) terhadap beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal Allah Ta’ala dan Rasul-Nya melarang berbuat ghuluw.
<br />
<br /> Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
<br />
<br /> إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّيْنِ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ اَلْغُلُوُّ فِي الدِّيْنِ. “Jauhkanlah diri kalian dari ghuluw (berlebih-lebihan) dalam agama, karena sesungguhnya sikap ghuluw dalam agama ini telah membinasakan orang-orang sebelum kalian.” [17]
<br />
<br /> Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak suka disanjung melebihi dari ssanjungan yang Allah berikan dan ridhai. Tetapi banyak orang melanggar larangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut, sampai-sampai ada yang berdo’a dan meminta pertolongan kepadanya, bersumpah dengan namanya serta meminta kepadanya sesuatu yang tidak boleh diminta kecuali kepada Allah. Sebagian dari perbuatan-perbuatan ini dilakukan ketika peringatan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
<br />
<br /> ‘Abdullah bin asy-Syikhkhir Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ketika aku pergi bersama delegasi Bani ‘Amir untuk menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami berkata kepada beliau, “Engkau adalah sayyid (tuan/penguasa) kami!” Spontan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
<br />
<br /> اَلسَّيِّدُ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى. “Sayyid (tuan/penguasa) kita adalah Allah Tabaaraka wa Ta’aala!”
<br />
<br /> Lalu kami berkata, “Dan engkau adalah orang yang paling utama dan paling agung kebaikannya.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan :
<br />
<br /> قُوْلُوْا بِقَوْلِكُمْ أَو بَعْضِ قَوْلِكُمْ وَلاَ يَسْتَجْرِيَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ. “Katakanlah sesuai dengan apa yang biasa (wajar) kalian katakan, atau seperti sebagian ucapan kalian dan janganlah sampai kalian terseret oleh syaithan” [18]
<br />
<br /> Kebanyakan qashidah dan puji-pujian yang dinyanyikan oleh yang melaksanakan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu tidak lepas sikap berlebih-lebihan dan kultus individu terhadap Rasulullah bahkan terkadang mengandung ucapan-ucapan syirik. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
<br />
<br /> لَا تُطْرُوْنِـيْ كَمَـا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ ، فَإِنَّمَـا أَنَا عَبْدُهُ ، فَقُوْلُوْا : عَبْدُ اللهِ وَ رَسُوْلُهُ.
<br />
<br /> “Janganlah kalian mengkultuskan diriku sebagaimana orang-orang Nashrani mengkultuskan Isa bin Maryam. Sesungguhnya aku tidak lain hanyalah seorang hamba, maka katakanlah, ‘Hamba Allah dan Rasul-Nya” [19]
<br />
<br /> Maksudnya, janganlah kalian memujiku dengan cara bathil dan janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku, sebagaimana yang telah dilakukan oleh orang-orang Nasrani terhadap ‘Isa Alaihissalam. Sehingga mereka menganggapnya memiliki sifat Ilahiyyah. Karenanya, sifatilah aku sebagaimana Rabb-ku memberi sifat kepadaku. Katakanlah: “Hamba Allah dan Rasul (utusan)-Nya.”[20]
<br />
<br /> Ketiga belas: Berbagai perbuatan syirik, bid’ah, dan haram yang terjadi dalam peringatan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
<br />
<br /> Dalam perayaan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sering terjadi hal-hal yang diharamkan, seperti kesyirikan, bid’ah, bercampur baurnya kaum laki-laki dan wanita, menggunakan nyanyian dan alat musik, rokok, dan lainnya. Bahkan sering terjadi perbuatan syirik Akbar (besar), seperti istigâtsah kepada Rasulullah n atau para wali, penghinaan terhadap Kitabullah, di antaranya dengan merokok pada saat majelis Al-Qur’an, sehingga terjadilah kemubadziran dan membuang-buang harta.
<br />
<br /> Sering juga diadakan dzikir-dzikir yang menyimpang di masjid-masjid pada acara Maulid Nabi tersebut dengan suara keras diiringi tepuk tangan yang tak kalah kerasnya dari pemimpin dzikirnya. Semuanya itu adalah perbuatan yang tidak disyariatkan berdasarkan kesepakatan para ulama yang berpegang teguh kepada kebenaran.[21]
<br />
<br /> Keempat belas: Dalam peringatan maulid terdapat keyakinan batil bahwa ruh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadiri acara-cara maulid yang mereka adakan.
<br />
<br /> Dengan alasan itu mereka berdiri dengan mengucapkan selamat dan menyambut kedatangan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Itu jelas perbuatan paling bathil dan paling buruk sekali. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan keluar dari kubur beliau sebelum hari kiamat dan tidak akan berhubungan dengan seseorang (dalam keadaan sadar), tidak pula hadir dalam pertemuan-pertemuan mereka. Beliau akan tetap berada dalam kubur beliau hingga hari Kiamat. Ruh beliau berada di ‘Illiyyin yang tertinggi di sisi Rabb beliau dalam Dârul Karâmah.[22]
<br />
<br /> Allah Azza wa Jalla berfirman, yang artinya,
<br />
<br /> “Sesungguhnya engkau (Muhammad) akan mati dan mereka akan mati (pula).” (Qs az-Zumar/39:30).
<br />
<br />Dan dalam ayat yang lain, Allah k berfirman yang maknanya,
<br />
<br /> “Kemudian, sesudah itu, sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan mati. Kemudian, sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan (dari kuburmu) di hari Kiamat.” [al-Mukminûn/23: 15-16].
<br />
<br /> Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
<br />
<br /> أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَوَّلُ مَنْ يَنْشَقُّ عَنْهُ الْقَبْرُ وَأَوَّلُ شَافِعٍ وَأَوَّلُ مُشَفَّعٍ “Aku adalah penghulu manusia di hari Kiamat nanti dan orang yang pertama kali keluar dari alam kubur, serta orang yang pertama kali memberi syafa’at dan yang menyampaikan syafa’at”[23]
<br />
<br /> Ayat dan hadits di atas serta berbagai ayat dan hadits senada lainnya menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang yang sudah mati lainnya akan keluar dari kubur mereka pada hari Kiamat nanti.
<br />
<br /> Al-Allâmah Abdul Aziz bin Abdullâh bin Bâz rahimahullah menyatakan, “Ini adalah pendapat yang sudah disepakati oleh para ulama kaum Muslimin, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan mereka.” [24]
<br />
<br /> Sebagai tambahan, ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mau dihormati dengan berdiri. Lalu bagaimana bisa mereka menghormati beliau n dengan cara berdiri setelah beliau wafat.
<br />
<br /> C. HAKIKAT MENCINTAI RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
<br />
<br /> Orang yang benar-benar mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang menampakkan tanda-tanda tertentu pada dirinya. Diantaranya adalah:
<br />
<br /> 1). Mengikuti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mentauhidkan Allah Azza wa Jalla, menjauhi syirik, mengerjakan Sunnahnya, mengikuti perkataan dan perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beradab dengan adabnya.
<br />
<br /> 2). Lebih mendahulukan perintah dan syari’at Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam daripada hawa nafsu dan keinginan dirinya.
<br />
<br /> 3). Banyak bershalawat untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sesuai dengan Sunnahnya. Allah Azza wa Jalla berfirman,
<br />
<br /> “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Wahai orang-orang yang beriman! Bershalawatlah kamu untuk Nabi k dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya” [al-Ahzâb/33:56]
<br />
<br /> 4). Mencintai orang yang dicintai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik keluarga maupun Shahabatnya yang Muhajirin dan Anshar serta memusuhi orang-orang yang memusuhi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan membenci orang yang membencinya.
<br />
<br /> 5). Mencintai al-Qur’ân yang diturunkan kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mencintai Sunnahnya, dan mengetahui batas-batasnya.[25]
<br />
<br /> D. FATWA PARA ULAMA TENTANG BID’AHNYA PERAYAAN MAULID NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
<br />
<br /> Berikut ini adalah beberapa fatwa para ulama yang menyatakan bahwa peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bid’ah dhalâlah.
<br />
<br /> 1. al-‘Allâmah asy-Syaikh Tâjuddin al-Fakihani rahimahullah (wafat th. 734 H) berkata :
<br />
<br /> “Saya tidak mengetahui dasar dari peringatan Maulid ini, baik dari al-Qur-an, Sunnah, dan tidak pernah dinukil pengamalan salah seorang ulama umat yang diikuti dalam agama dan berpegang teguh dengan atsar-atsar generasi yang telah lalu. Bahkan perayaan (maulid) tersebut adalah bid’ah yang diada-adakan oleh para pengekor hawa nafsu…”[26]
<br />
<br /> 2. Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
<br />
<br /> “Menjadikan suatu hari raya selain dari hari raya yang disyari’atkan, seperti sebagian malam di bulan Rabi’ul Awwal yang disebut dengan malam Maulid, atau sebagian malam di bulan Rajab, atau hari ke-18 di bulan Dzul Hijjah, atau hari Jum’at pertama di bulan Rajab, atau hari ke-8 bulan Syawwal yang dinamakan ‘îdul abrâr oleh orang-orang bodoh, maka semua itu termasuk bid’ah yang tidak pernah dianjurkan dan tidak pernah dilakukan oleh para ulama Salaf. Wallâhu a’lam.”[27]
<br />
<br /> 3. al-‘Allâmah Ibnul Hajj rahimahullah (wafat th. 737) menjelaskan tentang peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
<br />
<br /> “…Hal itu adalah tambahan dalam agama, bukan perbuatan generasi Salaf. Mengikuti Salaf, lebih utama bahkan lebih wajib daripada menambahkan berbagai niat (tujuan) yang menyelisihi apa yang pernah dilakukan Salafush Shalih. Sebab, Salafush Shalih adalah manusia yang paling mengikuti Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan (paling) mengagungkan beliau dan Sunnahnya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka lebih dahulu bersegera kepada hal itu, namun tidak pernah dinukil dari salah seorang dari mereka bahwa mereka melakukan maulid. Dan kita adalah pengikut mereka, maka telah mencukupi kita apa saja yang telah mencukupi mereka.”[28]
<br />
<br /> 4. Syaikh ‘Abdullâh bin ‘Abdul ‘Azîz bin Bâz rahimahullâh berkata:
<br />
<br /> “Tidak diperbolehkan melaksanakan peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan peringatan hari kelahiran selain beliau karena hal itu merupakan bid’ah dalam agama. Sebab, Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukannya, tidak juga para Khulâfâ-ur Râsyidîn, dan tidak pula para Shahabat lainnya, dan tidak juga dilakukan oleh orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik pada generasi-generasi yang diutamakan. Padahal mereka adalah manusia yang paling mengetahui Sunnah, paling mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan paling mengikuti syari’at dibandingkan orang-orang setelah mereka…”[29]
<br />
<br /> 5. Syaikh Hamûd bin ‘Abdillah at-Tuwaijiri rahimahullah berkata:
<br />
<br /> “…Dan hendaklah juga diketahui bahwa memperingati malam Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjadikannya sebagai peringatan tidak termasuk petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tetapi ia adalah perbuatan yang diada-adakan yang dibuat setelah zaman beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah berlalu sekitar enam ratus tahun. Oleh karena itu, memperingati perayaan yang diada-adakan ini masuk dalam larangan keras yang Allah Azza wa Jalla sebutkan dalam firman-Nya,[30]
<br />
<br /> “…Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul-Nya takut akan mendapat cobaan atau ditimpa adzab yang pedih.” [an-Nûr/24:63]
<br />
<br /> Jika dalam acara maulid yang diada-adakan ini ada sedikit saja kebaikan maka para Shahabat telah bergegas melakukannya…”
<br />
<br /> 6. Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah berkata:
<br />
<br /> “Pertama: bahwa malam kelahiran Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak diketahui secara pasti, bahkan sebagian ahli sejarah menetapkan bahwa malam kelahiran Rasul adalah malam ke-9 Rabi’ul Awwal, bukan malam ke-12. Dengan demikian, menjadikannya malam dua belas bulan Rabi’ul Awwal tidak memiliki dasar dari sudut pandang sejarah.
<br />
<br /> Kedua: dari sudut pandang syari’at maka peringatan ini tidak memiliki dasar. Karena jika ia termasuk syari’at Allah Subhanahu wa Ta’ala pasti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melakukannya atau menyampaikannya kepada umatnya. Seandainya beliau telah melakukannya atau telah menyampaikannya maka hal itu pasti terjaga karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya:
<br />
<br /> “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an, dan pasti Kami pula yang memeliharanya.” [al-Hijr/15:9]
<br />
<br /> Karena tidak ada sesuatu pun yang terjadi dari hal itu maka dapat diketahuilah bahwa Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak termasuk agama Allah. Jika tidak termasuk agama Allah maka kita tidak boleh beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah dengannya. Apabila Allah Subhanahu wa Ta’ala telah meletakkan jalan tertentu agar dapat sampai kepada-Nya yaitu apa yang dibawa Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka bagaimana bisa kita selaku hamba Allah diperbolehkan untuk membuat jalan sendiri yang mengantarkan kepada Allah ? Ini merupakan kejahatan terhadap hak Allah Azza wa Jalla, yaitu mensyari’atkan dalam agama Allah sesuatu yang bukan bagian darinya. Juga hal ini mengandung pendustaan terhadap firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang artinya :
<br />
<br /> “…Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu…” [al-Mâidah/5: 3]” [31]
<br />
<br /> 7. Syaikh Shâlih bin Fauzân bin ‘Abdullâh al-Fauzan hafizhahullâh berkata:
<br /> “Melaksanakan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bid’ah. Tidak pernah dinukil dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak dari para Khulafâ-ur Râsyidîn, dan tidak juga dari generasi yang diutamakan bahwa mereka melaksanakan peringatan ini. Padahal mereka adalah orang yang paling cinta kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan paling semangat melakukan kebaikan. Mereka tidak melakukan suatu bentuk ketaatan pun kecuali yang disyari’atkan Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya sebagai pengamalan dari firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang maknanya :
<br />
<br /> “…Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah…” [al-Hasyr/59:7]
<br />
<br /> Maka ketika mereka tidak melakukan peringatan maulid ini, dapat diketahuilah bahwa perbuatan itu adalah bid’ah…
<br />
<br /> Kesimpulannya bahwa menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk perbuatan bid’ah yang diharamkan yang tidak memiliki dalil baik dari Kitabullâh maupun dari Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam…”[32]
<br />
<br /> Demikian uraian yang dapat kami sampaikan, mudah-mudahan bermanfaat. Semoga shalawat serta salam tercurah kepada Nabi kita Muhammad n, juga kepada keluarganya, para Shahabatnya, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari Akhir. Dan akhir seruan kami ialah segala puji bagi Allah, Rabb seluruh alam.
<br />
<br /> Marâji’ :
<br />
<br /> 1. Tafsîr Ibni Katsîr, cet. Dâr Thayyibah.
<br /> 2. Majmû Fatâwâ, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
<br /> 3. Iqtidhâ ash-Shirâtil Mustaqîm.
<br /> 4. al-Madkhal, Imam Ibnul Hajj.
<br /> 5. Siyar A’lâmin Nubalâ.
<br /> 6. al-Bâ’its ‘ala Inkâril Bida’ wal Hawâdits.
<br /> 7. Ma’ârijul Qabûl, Syaikh Hafizh al-Hakami.
<br /> 8. al-Bida’ fii Madhâril ‘Ibtida’, Syaikh ‘Ali Mahfuzh.
<br /> 9. Rasâ-il fii Hukmil Ihtifâl bil Maulidin Nabawi.
<br /> 10. Nûrus Sunnah wa Zhulumaatul Bid’ah, Syaikh Sa’id al-Qahthani.
<br /> 11. Tanbîhu Ulil Abshâr, Syaikh Shâlih as-Suhaimi.
<br /> 12. ‘Ilmu Ushûl Bida’, Syaikh ‘Ali Hasan al-Halabi.
<br /> 13. al-Bida’ al-Hauliyyah.
<br /> 14. Majmû Fatâwâ Syaikh ‘Utsaimin.
<br /> 15. al-Muntaqa min Fatâwâ Syaikh Shâlih Fauzân.
<br /> 16. Fatâwa al-Lajnah ad-Dâ-imah.
<br /> Dan kitab-kitab lainnya.
<br /> [Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XII/1430H/2009M].
<br /> _________
<br /> Footnotes
<br /> [1]. Lihat al-Bida’ al-Hauliyah (hlm. 137).
<br /> [2]. Fadhâ-ih al-Bâthiniyyah (hlm. 37) karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahj . Lihat al-Bida’ al-Hauliyah (hlm. 143).
<br /> [3]. Shahîh: HR. Ahmad (IV/126-127), Abû Dâwud (no. 4607) dan at-Tirmidzi (no. 2676), ad-Dârimi (I/44), al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (I/205), al-Hâkim (I/95), dishahîhkan dan disepakati oleh Imam adz-Dzahabi. Lihat Irwâ-ul Ghalîl (no. 2455) dari Shahabat al-‘Irbâdh bin Sariyah z .
<br /> [4]. Tafsîr Ibni Katsîr (VII/278-279) cet. Dâr Thayyibah
<br /> [5]. Lihat Siyar A’lâmin Nubalâ (XV/213)
<br /> [6]. Lihat al-Bidâyah wan Nihâyah oleh Ibnu Katsîr (XI/272-273, 345, XII/267-268, VI/232, XII/ 63, XI/161, XII/13, XII/266). Lihat juga Siyar A’lâmin Nubalâ oleh adz-Dzahabi (XV/159-215). Dikisahkan bahwa Raja al-Ubaidiyah yang terakhir adalah al-Adidh Lidînillah. Ia dibunuh oleh Shalâhuddin al-Ayyûbi th. 564 H. adz-Dzahabi menyatakan : “Kekuasaan al-Adidh mulai luntur bersamaan dengan masuknya Shalâhuddin al-Ayyûbi sampai akhirnya beliau melepas kekuasaan itu dari al-Adidh. Beliau t bekerja sama dengan Bani Abbâs, menghancurkan Bani Ubaid dan melenyapkan keyakinan Syî’ah Râfidhah. Jumlah mereka adalah empat belas raja yang mengaku sebagai khalîfah, padahal bukan khalifah. al-Adidh secara bahasa artinya adalah sang pemotong. Karena dia yang memotong kekuasaan keluarganya.” (XV/212).
<br /> [7]. Tafsîr Ibni Katsîr (III/26-27) dengan diringkas.
<br /> [8]. Shahîh: HR. Muslim (no. 1844).
<br /> [9]. Shahîh: HR. an-Nasâ-i (III/189).
<br /> [10]. al-Bâ’its ‘alâ Inkâril Bida’ wal Hawâdits (hlm. 50).
<br /> [11]. Lihat ‘Ilmu Ushûl Bida’ (hal. 119-120).
<br /> [12]. Ma’ârijul Qabûl (II/519-520).
<br /> [13]. Shahîh: HR. al-Bukhâri (no. 2697) dan Muslim (no. 1718)
<br /> [14]. Tafsîr Ibni Katsîr (II/32).
<br /> [15]. Lihat Iqtidhâush Shirâtil-Mustaqîm Mukhâlafatu Ash-hâbil Jahîm oleh Ibnu Taimiyyah (II/614-615), juga dalam Zâdul Ma’âd oleh Ibnul Qayyim (I/59).
<br /> [16]. Shahîh: HR. Muslim (no. 1162).
<br /> [17]. Shahîh: HR. Ahmad (I/215, 347), an-Nasâ-i (V/268), Ibnu Mâjah (no. 3029), Ibnu Khuzaimah (no. 2867) dan lainnya, dari Ibnu ‘Abbâs z .
<br /> [18]. Shahîh: HR. Abû Dâwud (4806), Ahmad (IV/24, 25), al-Bukhâri dalam al-Adâbul Mufrad (211/ Shahîhul Adâbil Mufrad no 155), an-Nasâ-i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (247, 249).
<br /> [19]. Shahîh: HR. Al-Bukhâri (3445).
<br /> [20]. Aqîdatut Tauhîd (hal 151).
<br /> [21]. Lihat al-Ibdâ’ fîi Madhâril Ibtidâ’ oleh Syaikh Ali Mahfûzh (251-252).
<br /> [22]. Lihat at-Tahdzîr minal Bida’ oleh al-Allâmah Imam Abdul Aziz bin Bâz (13).
<br /> [23]. Shahîh: HR. Muslim (2278).
<br /> [24]. At-Tahdzîr minal Bida’ (hal. 14)
<br /> [25]. Dinukil dari al-Bida’ al-Hauliyah (hal. 192-193) dengan diringkas.
<br /> [26]. Al-Maurid fii ‘Amalil Maulid. Dinukil dari Rasâ-il fî Hukmil Ihtifâl bi Maulidin Nabiy (I/7-14) dengan ringkas.
<br /> [27]. Majmû’ Fatâwâ, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (XXV/298).
<br /> [28]. Al-Madkhal (II/234-235).
<br /> [29]. Hukmul Ihtifâl bil Maulid an-Nabawi. Dinukil dari Rasâ-il fii Hukmil Ihtifâl bi Maulidin Nabiy (I/57) dengan ringkas.
<br /> [30]. Ar-Raddul Qawiy ‘ala ar-Rifâ’i wal Majhûl wa Ibni ‘Alawi wa Bayân Ahkhtâ-ihim fil Maulidin Nabawi. Dinukil dari Rasâ-il fii Hukmil Ihtifâl bi Maulidin Nabiy (I/70) dengan ringkas.
<br /> [31]. Majmû’ Fatâwâ wa Rasâ-il Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin (II/298) dengan diringkas.
<br /> [32]. Al-Muntaqâ min Fatâwâ Syaikh Shâlih Fauzân (II/185-186) dengan diringkas.
<br />
<br />OLEH: Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
<br />Nor Baizura bt Zulkiflihttp://www.blogger.com/profile/03309953886503563441noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3016061427110327614.post-56627838872882773242010-11-30T15:37:00.000-08:002010-12-27T22:49:14.973-08:00KHAS BUATMU : ISTERI SOLEHAH, Kewajipan Terhadap Suami & Ganjaran ALLAHKepadamu...oleh Ummu Salamah Nur Farhamizah pada pada 23hb November 2010 pukul 9.38 ptg.
<br />
<br />
<br />HADIS-HADIS MENGENAI ISTERI YANG SOLEHAH..
<br />
<br />Kepada setiap wanita yang sudah bersuami, atau yang bakal membina rumah tangga serta peringatan kepada diri sendiri juga.. Perhatikanlah betapa tingginya darjat suami kita terhadap kita dan jangan sesekali meremehkannya. Juga, lihatlah betapa tingginya ganjaran buat para isteri..
<br />
<br />Rasulullah S.A.W bersabda:
<br />
<br />“Dunia itu adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia ialah wanita yang solehah.” (Hadis Riwayat Muslim)
<br />
<br />“Apabila seseorang wanita solat 5 waktu sehari, berpuasa pada bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya dan MENTAATI SUAMINYA maka akan dikatakan kepadanya: Masukilah syurga dari mana-mana pintu yang kau kehendaki.” (Riwayat Ahmad dan dihukum Sahih oleh Al Albaani)
<br />
<br />“Kalau saja aku boleh menyuruh seseorang untuk bersujud kepada orang lain, nescaya aku akan menyuruh para wanita untuk bersujud kepada suami mereka. Seorang wanita itu belumlah memenuhi seluruh hak Allah terhadapnya sampai ia memenuhi seluruh hak suaminya terhadapnya. Iaitu kalau suaminya menginginkan dirinya sedang ia berada di atas pelana, maka ia akan memenuhi keinginan suaminya itu.” (Dikeluarkan oleh Imam Ahmad dan yang lain dengan lafaz yang mirip. Dan dishahihkan oleh Syaikh al Albani dalam “Ash Shohiihah” 1203.)
<br />
<br />Rasulullah S.A.W juga bersabda:
<br />
<br />“Kalau saja kedua lubang hidung suaminya mengeluarkan darah dan nanah, kemudian ia jilati dengan lidahnya, ia belumlah memenuhi hak suamimu itu. Kalau sahaja manusia itu pantas bersujud kepada seorang manusia lain, maka aku akan menyuruh para wanita untuk bersujud kepada suami mereka ketika para suami itu masuk mendatangi mereka karena keutamaan yang telah Allahberikan kepada para suami di atas para istri.”
<br />Dikeluarkan oleh Al Hakim dan yang lain. Ia berkata: isnadnya shahih namun tidak dikeluarkan oleh Bukhori dan Muslim.
<br />
<br />
<br />ISTERI ADALAH PEMIMPIN DI RUMAH SUAMI
<br />
<br />Wanita yang beragama berupaya mendidik anak-anaknya dengan sempurna. Dia tahu dan sedar bahawa dirinya adalah ketua di rumah suaminya. Bertanggungjawab dalam memastikan anak-anak diberikan didikan agama yang secukupnya. Oleh itu, dia sentiasa memastikan anak-anaknya membesar dengan sempurna dari segi rohani dan jasmani. Jadi, suami yang meninggalkan anak-anaknya bersama isteri kerana mencari rezeki tidak akan bimbang kerana dia sedar bahawa isteri solehah lagi beragama yang dipilihnya itu berupaya menjaga dan mendidik anaknya dengan amanah sepanjang ketiadaannya di rumah.
<br />
<br />Sabda Rasulullah s.a.w:
<br />
<br />“Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap orang akan ditanya terhadap apa yang dipimpinnya. Seorang imam adalah pemimpin dan akan ditanya terhadap apa yang dipimpinnya. Seorang suami adalah pemimpin keluarganya dan akan ditanya tentang apa yang dipimpinnya. Wanita adalah pemimpin di rumah suaminya dan akan ditanya tentang orang yang dipimpinnya. Setiap seorang kamu adalah pemimpin dan akan ditanya tentang apa yang dipimpinnya.” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)
<br />
<br />
<br />PARAS RUPA, HARTA BENDA & KEDUDUKAN TIDAK KEKAL
<br />
<br />Kecantikan paras rupa, harta benda dan darjat keturunan tidak akan berkekalan. Namun, kebaikan dan akhlak yang mulia akan kekal selagi hayat dikandung badan. Sehinggalah ia membawa pelakunya ke syurga.
<br />
<br />Antara kelebihan wanita solehah ialah akan sentiasa menghiburkan hati suami, redha dan menghargai pemberian suami serta sanggup bersama suami sama ada ketika susah mahupun senang. Ini kerana, agama menuntut dia melakukan demikian.
<br />
<br />Sebuah riwayat menceritakan:
<br />
<br />“Seorang wanita datang kepada Rasulullah s.a.w kerana hajat tertentu. Apabila selesai, Rasulullah s.a.w bertanya: Adakah kamu mempunyai suami? Dia menjawab: Ya. Sabda baginda: Bagaimanakah kamu dengan dia? Dia menjawab: Aku tidak melalaikan haknya melainkan jika melibatkan apa yang tidak mampu kulakukan. Sabda baginda: Kamu perlu lihat keadaan kamu daripadanya. SESUNGGUHNYA SUAMIMU ADALAH SYURGA DAN NERAKAMU..” – Riwayat Ahmad dan al-Nasaai dengan sanad yang baik.
<br />
<br />Wanita solehah memahami hak suami. Dia berusaha menunaikan semua hak itu semata-mata kerana mengharapkan redha ALLAH. Apa sahaja masalah rumah tangga yang dihadapinya akan ditangani secara baik dan terbuka. Dia juga bersedia menerima segala sikap baik dan buruk suami. Serta memohon petunjuk ALLAH agar dipermudahkan segala masalah yang dihadapinya ketika melayari hidup berumah tangga. Dia tidak akan sekali-kali membuka rahsia suami kepada orang lain terutamanya yang melibatkan rahsia di tempat tidur mereka.
<br />
<br />Sabda Rasulullah s.a.w:
<br />
<br />“Sesungguhnya seburuk-buruk kedudukan manusia di sisi ALLAH pada hari kiamat ialah seorang lelaki yang mendatangi isterinya dan isteri yang mendatanginya, lalu salah seorang mereka mendedahkan rahsia pasangannya.” – Riwayat Muslim.
<br />
<br />Mereka sentiasa gembira dan ikhlas menjalankan tugas sebagai isteri semata-mata kerana ALLAH dan yakin terhadap sabda Rasulullah s.a.w bahawa seorang wanita yang melakukan solat lima waktu, puasa Ramadan, menjaga kemaluan dan mentaati suami, dia boleh masuk syurga melalui mana-mana pintu yang disukainya. (Hadis sahih riwayat Ahmad dan al-Tobrani).
<br />
<br />Oleh itu, segala perintah agama dilaksanakan sepenuh hati semata-mata kerana ALLAH. Muslimah yang baik sentiasa memahami bahawa ketaatan yang diberikan kepada suami adalah sebagai melaksanakan perintah ALLAH. Asalkan ketaatan itu bukanlah yang bertentangan dengan syariat dan hukum ALLAH. Setelah itu dia akan diberikan pahala yang tidak terhingga banyaknya.. Keengganannya berbuat demikian mengundang laknat dan kemurkaan ALLAH.
<br />
<br />
<br />TIDAK MENOLAK PERMINTAAN SUAMI
<br />
<br />Wanita solehah tidak akan sekali-kali mengabaikan permintaan suaminya di tempat tidur. Dia sentasa berwaspada terhadap sabda Rasulullah s.a.w yang menyebut:
<br />
<br />“Demi yang jiwaku di tangan-NYA, mana-mana suami yang memanggil isteri di tempat tidur, lalu isteri itu enggan memenuhinya, maka segala yang ada di langit dan bumi akan murka terhadapnya sehinggalah suaminya redha kepadanya.” – Riwayat Muslim.
<br />
<br />Dia juga memahami bahawa permintaan suaminya itu wajib dipenuhi segera dan tidak boleh ditangguhkan walaupun ketika itu dia sedang sibuk di dapur atau berada di atas kenderaan.
<br />
<br />Permintaan yang ditunaikan itu dapat menjaga dan membantu suaminya menghindari segala bisikan dan runtunan syahwat yang melanda fikirannya. Dan menenangkan jiwa suaminya. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim Nabi s.a.w bersabda:
<br />
<br />“Apabila salah seorang kamu tertawan dengan seorang wanita dan hal itu berbekas dalam hatinya, dia hendaklah segera mendapatkan isteri dan menggaulinya. Sesungguhnya itu akan membuang segala perasaan yang ada dalam dirinya.” - Riwayat Muslim.
<br />
<br />Hal ini amat berbeza sekali dengan wanita yang tidak memahami tuntutan agama. Mereka sewenang-wenangnya menolak permintaan suami dan menganggap perbuatan itu tidak mendatangkan sebarang dosa. Mereka sewenang-wenangnya memberi alasan penat atau sebagainya. Amaran dan ancaman laknat ALLAH dan malaikat terhadap perbuatan itu langsung tidak berbekas dalam hatinya.
<br />
<br />Wanita solehah yang memahami kewajipan itu akan berusaha sebaik mungkin menjalankan tanggungjawabnya. Sepenat manapun, dia akan berusaha menunaikan segala permintaan suami. Ini kerana, redha ALLAH kepadanya terletak pada redha suami terhadap dirinya.
<br />
<br />
<br />MENJAGA BATAS PERGAULAN
<br />
<br />Isteri solehah sentiasa memelihara auratnya ketika berurusan dengan lelaki yang bukan mahram. Cara percakapan dan akhlak sentiasa diawasi agar tidak melanggar batasan syarak. Dia tidak bercakap melainkan perkara yang baik. Jauh sekali mengumpat dan mengeji orang lain. Larangan mengumpat, menghina dan mengejek orang lain yang dinyatakan dengan jelas oleh al-Quran dan sunnah sentiasa terpahat dalam hatinya.
<br />
<br />Isteri solehah membimbing dan menasihati suami dalam melakukan apa yang terbaik untuk agama dan rumah tangga. Juga memberikan pandangan yang bernas terhadap dakwah dan kerjaya suami. Wanita pertama yang menjadi contoh terbaik dalam hal ini ialah Khadijah binti Khuwailid, isteri pertama Rasulullah s.a.w. Beliau merupakan orang pertama yang beriman, membenarkan, menyokong, berkoran jiwa dan raga serta sentiasa bersama baginda di saat-saat sukar baginda dalam menyampaikan dakwah.
<br />
<br />Segala kebaikan, sokongan dan pengorbanan beliau ini mendapat pengiktirafan dan penghargaan daripada ALLAH S.W.T. Sehinggakan ALLAH dan Jibril berkirim salam kepada beliau dan menjanjikan sebuah mahligai untuknya di syurga kelak. Hal itu adalah penghargaan ALLAH terhadap segala kebaikan, layanan dan pengorbanannya buat suami tercinta.
<br />
<br />Abu Hurairah menceritakan ketika saat wahyu mula-mula turun di mana baginda selalu bertahannuts di Gua Hirak:
<br />
<br />“Jibril mendatangi Nabi s.a.w lalu berkata: Wahai Rasulullah, ini Khadijah telah mendatangimu. Bersamanya ada bekas yang berisi lauk, makanan atau minuman. Apabila dia mendatangi kamu, maka sampaikanlah kepadanya salam TUHANnya dan daripadaku dan berilah khabar gembira kepadanya tentang sebuah mahligai di dalam syurga yang dibina daripada emas. Tidak ada kesusahan dan keletihan di dalamnya.” – Riwayat al-Bukhari dan Muslim.
<br />
<br />
<br />SENTIASA KEMAS & BERSIH
<br />
<br />Dia cintakan ilmu pengetahuan dan sentiasa bersedia menghadapi apa juga cabaran hidup. Dia akan sentiasa menguruskan rumah tangga mengikut apa yang dipelajari dan dididik kepadanya sejak kecil. Menjaga akidah, amal ibadah, solat, puasa dan memastikan seluruh anggota keluarganya mentaati perintah agama. Dia juga sentiasa berhias untuk suaminya dan memastikan dirinya sentiasa kemas, bersih dan harum ketika berada di hadapan suami.
<br />
<br />Sabda Rasulullah s.a.w:
<br />
<br />“Antara punca kebahagiaan anak Adam ialah memiliki isteri yang solehah, tempat tinggal yang selesa dan kenderaan yang baik. Antara punca kecelakaan anak Adam ialah isteri yang jahat, rumah yang tidak selesa dan kenderaan yang tidak elok.” – Riwayat Ahmad melalui para perawi yang sahih.
<br />
<br />Wanita solehah hanya berhias dan mempamirkan kecantikannya hanya untuk suaminya. Dia tidak mempamerkan di hadapan suami melainkan apa yang cantik dan wangi. Dalam sebuah riwayat diceritakan:
<br />
<br />“Rasulullah s.a.w ditanya tentang sebaik-baik wanita. Baginda menjawab: Yang menyukakan kamu apabila memandangnya. Apabila disuruh, dia patuh, menjaga rahsiamu dengan baik dan menjaga harta kamu.” – Riwayat Ahmad dan selainnya dan dihasankan oleh al-Albani.
<br />
<br />Malang sekali ramai di kalangan wanita memandang remeh perkara ini. Mereka salah faham lalu mempamerkan diri di hadapan suami dalam keadaan kusut masai, berbau, pakaian compang-camping dan sebagainya. Lebih buruk lagi ada yang hanya berkemban sepanjang berada di rumah.
<br />
<br />Sebaliknya apabila hendak keluar rumah, mereka berhias secantik mungkin untuk dipamirkan kepada lelaki yang tidak berhak melihatnya. Ini bukan sahaja tidak wajar, malah mengundang dosa besar dan musibah terhadap keharmonian rumah tangga muslim.
<br />
<br />
<br />SEHARUSNYA..
<br />
<br />Maka sekiranya kita dah tahu dan yakin akan kewajiban terhadap suami, maka hendaklah kita berusaha mendapatkan keredhaannya dengan pelbagai cara.Dan berusahalah untuk menjadi sebagaimana seorang wanita yang solehah iaitu Khadijah binti Khuwailid, isteri Rasulullah S.A.W.. Yang memanjakan suaminya, yang meringankan bebannya ketika menghadapi kerasnya kehidupan, yang memperhatikan kesukaan-kesukaannya kemudian mewujudkannya, dan memudahkan kesulitan-kesulitannya walaupun dengan mengorbankan dirinya sendiri.
<br />
<br />“Jadilah orang yang sedemikian mengagungkannya, maka dia akan menjadi orang yang sedemikian memuliakanmu.
<br />Dan juga jadilah orang yang sedemikian menurutinya, maka dia akan menjadi orang yang sedemikian lama dapat engkau dampingi.
<br />
<br />Dan ketahuilah bahwasanya engkau tidak akan dapat meraih apa yang engkau sukai sebelum engkau mendahulukan keredhaannya di atas keredhaan dirimu sendiri dan mendahulukan keinginannya di atas keinginanmu sendiri dalam segala hal yang engkau sukai ataupun engkau benci. Dan semoga Allah menjadikan semuanya baik untukmu”
<br />
<br />Semoga perkongsian ni dapat memberi manfaat dan ingatan pada semua dan bersamalah kita berusaha memperbaiki diri.. Sebarang teguran amat dialu-alukan..
<br />
<br />HARAP DAPAT DI SHARE DAN DISEBARKAN KEPADA SAHABAT-SAHABAT YANG LAIN.. Semoga sama2 beroleh manfaat..
<br />
<br />Wallahu'alam..
<br />Nor Baizura bt Zulkiflihttp://www.blogger.com/profile/03309953886503563441noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3016061427110327614.post-81033394915740336832010-11-25T17:30:00.000-08:002010-12-27T22:44:26.055-08:00~Ikhlas : Ia Lebih Sukar Tetapi Kemestian !~Sesungguhnya Ia Lebih & Malah Sangat Sukar ...<br /><br /><br />Ramai yang berkata tentang ikhlas, ada yang mempertikaikan keikhlasan seseorang, ada pula yang mendakwa tindakannya dibuat secara ikhlas. Apa sebenarnya ikhlas? Benarkah manusia, khususnya umat Islam di dunia kini terlalu kurang keikhlasan?. Ikhlaskah diri kita dalam berdakwah, berpolitik, menulis, bercerita, belajar, mengajar, mendidik dan berniaga?. <br /><br />Ini satu persoalan yang besar di sisi Islam dan keikhlasan memerlukan satu mujahadah besar. Ia tidak mudah dan hanya mampu dicapai KECUALI oleh mereka yang benar-benar telah berjaya menanggalkan kecintaan kepada semua jenis makhluk, sama ada ia adalah pangkat, pujian, harta, dianggap selebriti, wang dan kebanggaan. <br /><br />Allah swt mengingatkan :-<br /><br />قُلْ إِنِّي أُمِرْتُ أَنْ أَعْبُدَ اللَّهَ مُخْلِصًا لَّهُ الدِّينَ <br />Ertinya : Katakanlah: ""Sesungguhnya aku diperintahkan supaya mengabdikan diri kepada Allah dengan ikhlas ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama ( Az-Zumar : 11) <br /><br />Nabi s.a.w pula bersabda :-<br /><br />إن الله لا يقبل من العمل إلا ما كان له خالصًا، وابتغي به وجهه<br />Ertinya : Sesungguhnya Allah swt tidak akan menerima amalan kecuali apa yang dibuat dalam keadaan ikhlas, berkeinginan kepada wajahNya ( Al-Bukhari, no 97, kitab al-Ilm) <br /><br />APA ITU IKHLAS? <br /><br />Imam Abu al-Qasim Al-Qusyairi, seorang ahli tasauf yang terkemuka memeberikan definisi Ikhlas sebagai:-<br /><br />إفراد الحق سبحانه في الطاعة بالقصد، وهو: أنه يريد بطاعته التقرب إلى الله سبحانه دون أي شيء آخر؛ من تصنع لمخلوق، أو اكتساب محمدة عند الناس، أو محبة مدح من الخلق، أو معنى من المعاني سوى التقرب به إلى الله تعالى، ويصح أن يقال: الإخلاص تصفية الفعل من ملاحظة المخلوقين <br />Ertinya: Ikhlas adalah mengesakan haq Allah swt dalam segala amalan ketaatan dengan niat, iaitu dia melakukan amalan ketaatannya hanyalah untuk menghampirkan diri kepada Allah swt, tiada apapun selain itu, iaitu mereka yang melakukannya kerana Makhluk, atau kerana ingin mendapat pujian mereka, serta kecintaan kepada pujian makhluk, atau apa jua sebab-sebab yang selain redha Allah. Boleh juga dikatakan, bahawa Ikhlas itu adalah pembersihan (niat) diri (semasa amalan) dari segala segala perhatian manusia. ( Al-Risalah al-Qusyairiah, tahqiq Abd Halim Mahmud, 1/443) <br /><br />UZAR<br /><br />Memang mudah untuk melafazkan kata ikhlas, mudah juga untuk cuba menyakinkan diri bahawa diri ikhlas dalam perjuangan, namun untuk benar-benar memastikan hati sentiasa istiqamah ikhlas kepada Allah swt, ia bukan satu tugas yang mudah, namun ia maha penting dan penentu masa depan kita tatkala berdepan dengan Allah swt kelak. <br /><br />Ada yang berkata, ketidakiklasan itu boleh terlihat dek tanda-tanda dari mulut melalui cakap-cakap dan kata-katanya, <br /><br />dari tulisan melalui baris ayatnya, <br /><br />dari tindakan melalui memek wajah dan pergerakannya. <br /><br />Apapun, persoalan utama bukanlah ghairah dan sibuk meneliti keikhlasan orang lain serta mempertikaikannya, tetapi adalah meneliti dan memperbaiki diri sendiri. <br /><br />PENDAKWAH MELALUI CERAMAH <br /><br />Pendakwah melalui medan ceramah hari ini sangat tercabar, <br /><br />Bukan kerana bimbang ditangkap kerana ketiadaan tauliah, itu tidak mencabar, <br /><br />Atau di kurung melalui akta ISA kerana sebab yang sepatutnya anda faham, <br /><br />Dibuang kerja kerana dakwahnya menentang arus politik kerajaan atau membelakangkan AUKU, <br /><br />Sebenarnya, apa yang lebih mencabar adalah menjaga hati untuk ikhlas. Ada yang ‘jatuh' kerana beberapa ada tujuan baru yang mengambil alih tempat ‘ikhlas' kerana Allah swt iaitu :- <br /><br />• Keujuban di dalam diri : Ada penceramah yang merasa diri sebagai hero dan telah mencapai maqam pejuang berkorban persis Nabi Ibrahim a.s apabila mereka ditangkap, dipenjara dan didenda oleh pihak yang menghalang dakwah. <br /><br /><br /><br />Malangnya, ujian itu merosakkannya, hingga dirasakan diri terlalu hebat, lalu dinafikan ketulenan pejuang lain yang belum ditangkap sebagai amatur dan bertaraf rendah. Sama ada melalui tulisan, percakapan mahupun gerak hatinya. <br /><br /><br /><br />Lebih menyedihkan jika peristiwa halangan ini mengubah niatnya kepada untuk terus menerus dilihat gagah dan berani dalam dakwahnya. Hilang habislah tujuan Allah dari hatinya. <br /><br /><br /><br />• Imbuhan dan bayaran : Penceramah sekali lagi digegarkan keikhlasan mereka akibat imbuhan dan bayaran. Mungkin pada mulanya ramai penceramah yang mampu berniat ikhlas kerana Allah, menyampaikan ilmu kerana menurut sunnah Rasululah s.a.w. Namun lama kelamaan, apabila nama menaik, muncul di kaca TV, di corong radio, berteleku di hadapannya para bangsawan, menteri, jutawan dan pembesar, ikhlasnya menjadi semakin terhakis. <br /><br /><br /><br />Populariti menjadikannya semakin ‘sakit' di sisi Allah. Sebarang ceramah tanpa bayaran atau tidak menepati statusnya akan ditolak mentah atau dituntut tunggakan bayaran. Jika sekadar tambang dan kos-kos biasa, mungkin ia munasabah, namun apa yang dituntut dan diminta adalah tinggi menggunung tanpa mengira status pihak yang menjemput. Di ketika itu, Imbuhan dan bayaran telah mengambil tempat Allah swt dalam hatinya. <br /><br /><br /><br />• Kecintaan kepada pujian : Penceramah juga diserang oleh rasa cinta kepada pujian manusia, segala isi ceramah cuba difikirkan apa yang sesuai dan disukai oleh pendengar, jika pendengar sukakan gelak, seribu satu macam ceritera lucu mengundang tawa akan dimainkan. <br /><br /><br /><br />Jika pendengar sukakan dalil-dalil dan kata-kata ulama dan para sahabat akan dipersembahankan, <br /><br /><br /><br />jika pendengar sukakan ‘nota kaki' dan nama kitab, itu juga akan digariskan dan disebutkan dengan lancar lagak seorang mujtahid ulung. <br /><br /><br /><br />Benar, ada yang mampu untuk terus ikhlas, menyediakan semua itu bagi menambah keberkesanan ceramahnya, membawa manusia kepada Allah swt, namun tidak sedikit yang ikhlasnya menjadi pudar, lalu semua itu disediakan agar dilihat, <br /><br /><br /><br />‘Hebat', ‘Alim', ‘Pakar' ‘Bijak', ‘Best', ‘Sarjana', ‘Setaraf Tok Guru', ‘Persis Mujtahid' dan pelbagai lagi tujuan-tujuan salah yang dimomokkan oleh Syatian setiap hari. <br /><br /><br /><br />Di benak para pendakwah melalui ceramah ini, sentiasa berusaha untuk ikhlas kerana Allah, namun Syaitan sentiasa berjuang merosakkan ikhlasnya dengan apa yang tersebut di atas malah berpuluh lagi cara. Ya Allah, alangkah mencabar dan sukarnya untuk mengekalkan keikhlasan dalam perjuangan melalui medium ceramah. <br /><br /><br /><br />PENDAKWAH MELALUI TULISAN <br /><br />Ada di kalangan insan yang soleh lagi baik ini, tidak berkemampuan dalam bertutur lancar dan menawan. Namun dianugerahi kelebihan menulis yang baik dan mengkagumkan. Lalu pendawkah ini mula mengorak langkah menulis buku-buku, membuka web sendiri dan blog, menyebar ilmu melalui tulisannya di forum-forum maya, majalah, buletin dan sebagainya. <br /><br />Niatnya hanyalah satu, iaitu menyebarkan ilmu bagi mendekatkan manusia kepada Allah swt, redha Allah adalah objektif. <br /><br />Namun, dari semasa ke semasa, objektif unggul itu boleh sahaja menjadi pudar akibat :- <br /><br />a- Royalti dan Honorium <br /><br />Hasrat dunia sekali lagi boleh menjadi penghalang bagi seseorang penulis untuk istiqamah dalam keikhlasan. Royalti dan honorium sudah mengambil tempat ‘Kerana Allah', tujuan dan objektif tertinggi yang sepatutnya ‘Akhirat' sudah berubah nama kepada ‘Dunia' <br /><br />"Jika demikian, kita menulis secara percuma, menyerahkan manuskrip buku kepada penerbit tanpa perlu sebarang royalti dan honorium" Demikain tegas beberapa rakan pendakwah, berusaha mencapai penerusan dalam ikhlas. Mujahadah dan menjerat nafsu agar tunduk kepada niat yang tulus ikhlas. <br /><br />"Tidak semestinya berjaya juga, ikhlas tidak semestinya tanpa bayaran dan honorium, ia di dalam hati" Terang saya mengingatkan diri. <br /><br />Matanya mula berkerut mendengar ayat ringkas saya itu. Namun akhirnya dia terangguk-angguk tanda faham tanpa memerlukan penjelasan lanjut. <br /><br />Manakan tidak, seseorang mungkin boleh membuang semua habuan harta itu untuk mencapai ikhlas, namun ikhlas belum tentu boleh wujud semudah itu. <br /><br />Perasan diri ‘hebat', ‘merasa diri ikhlas kerana tidak mengambil habuan harta', rasa diri lebih ikhlas dari mereka yang menerima royalti, suka dan gembira menerima pujian orang sekeliling yang mengisbatkan dirinya sebagai ikhlas kerana tidak mengambil royalti dan honorium juga adalah ‘pembunuh' sebuah keikhlasan yang tulen. <br /><br />Sebenarnya keikhlasan itu boleh wujud sama ada di ketika seseorang pendakwah menerima imbuhan wang hasil penulisan dan ceramahnya, atau juga sebaliknya. Apa yang terdetik di dalam hati serta menjadi tujuan diri, itulah jawapannya. <br /><br />Jika honorium dan royalti tidak memberi kesan kepada hati dan niat asal perjuangannya, ia masih boleh mengekalkan Ikhlas di sisi Allah walau menerima gunungan royalti. <br /><br />Jika pujian dan apa jua pujian orang terhadap penulisannya dan ketegasannya sehingga menolak sebarang bayaran hasil tulisan dan ceramahnya itu tidak berbekas di hati dan bermuzik indah di mindanya. Ia telah ikhlas. <br /><br />Itu tandanya apa juga yang dari manusia sudah tidak memberikan kesan kepada hatinya, hanya redha dan cinta Allah yang ditagihinya. Yang lain hanyalah sampingan, wujud dan tiadanya tidak memberi kesan kepada jiwa. <br /><br />Bagi individu ikhlas yang mengambil royalti, apa yang diperolehi pasti digunakan bagi menambahkan amal bakti kepada umat Islam yang kurang bernasib baik atau menjalankan tanggung jawab dan kewajiban yang tertanggung ke atas dirinya. Hasilnya kebajikan akan berganda hasil royalti dan honorium yang diterima. <br /><br />Bagi yang menolak royalti serta mampu mengekal ikhlas, lalu disunyikan tindakannya itu dari pengetahuan segala macam manusia, agar tidak terganggu hatinya dengan pujian menggunung. Jika diketahui sekalipun, hatinya tidak sama sekali terbekas dengan kata-kata manis manusia, tidak pula dia merasa dan memandang rendah kepada mereka yang menerima royalti. <br /><br />Orang lain tidak perlu ukur ikhlas orang lain, tidak perlu juga mempertikai atau mengiakan keikhlasan seseorang. Cukuplah masing-masing mengukur keikhlasan dirinya dan fikirkan tentangnya sentiasa. <br /><br /><br /><br />• Pujian, nama dan selebriti <br /><br /><br /><br />‘Aku menulis bukan kerana nama' Itulah laungan lagu yang sudah sekian lama kita dengari. <br /><br />Pendakwah mungkin menulis di peringkat awalnya, hanya kerana Allah. Namun di ketika pujian mencurah-curah datang tanpa ditagih. Hatinya kian terganggu, bukan apa... <br /><br />Terganggu apabila beberapa tulisannya tidak dipuji sebagaimana sebelumnya <br /><br />Tatkala itu, keikhlasannya hancur. Tempatnya diambil oleh ‘Tuhan baru' iaitu ‘pujian' dan ‘sanjungan'. Redha manusia menjadi objektif barunya kini. Semuanya kerana dia menyedari sanjungan itu akan boleh membawanya kepada mencipta nama, bukunya boleh menjadi ‘best seller' kerana peminat fanatiknya itu, wang boleh mencurah jatuh ke atas ribaan. <br /><br />Tatkala itu, diri sendiri seolah sudah memberi gelar kepada dirinya sendiri, <br /><br />"aku sudah menjadi seorang selebriti kerana tulisanku" <br /><br />Kalau tidak diakui sendiri, tatkala ada rakan lama yang berkata : <br /><br />"wah!, engkau sudah jadi selebriti sekarang ini, tahniah" <br /><br />Dengan kadar beberapa saat minda, hati dan perasaannya mengakui hakikat itu dan merasa sedikit bangga dengannya. Tanpa disedari, mengakui keselebritian diri itu tanda kita sedang ditipu oleh dunia. Lebih ‘sakit' apabila kebanjiran manusia yang membeli buku, melawat web atau blog, yang menjadi rakan di facebooknya, kemunculannya di TV dan Radio dilihat sebagai indikasi bahawa dirinya sudah layak bergelar ‘selebriti', ‘public figure' yang menggembirakan. <br /><br />Apa yang patut dibuat sepatutnya adalah, hati wajib menafikannya serta segera menarik hati dan jiwa kepada persoalan berikut: <br /><br />"Adakah aku sudah berjaya menjadi selebriti atau ‘public figure' penulis (atau penceramah) di sisi Allah, pada pandangan Allah?, Bukankah itu tujuan asal kita?" <br /><br />Saya teringat kata-kata sahabat besar, iaitu Ibn Mas'ud r.a , ketika beliau keluar berjalan, kerap ada ramai yang mengikutnya, bagi mendapatkan ilmu darinya, lalu beliau berkata kepada khalayak yang mengikutinya:<br /><br />علام تتبعوني؟ فوالله لو تعلمون ما أغلق عليه بابي ما اتبعني منكم رجلان<br />Ertinya : Atas sebab apakah kamu semua mengikutiku? Demi Allah kalau kamu tahu apa yang aku lakukan dibalik pintuku yang tertutup nescaya tiada siapa yang akan mengikutiku lagi. ( Ihya Ulumiddin, Al-Ghazzali & Tafsir Ibn Kathir, 6/343) <br /><br />Justeru, maka sedarilah diri yang mudah lupa, Syaitan sentiasa berusaha menghancurkan kewarasan iman kita. Ikhlas kita sering menjadi sasaran sang Syaitan, untuk dilupuskan. Bukankah ia sebuah ujian yang sukar buat para pendakwah. ? Ya tentunya, malah mungkin lebih sukar dari ditangkap dan dipenjara jasad. Hati yang terpenjara dengan niat selain Allah adalah sebesar-besar kegagalan manusia, yang sepatutnya menjadi hamba dan khalifah Allah swt. <br /><br /><br /><br />• Ahli akademik, Pangkat dan gelaran <br /><br /><br /><br />Sebahagian pendakwah dari kalangan penulis terdiri dari golongan bijak pandai di Universiti, khususnya di fakulti-fakulti yang melibatkan Islam. Mereka banyak mengkaji dan menulis hasil kajian mereka dan seterusnya disiarkan melalui buku, jurnal, pembentangan di konferen dan seminar dan sebagainya. Niat asal tidak lain tidak bukan hanya mencapai redha Allah dan mencerahkan manusia kepada jalan keredhaan Ilahi. Merungkai yang kusut, menjernih yang keruh, melurus yang bengkok dan memurnikan yang bergolak. <br /><br />Namun, sebagaimana pendakwah yang lain, kumpulan ini juga turut digoda dan akhirnya niat ikhlas tersasar dari landasannya. <br /><br />Seorang pensyarah universiti terlihat saya sedang menulis dengan tekun lalu menyapa : <br /><br />"Tengah menulis apa?" <br /><br />"Tengah siapkan sikit lagi buku baru saya" jawab saya ringkas <br /><br />"Buku tentang apa? Rugi kalau tulis sekarang ni, tunggulah dah siap PhD nanti. Tulis buku sekarang ini tak masuk dalam kiraan merit" katanya tanpa rasa malu dan segan. <br /><br />"Berkenaan kewangan Islam, ooo ye ke tak masuk dalam merit, tapi tak mengapalah" jawab saya semula, cuba ambil hati beliau yang sibuk memikirkan soal merit. <br /><br />"Tapi kalau rasa nak jual buku dan ambil royalti aja, pun ok juga" katanya lagi sambil tergelak kecil dan kemudiannya berlalu pergi. <br /><br />Saya hanya mampu memberikan senyuman tawar kepadanya. <br /><br /><br /><br />Itulah kebanyakan mentaliti pensyarah dan ahli akademik yang wujud dewasa ini, jelas sungguh apa yang dalam benaknya hanyalah merit dan wang. Tidak terfikir olehnya menulis kerana Allah dan mencapai redha Allah walau tidak peroleh merit ataupun royalti. Mungkin agaknya terlalu pelik di zaman ini? Mari sama-sama kita berusaha mencapainya..menjadi orang pelik di akhir zaman ! <br /><br />Memang ramai dari kalangan ahli akademik yang menulis kerana mengejar merit untuk melayakkan diri mendapat kenaikan gaji dan pangkat. Kerap kali terdengar perbincangan di kalangan mereka hanya berkisar tentang naik pangkat, mesti capai prof madya segera, naik gred gaji, jurnal antarabangsa dan seumpamanya, <br /><br />Justeru itu, tulisannya digubah indah lagi rumit dipenuhi bahasa-bahasa akademik, katanya "khas untuk pembacaan bijak pandai". Ya itu perlu bagi menunjukkan kebijaksanaannya. Jurnal-jurnal menjadi ‘kegilaan' ahli akademik di zaman ini, begitu banyak senarai jurnal dalam catitannya, sama ada jurnal kelas tinggi, sederhana dan rendah. <br /><br />Hidupnya di bilik sejuknya digadaikan untuk menghasilkan kajian dan penulisan cemerlang di mata majlis editor pakar sesebuah jurnal yang dicintainya. Jika tidak sedemikian, ada pula yang menulis untuk konferen besar, mulanya niat adalah untuk mengembangkan ilmu kepada masyarakat antarabangsa, agar mereka turut mendapat redha Allah, namun malang di pertengahan jalan, niat tersasar. <br /><br />Populariti serta networking yang ditagih dalam konferen dan seminar besar yang dihadirinya, semua diniat untuk menambah kenikmatan dunia. Ya, harapannya untuk menaikkan pencapaian diri di dunia dengan kepujian, dilihat 'berjaya oleh sanak saudara dan taulan. Tidak lupa juga untuk membawa pulangan harta juga. Akhirnya, niat ikhlas kerana Allah menjadi semakin terpadam, sedikit demi sedikit hingga tidak tinggal satu apapun amalannya yang dilihat oleh Allah swt.<br /><br /><br /><br /><br /><br />PENDAKWAH MELALUI POLITIK, JAWATAN DAN PANGKAT <br /><br />Ada sekumpulan pendakwah, berjuang Islam dan mencari redha Allah melalui jalan politik, jawatan yang dipegang yang yang ‘ingin dipegang'. <br /><br />Di dalam hati mereka seolah tertulis, ingin melaksanakan yang terbaik untuk mencapai maqam terbaik di sisi Allah, lalu jalan ini diambil selain jalan-jalan sampingan yang lain juga turut digunakan. <br /><br />Namun liciknya Syaitan, dengan mudah sahaja seorang pendakwah Islam melalui medium politik boleh jatuh tersungkur di sisi Allah. Akhirnya dia berjuang bukan lagi kerana Islam dan redha Allah, tetapi kerana kecintaan kepada penyokong yang ramai, pangkat, pejabat besar dan puja puji orang bawahan. <br /><br />Lebih parah, apabila dipandang hina semua pendakwah yang tidak berjuang sepertinya atau ‘ tidak berjuang melalui jalan politik'. Dirasakan mereka itu semua bacul, penakut, sebahagiannya munafiq, tercicir di jalan dakwah, hanya ingin berjuang dalam comfort zone, pendakwah ‘mee segera' dan pelbagai lagi perasaan benci dan gelaran buruk kalau boleh disebatikan dengan pendakwah yang tidak sepertinya. <br /><br />Tatkala itu, hancurlah amalannya, bukankah telah disabda Nabi s.a.w bahawa ‘ujub itu menghancur amalan. Lebih jauh dari itu, digelar pula dirinya sebagai mujahid, pejuang Islam tulen atau pelbagai gelaran lain bagi menunjukkan dirinya sedang berjuang dengan gagah berani lagi sengit. Tidak seperi pendakwah lain. <br /><br />Sepatutnya, jika gelaran ‘mujahid' itu diberi orang, janganlah dia terkesan dengannya, kerana dirinya mungkin dilihat pejuang di sisi manusia, namun belum tentu di sisi Allah. Orang yang berjuang boleh berdoa agar tergolong di kalangan pejuang, namun untuk melabelkan diri sebagai ‘pejuang', itu bukan caranya. Biar Allah sahaja menentukan kita adalah pejuang atau tidak. Tugas kita adalah sentiasa memastikan kita layak melalui ikhlas dan rendah diri. <br /><br />Cabaran pendakwah melalui medan politik memang besar, ia boleh datang dari pihak sekular yang membencinya, lalu digunakan kuasa untuk menekan dan mengancamnya. Ia juga boleh datang dari Syaitan durjana yang jauh lebih professional dari manusia yang terlihat dek mata. <br /><br />Boleh sahaja, perjuangan itu tersasar kerana keinginan kepada ‘kuasa' terlebih dari sepatutnya. Tatkala itu keikhasannya pudar dan semakin terpadam. Akhirnya takala dia sudah memegang kuasa, jawatan, apa yang dijanjikan kepada Allah sebelum ini dilupakan, kerjanya untuk mencapai redha manusia dan pengundinya menjadi semakin dominan berbanding redha Allah. Tatkala itu hancurlah dia pada pandangan Allah swt. <br /><br />PENDAKWAH MENUNTUT ILMU <br /><br />Selain berdakwah dengan mengajar, pendakwah juga sentiasa berterusan belajar dan terus belajar. Hasil ilmu asas yang baik dalam diri, dijadikan modal untuk meneruskan pembacaan dan galian ilmu yang tiada tara dalamnya. <br /><br />Namun, seseorang yang menuntut ilmu sering diingatkan nabi sa.w.w agar berterusan menjaga keikhlasan. Ilmu yang dicari dan digali dengan niat menunjuk lebih pandai dan alim, jaguh berdebat, mengelirukan orang ramai, menutup kesalahan diri dan seumpamanya, akan pasti membuahkan ilmu-ilmu yang memporak perandakan masyarakat, bukan menyatukannya. <br /><br />Bukankah ilmu sepatutnya membawa kepada Allah, dan semua pihak yang bersama Allah akan bersatu padu. Itulah formula yang ditegas oleh Allah swt :<br /><br />وَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ لَوْ أَنفَقْتَ مَا فِي الأَرْضِ جَمِيعاً مَّا أَلَّفَتْ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ وَلَـكِنَّ اللّهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ<br />Ertinya : Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, nescaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka ( Al-Anfaal : 63) <br /><br />Namun hari ini, Negara kita semakin ramai pendakwah dan ilmu yang digali dari pelbagai jenis Negara dan guru. Malangnya, manusia dan umat Islam khususnya tidak semakin tenang, tetapi semakin bergolak. Lebih tinggi ilmu mereka ini, lebih bergolak dan berpecah orang di bawahnya. Kerana apa? <br /><br />Banyak sebabnya, boleh sahaja menyalahkan Syaitan dalam hal ini, namun tidak kurangnya adalah si ilmuan, pendakwah dan penuntut ilmu yang menuntut bukan ikhlas kerana Allah, tetapi atas kepentingan diri sendiri dan kumpulan yang dicenderunginya. <br /><br />Dirinya merasakan sedang berjuang habis-habis menghapuskan kemungkaran dan kekeliruan dalam agama. <br /><br />Dirasakan dirinya sedang adalah sentiasa di pihak yang benar lagi tepat. Hingga kebenaran yang dirasakan berada di pihaknya itu menghalalkan dirinya untuk menyesat, mengkafir, membid'ahkan dan menghukum orang dan pihak lain. Seolah tiada lagi ruang dan kemungkinan, kebenaran berada di pihak yang satu lagi. <br /><br />Akhrinya, syaitan mengambil alih, mengubah niatnya dari menuntut ilmu secara ikhlas untuk mencapai redha Allah kepada menuntut ilmu agar boleh mempertahankan kumpulannya, ideanya, maruahnya, dan periuk nasinya. Lalu malang mereka...apakah yang boleh menyedarkan mereka ? Wallahu'alam. <br /><br />KESIMPULAN <br /><br />Tulisan ini sebenarnya lebih kepada peringatan buat sendiri. Cuma ia disiarkan untuk dimanfaatkan oleh mana-mana rakan pendakwah yang sudi mengambil manfaat. <br /><br />Ia merupakan peringatan kepada salah satu cabaran terbesar buat para individu yang menceburi bidang dakwah, namun terlupa akan cabaran ini. Akhirnya minda dan hati, menjadi sarang yang busuk dek kuman dan virus Syaitan. Bimbang matinya kita kelak, merasa diri sudah berjuang dan berdakwah tetapi dilihat SEBALIKNYA oleh Allah swt. <br /><br />Sebuah hadis yang sangat memberi kesan kepada jiwa, sejak dahulu lagi, iaitu :-<br /><br />إن أول الناس يقضى يوم القيامة عليه رجل استشهد, فأُتي به فعرفه نعمه فعرفها, قال: فما عمِلتَ فيها؟ قال: قاتلت فيك حتى استشهدت, قال: كذبت, ولكنك قاتلت لأن يقال: جريء, فقد قيل, ثم أمر به فسحب على وجهه حتى ألقي في النار. ورجل تعلم العلم وعلّمه, وقرأ القرآن, فأتي به فعرفه نعمه فعرفها, قال: فما عملت فيها؟ قال: تعلمت العلم وعلّمته, وقرأت فيك القرآن, قال: كذبت, ولكنك تعلمت العلم ليقال: عالم, وقرأت القرآن ليقال: هو قارئ, فقد قيل, ثم أمر به فسحب على وجهه حتى ألقي في النار. ورجل وسّع الله عليه, وأعطاه من أصناف المال كله, فأتي به فعرفه نعمه فعرفها, قال: فما عملت فيها؟ قال: ما تركت من سبيل تحبّ أن ينفق فيها إلا أنفقت فيها لك, قال: كذبت, ولكنك فعلت ليقال: هو جواد, فقد قيل, ثم أمر به فسحب على وجهه, ثم ألقي في النار<br />Maksudnya (ringkasan terjemahan) : <br /><br />Antara yang terawal diadili di hari qiyamat kelak adalah mereka yang mati syahid. Kemudian ditanya kepada mereka : Apakah yang kamu telah perbuat (amalan di dunia dahulu)? <br /><br />Jawabnya : Aku telah berjuang untukMu (wahai Allah) sehingga mati syahid <br /><br />Dibalas : Kamu berbohong, tetapi kamu berjuang untuk digelar "SANG BERANI" <br /><br />maka dikatakan, telah ditarik semula amalannya dan dicampakkan ke mukanya dan dilontarkan dia ke dalam neraka. <br /><br />Ditanyakan kepada (orang kedua) : Apakah yang kamu telah perbuat (amalan di dunia dahulu)? <br /><br />Jawabnya : "Aku mempelajari ilmu, mengajarkannya dan membacakan keranaMu Al-Quran" <br /><br />Dijawab semula : Kamu berbohong, kamu mempelajari ilmu agar kamu boleh digelar ‘ALIM, kamu membaca Al-Quran agar digelar "QARI" <br /><br />maka dikatakan, telah ditarik semula amalannya dan dicampakkan ke mukanya dan dilontarkan dia ke dalam neraka. <br /><br />Ditanyakan kepada (orang ketiga) : Apakah yang kamu telah perbuat (amalan di dunia dahulu)? <br /><br />Jawabnya : "Tidak aku sesuatu yang engkau sukai untukku dermakannya kecuali telah aku dermakannya keranaMu" <br /><br />Dijawab semula : "Kamu berbohong kamu mendermakannya agar kamu digelar "DERWAMAN" <br /><br />maka dikatakan kepada Malaikat, lalu telah ditarik semula amalannya dan dicampakkan ke mukanya dan dilontarkan dia ke dalam neraka ( Riwayat Muslim, no 3527, Kitab al-Imarah) <br /><br />Semoga kita semua dijauhkan kita semua dari racun hati oleh si musuh Allah yang sentiasa bekerja keras untuk istiqamah atas landasan ikhlas yang sebenarnya. Bagi sesiapa yang telah berjaya ikhlas, tiba-tiba dipuja dan puji oleh manusia atas sumbangan dan kebaikannya, segala itu tidak memberikan kesan kepada kecintaan dan niatnya yang ikhlas kepada Allah. Mereka itulah yang disebut dalam hadis:-<br /><br />أرأيت الرجل يعمل العمل من الخير، ويحمده الناس عليه؟ قال: "تلك عاجل بشرى المؤمن<br />Ertinya : Ditanya kepada Nabi s.a.w berkenaan seorang yang berbuat amal kebaikan, tiba-tiba manusia memujinya?. Jawab baginda : Itulah ganjaran gembira yang didahulukan buat para mukmin" ( Riwayat Muslim) <br /><br />Ibn Qayyim pernah berkata berkata : "Amal tanpa keikhlasan seperti musafir yang mengisi kantong dengan kerikil pasir. Memberatkannya tapi tidak bermanfaat." <br /><br />Benarlah, bahawa ikhlas bagi adalah satu ujian yang lebih malah sangat sukar bagi seorang pendakwah dan mukmin. Bagi lagi medium yang diceburi pendakwah termasuklah seni, drama, nasyid dan pelbagai lagi. Namun semua akan menghadapi cabaran besar ikhlas, ia sebuah cabaran yang sangat sukar... <br /><br /><br /><br />Sekian <br /><br /><br /><br />Zaharuddin Abd Rahman <br /><br />www.zaharuddin.net <br /><br />5 Zulhijjah 1430 H <br /><br />1 Disember 2009Nor Baizura bt Zulkiflihttp://www.blogger.com/profile/03309953886503563441noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3016061427110327614.post-44707767243764303732010-11-22T04:11:00.000-08:002010-11-22T04:12:52.351-08:00Sunnah Di Dalam Persoalan Ziarah Kubur<strong>Sunnah Di Dalam Persoalan Ziarah Kubur</strong><br />http://fiqh-sunnah.blogspot.com<br /><br />Dalil Disunnahkan (disyari'atkan) menziarahi kubur:<br /><br />عن بريدة بن الحصيب رضي الله عنه قال: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إني كنت نهيتكم عن زيارة القبور، فزوروها<br /><br />Maksud: Dari Buraidah B. Al-Hushaib radhiyallahu 'anhu, beliau berkata:<br /><br />Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda: Dulu aku pernah melarang kamu untuk menziarahi kuburan, tetapi sekarang ziarahilah. (Hadis Riwayat Muslim, Kitab al-Jana'iz, no. 1623)<br /><br />فَمَنْ أَرَادَ أَنْ يَزُورَ فَلْيَزُرْ وَلَا تَقُولُوا هُجْرًا<br /><br />Maksud: Oleh kerana itu, sesiapa yang hendak menziarahi kubur, hendaklah dia melakukannya, dan janganlah kamu mengucapkan kata-kata yang batil. (Hadis Riwayat an-Nasa'i, Bab ziarah Kubur, no. 2006. Dinilai Sahih oleh al-Albani, Shahih Sunan an-Nasa'i, no. 2033)<br /><br />إِنِّي كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ ثَلَاثٍ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا وَلْتَزِدْكُمْ زِيَارَتُهَا خَيْرًا<br /><br />Maksud: Dulu aku melarang kamu dari tiga perkara (iaitu) menziarahi kubur, tetapi sekarang, ziarahilah ia dan hendaklah ziarah yang kamu lakukan itu menambah kebaikan... (Hadis Riwayat an-Nasa'i, Kitab adh-Dhohaya, no. 4353. Dinilai Sahih oleh al-Albani, Shahih Sunan an-Nasa'i, no. 5653)<br /><br />عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُكُمْ الْآخِرَةَ<br /><br />Maksud: Dari Abi Hurairah, beliau berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda:<br /><br />Menziarahi kubur, dengannya dapat mengingati akhirat. (Hadis Riwayat Ibnu Majah, Kitab Ziarah Kubur, no. 1558. Ahmad, Musnad Ahmad, 3/179, no. 1173. Dinilai Shahih oleh al-Albani, Shahih Sunan Ibnu Majah, no. 1569 dan Shahih al-Jami' ash-Shoghir, no. 7829)<br /><br />عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنِّي نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا فَإِنَّ فِيهَا عِبْرَةً<br /><br />Maksud: Dari Abi Sa'id al-Khudri, beliau berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda:<br /><br />Sesungguhnya aku telah melarang kamu dari menziarahi kubur, tetapi sekarang, kamu sudah boleh berziarah kerana sesungguhnya di dalamnya terdapat 'ibrah (pelajaran). (Hadis Riwayat Ahmad, Musnad Ahmad, 22/466, no. 10901. al-Baihaqi, Sunan al-Kubra, 4/77. al-Hakim, al-Mustadrak, 3/414, no. 1335. Dan beliau menyatakannya Sahih di atas syarat Muslim. Dinilai Sahih oleh al-Albani, Shahih Targhib wa at-Tarhib, no. 3543)<br /><br />زِيَارَةِ الْقُبُورِ ثُمَّ بَدَا لِي أَنَّهَا تُرِقُّ الْقَلْبَ وَتُدْمِعُ الْعَيْنَ وَتُذَكِّرُ الْآخِرَةَ فَزُورُوهَا وَلَا تَقُولُوا هُجْرًا<br /><br />Maksud: Menziarahi kubur itu melembutkan hati, menitiskan air mata, dan mengingatkan kepada kehidupan akhirat. Dan janganlah kamu berkata-kata dengan perkataan yang batil/keji. (Hadis Riwayat Ahmad, Musnad Ahmad, 27/47, no. 13000. al-Hakim, al-Mustadrak, 3/421, no. 1342. Hadis daripada Anas B. Malik)<br /><br />Sunnah Ziarah Kubur Adalah Umum Sama ada Kubur Kaum Muslimin Atau Orang Kafir:<br /><br />عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: مَرَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِامْرَأَةٍ عِنْدَ قَبْرٍ وَهِيَ تَبْكِي فَقَالَ اتَّقِي اللَّهَ وَاصْبِرِي<br /><br />Maksud: Dari Anas B. Malik radhiyallahu 'anhu, beliau berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam pernah berjalan melintasi seorang perempuan yang sedang berada di perkuburan dan sedang menangis. Maka beliau pun berkata kepadanya:<br /><br />Bertaqwalah kepada Allah dan bersabarlah... (Hadis Riwayat al-Bukhari, Bab Ziarah Kubur (Kitab al-Jana'iz), 4/476, no. 1174)<br /><br />Syaikh al-Albani menukilkan:<br /><br />وقال العيني في (العمدة) (3 / 76): وفيه جواز زيارة القبور مطلقا، سواء كان الزائر رجلا أو امرأة: وسواء كان المزور مسلما أو كافرا، لعدم الفصل في ذلك<br /><br />Maksud: Dan telah berkata al-'Aini di dalam (kitab) Syarahnya iaitu al-'Umdah (3/76): Di dalam hadis tersebut memiliki pengertian yang membolehkan perbuatan menziarahi kubur secara mutlak, sama ada lelaki mahu pun perempuan, atau yang diziarahi itu Muslim atau pun kafir disebabkan tiadanya penjelasan berkenaan dengannya. (Rujuk: al-Albani, Ahkamul Janaz'iz, m/s. 185, Maktabah Syamilah. Edisi Terjemahan m/s. 417, Terbitan Pustaka Imam asy-Syafi'i, Cet. 2 September 2006)<br /><br />Imam an-Nawawi juga turut menjelaskan bahawa perbuatan menziarahi kubur adalah umum (dibolehkan secara mutlak) sama ada kubur orang Islam atau orang kafir:<br /><br />قال النووي: وبالجواز قطع الجمهور، وقال صاحب الحاوي: لا تجوز زيارة قبر الكافر وهو غلط<br /><br />Maksud: Berkata imam an-Nawawi: Secara pasti bahawa jumhur ulama membolehkan ziarah kubur. Penulis kitab al-Haawii (Abul Hasal al-Mawardi) berkata: "Tidak dibolehkan menziarahi kubur orang kafir". Dalam perkara ini, dia telah salah (gholath). (Rujuk: al-Albani, Ahkamul Janaz'iz, m/s. 185, Maktabah Syamilah. Edisi Terjemahan m/s. 417, Terbitan Pustaka Imam asy-Syafi'i, Cet. 2 September 2006. Rujuk juga: Ibnu Hajar, Fathul Bari Syarah Shohih al-Bukhari, 3/150)<br /><br />Juga terdapat hadis yang menjelaskan bolehnya menziarahi kubur orang yang matinya di dalam keadaan tidak memeluk Islam. Di mana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam pernah menziarahi kubur ibunya:<br /><br />عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: زَارَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْرَ أُمِّهِ فَبَكَى وَأَبْكَى مَنْ حَوْلَهُ فَقَالَ اسْتَأْذَنْتُ رَبِّي فِي أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِي وَاسْتَأْذَنْتُهُ فِي أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأُذِنَ لِي فَزُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ<br /><br />Maksud: Dari Abi Hurairah radhiyallahu 'anhu, beliau berkata:<br /><br />Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam pernah menziarahi kubur ibunya lalu beliau mengangis, maka orang-orang di sekelilingnya pun turut menangis. Beliau pun bersabda:<br /><br />Aku meminta izin kepada Rabb-ku untuk memberikan keampunan untuk ibuku, tetapi Dia tidak mengizinkanku. Aku meminta izin untuk menziarahi kuburnya, maka Dia memberi izin kepadaku. Oleh kerana itu, ziarahlah kubur, kerana ia dapat mengingatkan kepada kematian. (Hadis Riwayat Muslim, Kitab al-Jana'iz, no. 1622) <br />Imam an-Nawawi rahimahullah menjelaskan:<br /><br />فيه جواز زيارة المشركين في الحياة وقبورهم بعد الوفاة لأنه اذا جازت زيارتهم بعد الوفاة ففي الحياة<br /><br />“Hadis ini menunjukkan bolehnya menziarahi orang-orang musyrik yang masih hidup dan bolehnya menziarahi kuburan mereka setelah mereka meninggal. Kerana sekiranya menziarahi mereka ketika meninggal dibolehkan, sudah tentu menziarahi mereka di ketika masih hidup lebih boleh lagi.” (an-Nawawi, Syarah Shohih Muslim, 7/45)<br /><br />Tujuan Menziarahi Kubur:<br /><br />Pertama:<br /><br />انتفاع الزائر بذكر الموت والموتى، وأن مآلهم إما إلى جنة وإما إلى نار وهو الغرض الاول من الزيارة<br /><br />Maksud: Orang yang berziarah dapat mengambil manfaat dengan mengingati kematian orang-orang yang telah meninggal dunia dan bahawasanya tempat kembali mereka hanya Syurga atau Neraka. Demikianlah tujuan pertama menziarahi kubur. (Rujuk: al-Albani, Ahkamul Jana'iz, m/s. 188, Maktabah Syamilah)<br /><br />Di antara lain, daripada hadis-hadis di atas dapat kita fahami bahawa menziarahi kubur dapat:<br /><br />1 - Mengingati akhirat (mati),<br /><br />2 - di dalamnya terdapat 'ibrah (pelajaran), dan<br /><br />3 – dapat melembutkan hati.<br /><br />Kedua:<br /><br />نفع الميت والاحسان إليه بالسلام عليه، والدعاء والاستغفار له، وهذا خاص بالمسلم<br /><br />Maksud: Memberikan manfaat kepada si jenazah (si mati) sekaligus sebagai bentuk perbuatan baik kepadanya dengan memberi salam, mendoakannya, dan memohon keampunan baginya. Yang demikian itu khusus bagi Muslim sahaja. (Rujuk: al-Albani, Ahkamul Jana'iz, m/s. 189, Maktabah Syamilah)<br /><br />Sunnah Mendoakan Ahli Kubur (Apabila Menziarahi Kubur):<br /><br />عَنْ عَائِشَةَ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَخْرُجُ إِلَى الْبَقِيعِ فَيَدْعُو لَهُمْ فَسَأَلَتْهُ عَائِشَةُ عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ إِنِّي أُمِرْتُ أَنْ أَدْعُوَ لَهُمْ<br /><br />Maksud: Dari 'Aisyah (beliau berkata):<br /><br />Bahawasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam pernah pergi ke tanah perkuburan Baqi'. Kemudian, beliau mendoakan para penghuninya.<br /><br />'Aisyah bertanya kepada beliau berkenaan perkara tersebut, maka beliau menjawab:<br /><br />Sesungguhnya aku diperintahkan untuk mendoakan mereka. (Hadis Riwayat Ahmad, Musnad ahmad, 52/110, no. 24952. Sanadnya sahih berdasarkan syarat dua kitab sahih sebagaimanya dinyatakan oleh Syaikh al-Albani di dalam Ahkamul Jana'iz, m/s. 189)<br /><br />Doa Ketika Menziarahi Kubur:<br /><br />Dari sebuah hadis yang agak panjang:<br /><br />كَيْفَ أَقُولُ لَهُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟<br /><br />قَالَ: قُولِي:<br /><br />السَّلَامُ عَلَى أَهْلِ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ وَيَرْحَمُ اللَّهُ الْمُسْتَقْدِمِينَ مِنَّا وَالْمُسْتَأْخِرِينَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لاَحِقُونَ<br /><br />Maksud: ('Aisyah bertanya) Bagaimana harus aku katakan (doakan) kepada mereka (ahli kubur) wahai Rasulullah?<br /><br />Beliau menjawab, katakanlah:<br /><br />Semoga keselamatan dilimpahkan ke atas ahli kubur, dari kalangan orang Mukmin dan Muslim. Semoga Allah memberikan rahmat kepada orang telah meninggal dunia terdahulu atau terkemudian. Sesungguhnya, insyaAllah kami akan menyusul bertemu kamu semua. (Hadis Riwayat Muslim, 5/102, Kitab al-Jana'iz, no. 1619)<br /><br />Disunnahkan (atau dibolehkan) mengangkat tangan ketika mendoakan ahli kubur berdasarkan dari hadis yang sama:<br /><br />فَقَامَ فَأَطَالَ الْقِيَامَ ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ انْحَرَفَ فَانْحَرَفْتُ<br /><br />Maksud: (Ketika di perkuburan Baqi') Beliau berdiri cukup lama dan kemudian mengangkat kedua tangannya tiga kali. Dan beliau pun kemudiannya terus pulang... (Hadis Riwayat Muslim, 5/102, Kitab al-Jana'iz, no. 1619)<br /><br />Ketika berdoa tidak boleh menghadap ke arah kubur, tetapi hendaklah menghadap ke arah kiblat. Ini adalah kerana terdapat larangan bersolat dengan menghadap ke arah kubur. Dan terdapat pula hadis yang sahih menjelaskan bahawa doa itu adalah ibadah. (Untuk penjelasan lanjut, rujuk: al-Albani, Ahkamul Janai'z)<br /><br />Disunnahkan Membuka Selipar/Kasut:<br /><br />Adalah disunnahkan supaya membuka kasut/selipar ketika menziarahi kubur. Ini berdasarkan hadis berikut:<br /><br />(بينما أماشي رسول الله (ص)...أتى على قبور المسلمين...فبينما هو يمشي إذ حانت منه نظرة، فإذا هو برجل يمشي بين القبور عليه نعلان، فقال: يا صاحب السبتيتين ألق سبتيتيك، فنظر، فلما عرف الرجل رسول الله (ص) خلع نعليه، فرمى بهما<br /><br />Maksud: Ketika aku menemani Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam, di ketika melalui perkuburan kaum Muslimin... Ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam berjalan, tiba-tiba pandangannya tertumpu kepada satu arah. Ternyata beliau melihat seorang lelaki berjalan-jalan di antara kubur dengan mengenakan sepasang terompah, maka beliau pun bersabda:<br /><br />Wahai orang yang memakai dua terompah, celaka kamu, lepaskanlah kedua terompahmu itu.<br /><br />Maka orang tersebut pun memandang dan ketika orang itu mengetahui bahawa yang dipandang itu adalah Rasulullah, dia pun segera melepaskan kedua terompahnya lalu melemparkan keduanya. (Hadis Riwayat al-Baihaqi, Sunan al-Kubra, 4/80. Ibnu Hibban, Shahih Ibnu Hibban, 13/334, no. 3237. al-Hakim, al-Mustadrak, 3/407, no. 1328)<br /><br />Berkenaan hadis ini, al-Hafiz Ibnu Hajar al-Asqalani berkata:<br /><br />والحديث يدل على كراهة المشي بين القبور بالنعال<br /><br />Maksud: Dan hadis ini menunjukkan dimakruhkannya berjalan di antara kubur dengan memakai sandal (kasut/selipar/terompah). (Rujuk: al-Albani, Ahkamul Jana'iz, m/s. 199, Maktabah Syamilah)<br /><br />Manakala Syaikh al-Albani berkata:<br /><br />والاقرب أن النهي من باب احترام الموتى، فهو كالنهي عن الجلوس على القبر<br /><br />Maksud: Yang lebih dekat dengan kebenaran adalah bahawa larangan tersebut sebagai sebuah tindakan menghormati orang-orang yang telah meninggal dunia. Ia sama juga seperti larangan duduk-duduk di atas kuburan. (Rujuk: al-Albani, Ahkamul Jana'iz, m/s. 200, Maktabah Syamilah)<br /><br />Menziarahi Kubur Di Waktu Malam:<br /><br />Terdapat juga contoh dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam bahawa beliau menziarahi kubur di waktu malam.<br /><br />Ini adalah berdasarkan sebuah hadis yang agak panjang, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam keluar menziarahi perkuburan Baqi' di waktu malam dan mendoakan untuk penghuninya. (Rujuk: Hadis Riwayat Muslim, 5/102, Kitab al-Jana'iz, no. 1619) <br />Larangan Berhari Raya Di Perkuburan (Tidak mengadakan apa-apa majlis di perkuburan)<br /><br />Hadis daripada Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda:<br /><br />لَا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ قُبُورًا وَلَا تَجْعَلُوا قَبْرِي عِيدًا وَصَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ تَبْلُغُنِي حَيْثُ كُنْتُمْ <br />Maksud: Janganlah kamu jadikan rumah-rumah kamu seperti perkuburan dan jangan jadikan kuburku sebagai tempat perayaan. Berselawatlah ke atasku kerana sesungguhnya selawat kamu akan sampai kepadaku di mana jua kamu berada. (Hadis Riwayat Abu Daud, Bab: Ziarah al-Kubur, 5/418, no. 1746. Isnadnya sahih dan dihasankan oleh Ibnul Qayyim. Disahihkan oleh al-Albani - Rujuk: al-Albani, Shohih Sunan Abi Daud, 6/282, no. 1780. Diriwayatkan juga oleh Ahmad, Musnad Ahmad, 14/403, no. 8804 dan dinyatakan Isnadnya hasan oleh Syaikh Syu'aib al-Arnauth)<br /><br />Tidak Dibenarkan Duduk Di Atas Kubur Serta Bersandar Padanya<br /><br />لأَنْ يَجْلِسَ أَحَدُكُمْ عَلَى جَمْرَةٍ فَتُحْرِقَ ثِيَابَهُ فَتَخْلُصَ إِلَى جِلْدِهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَجْلِسَ عَلَى قَبْرٍ<br />Maksud: Sesungguhnya jika seseorang daripada kamu duduk di atas bara api lalu ia membakar pakaiannya sehingga mengenai kulitnya, maka ia adalah lebih baik baginya dari dia duduk di atas kubur. (Hadis Riwayat Muslim, Shohih Muslim, Bab: Larangan Duduk Di Atas Kubur dan Solat Di Atasnya, 5/93, no. 1612)<br /><br />Tetapi dibenarkan (dibolehkan) duduk di tepi/sisi kubur berdasarkan hadis berikut (daripada Anas radhiyallahu 'anhu):<br />شَهِدْنَا بِنْتًا لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. قَالَ<br /><br />وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَالِسٌ عَلَى الْقَبْرِ قَالَ: فَرَأَيْتُ عَيْنَيْهِ تَدْمَعَانِ<br />Maksud: Kami melihat ketika kematian puteri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam (iaitu Ummi Kaltsum radhiyallahu ‘anha). (Anas menyambung): “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam duduk di atas kubur, maka aku melihat kedua-dua matanya menitiskan air mata.”<br /><br />al-Hafiz Ibnu Hajar al-'Asqalani rahimahullah menjelaskan bahawa yang dimaksudkan dengan duduk di atas kubur dari hadis di atas adalah duduk di sisi kubur di ketika urusan pengebumian berlangsung. (Rujuk: Ibnu Hajar, Fathul Bari Syarah Shohih al-Bukhari, 1/269) <br />‘Amr bin Hazm al-Anshari radhiyallahu ‘anhu menceritakan:<br /><br />رَآنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُتَّكِئًا عَلَى قَبْرٍ فَقَالَ: لاَ تُؤْذِ صَاحِبَ هَذَا الْقَبْرِ<br /><br />Maksud: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam melihat aku bersandar kepada suatu kubur lalu beliau berkata: “Janganlah menyakiti ahli kubur ini.” (Hadis Riwayat Ahmad, Musnad Ahmad, 39/476, no. 24009. Isnadnya Sahih sebagaimana dinyatakan oleh Syaikh Syu'aib al-Arnauth)<br />Beberapa Larangan Yang Lain Berkaitan Adab di Kubur<br />Daripada Jabir radhiyallahu 'anhu, beliau berkata:<br />نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تُجَصَّصَ الْقُبُورُ وَأَنْ يُكْتَبَ عَلَيْهَا وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهَا وَأَنْ تُوطَأَ<br />Maksud: Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam melarang dari mengkapur kubur (menyimen), menulis di atasnya (melainkan sekiranya sekadar tanda - pent.), membina sebarang binaan di atasnya dan memijaknya. (Hadis Riwayat at-Tirmidzi, 4/206, no. 972. Beliau menyatakan: Hadis ini hasan sahih)<br />Dibolehkan membuat tanda sekadar pengenalan, sebagaimana Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam meletakkan batu di kubur 'Umar B. Mazh'un radhiyallahu 'anhu dengan katanya:<br />أَتَعَلَّمُ بِهَا قَبْرَ أَخِي وَأَدْفِنُ إِلَيْهِ مَنْ مَاتَ مِنْ أَهْلِي<br />Maksud: Aku memberi tanda dengan batu ini untuk kubur saudaraku dan di sinilah akan dikebumikan sesiapa yang meninggal dunia dari kalangan ahli keluargaku. (Hadis Riwayat Abi Daud, 9/1, no. 2791. Dihasankan oleh al-Albani, Shohih Sunan Abi Daud, 7/206, no. 3206) <br />Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda:<br /><br />لأَنْ أَمْشِيَ عَلَى جَمْرَةٍ أَوْ سَيْفٍ أَوْ أَخْصِفَ نَعْلِي بِرِجْلِي أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَمْشِيَ عَلَى قَبْرِ مُسْلِمٍ وَمَا أُبَالِي أَوَسْطَ الْقُبُورِ قَضَيْتُ حَاجَتِي أَوْ وَسْطَ السُّوقِ<br />Maksud: Sesungguhnya, berjalan di atas bara api atau pedang atau aku ikat kasutku dengan kakiku lebih aku sukai dari berjalan di atas kubur orang Islam. Tidak ada beza keburukannya bagiku, sama ada membuang hajat di tengah perkuburan atau di tengah pasar. (Hadis Riwayat Ibnu Majah, Bab: Larangan Berjalan-jalan di Atas Kubur dan Duduk Di Atasnya, 5/39, no. 1556. Disahihkan oleh al-Albani, Shohih Sunan Ibnu Majah, 1/261, no. 1273)<br /><br />Kesimpulan/Ringkasan:<br /><br />1 – Disunnahkan menziarahi kubur bagi umat Islam sama ada yang lelaki atau wanita.<br /><br />2 – Ziarah kubur tidak terhad kepada kubur-kubur yang tertentu dan khusus. Tetapi ia adalah bersifat umum kepada mana-mana kubur umat Islam (yang terdekat). Juga tidak dikhususkan kepada kubur ahli keluarga semata-mata.<br /><br />3 – Dibolehkan menziarahi kubur orang kafir.<br /><br />4 – Disunnahkan memberi salam ketika sampai ke kuburan, kemudian mendoakan kebaikan dan keampunan bagi si mati. Ini adalah khusus jika menziarahi perkuburan umat Islam. Serta dilarang mengucapkan kata-kata yang keji.<br /><br />5 – Menziarahi kubur memiliki beberapa faedah seperti dapat mengingati kematian dan melembutkan hati.<br /><br />Beberapa Contoh Tokok Tambah dan Salah Faham Masyarakat Terhadap Sunnah Menziarahi Kubur:<br /><br />1 – Menziarahi perkuburan tertentu sahaja. Seperti mengkhususkan kepada kubur ahli keluarga tertentu.<br /><br />2 – Berpendapat bahawa haram hukumnya menziarahi kubur orang kafir.<br /><br />3 – Membacakan al-Qur'an di perkuburan. Sedangkan di kubur bukanlah tempat untuk membaca al-Qur'an.<br /><br />4 – Mensedekahkan/menghadiahkan bacaan al-Qur'an atau Surah al-Fatihah kepada si mati di setiap kali menziarahi kubur.<br /><br />5 – Melakukan safar (perjalanan jauh) kerana untuk menziarahi kubur-kubur tertentu. Sedangkan perbuatan tersebut adalah termasuk larangan.<br /><br />6 – Mengkhususkan ziarah kubur pada hari raya.<br /><br />7 – Bertahlil. Sedangkan amalan tahlilan itu adalah bid'ah, maka apatah lagi jika ia dilaksanakan di perkuburan. Maka, yang batil akan menjadi lebih batil lagi.<br /><br />9 – Berdoa kepada si mati (memohon hajat kepada si mati/penghuni kubur). Seperti memintah berkat atau meminta nombor ramalan.<br /><br />10 – Mengirimkan salam kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam melalui orang yang menziarahi kubur Rasulullah.<br /><br />11 – Membina binaan tertentu di atas perkuburan. Seperti tembok atau malah ada yang sehingga membina seakan-akan rumah.<br /><br />12 – Menjiruskan air mawar ke atas kubur.<br /><br />13 – Meratap dan menangis teresak-esak di atas kubur.<br /><br />Wallahu a'lam...Nor Baizura bt Zulkiflihttp://www.blogger.com/profile/03309953886503563441noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3016061427110327614.post-12886829174840618652010-11-22T04:04:00.001-08:002010-11-22T04:08:24.618-08:00Menghadiahkan Pahala Bacaan al-Qur’an Kepada Si Mati Menurut as-Sunnah & Ulama Bermazhab Syafi'e<strong>Menghadiahkan Pahala Bacaan al-Qur’an Kepada Si Mati Menurut as-Sunnah & Ulama Bermazhab Syafi'e</strong><br />http://fiqh-sunnah.blogspot.com/<br /><br />Pendapat:<br /><br />1 - Amalan mensedekahkan pahala bacaan al-Qur’an kepada si mati adalah tidak tsabit dari sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam.<br /><br />2 – Pahala bacaan al-Qur’an yang disedekahkan kepada orang yang telah mati adalah tidak sampai.<br /><br />Penjelasan:<br /><br />Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:<br /><br />أَلا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى (٣٨) وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إِلا مَا سَعَى<br /><br />Terjemahan: Bahawasanya seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain, dan bahawasanya seorang manusia tidak mendapat selain apa yang telah diusahakannya. (Surah an-Najm, 53: 38-39)<br /><br />وَمَا عَلَّمْنَاهُ الشِّعْرَ وَمَا يَنْبَغِي لَهُ إِنْ هُوَ إِلا ذِكْرٌ وَقُرْآنٌ مُبِينٌ (٦٩) لِيُنْذِرَ مَنْ كَانَ حَيًّا<br /><br />Terjemahan: Al-Qur’an itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan. Supaya dia (Muhammad) memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup. (Surah Yaasiin, 36: 69-70)<br /><br />كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ<br /><br />Terjemahan: Setiap diri bertanggungjawab ke atas apa yang telah dilakukannya. (Surah al-Muddatsir, 74: 38)<br /><br />لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ<br /><br />Terjemahan: Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Surah al-Baqarah, 2: 286)<br /><br />مَنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِنَفْسِهِ وَمَنْ أَسَاءَ فَعَلَيْهَا وَمَا رَبُّكَ بِظَلامٍ لِلْعَبِيدِ<br /><br />Terjemahan: Sesiapa yang mengerjakan amal yang soleh, maka amal tersebut adalah untuk dirinya sendiri dan sesiapa yang melakukan kejahatan (dosa), maka itu adalah atas dirinya sendiri dan tidaklah Tuhanmu menganiaya hambanya. (Surah Fushilat, 41: 46)<br /><br />وَمَا تُجْزَوْنَ إِلا مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ<br /><br />Terjemahan: Kamu tidak akan diberi balasan melainkan apa yang telah kamu usahakan. (Surah as-Saffat, 37: 39)<br /><br />مَنْ كَفَرَ فَعَلَيْهِ كُفْرُهُ وَمَنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلأنْفُسِهِمْ يَمْهَدُونَ<br /><br />Terjemahan: Sesiapa yang kafir, maka dia sendirilah yang menanggung (akibat) kekafirannya dan sesiapa yang beramal soleh, maka amal tersebut adalah untuk diri mereka sendiri. (Surah ar-Ruum, 30: 44)<br /><br />فَالْيَوْمَ لا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئًا وَلا تُجْزَوْنَ إِلا مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ<br /><br />Terjemahan: Maka pada hari kiamat tiada seorang pun yang dianiaya dan tidak dibalas kepada kamu melainkan apa yang kamu telah kerjakan. (Surah Yasin, 36: 54)<br /><br />Penjelasan Para Ulama Bermazhab Syafi'e:<br /><br />Berkenaan ayat 38-39 surah an-Najm, di antaranya al-Hafiz Ibnu Katsir rahimahullah berkata di dalam tafsirnya:<br /><br />وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إِلا مَا سَعَى أي: كما لا يحمل عليه وزر غيره، كذلك لا يحصل من الأجر إلا ما كسب هو لنفسه. ومن وهذه الآية الكريمة استنبط الشافعي، رحمه الله، ومن اتبعه أن القراءة لا يصل إهداء ثوابها إلى الموتى؛ لأنه ليس من عملهم ولا كسبهم؛ ولهذا لم يندب إليه رسول الله صلى الله عليه وسلم أمته ولا حثهم عليه، ولا أرشدهم إليه بنص ولا إيماء، ولم ينقل ذلك عن أحد من الصحابة، رضي الله عنهم، ولو كان خيرا لسبقونا إليه، وباب القربات يقتصر فيه على النصوص، ولا يتصرف فيه بأنواع الأقيسة والآراء<br /><br />Terjemahan: “Firman Allah (maksudnya: Dan sesungguhnya seseorang manusia itu tidak mendapat (pahala) selain daripada apa yang telah mereka usahakannya). Di sini bermaksud:<br /><br />Iaitu sebagaimana seseorang itu tidak akan memikul dosa orang lain, maka begitu jugalah bahawa seseorang itu tidak akan mendapat ganjaran (pahala) melainkan dari apa yang telah dia usahakan untuk dirinya sendiri. Dan dari ayat yang mulia ini, Imam asy-Syafi’e bersama para ulama yang mengikutinya telah mengeluarkan hukum bahawa bacaan al-Qur’an tidak akan sampai hasil sedekah pahalanya kepada orang yang telah mati. Kerana bacaan tersebut bukan dari amal dan usaha dia sendiri. Atas sebab itulah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam tidak pernah mensyari'atkan kepada umatnya (supaya menghadiahkan pahala bacaan al-Qur’an kepada orang yang mati) dan tidak juga pernah menyukai atau memberikan petunjuk kepada mereka sama ada dengan nash (dalil yang jelas/terang) dan tidak juga dengan isyarat serta tidak dinukilkan dari walau seorang pun sahabat (bahawa mereka pernah mengirimkan pahala bacaan al-Qur’an kepada orang yang telah mati). Jika sekiranya amalan tersebut baik, sudah tentu para sahabat telah mendahului kita di dalam mengamalkannya. Dan di dalam permasalahan ibadah, ianya hanya terbatas (terhenti) berdasarkan dalil dan tidak boleh dipalingkan dengan qiyas-qiyas (analogi) atau pendapat-pendapat (pemikiran) tertentu.”<br /><br />Lihat: al-Hafiz Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’anil Azhim, 7/465. Juga sebagaimana yang dinukilkan oleh Syaikh al-Albani di dalam Ahkamul Jana'iz, 1/174.<br /><br />Syaikh al-Albani rahimahullah menjelaskan berkenaan perkataan Ibnu Katsir di atas (katanya):<br /><br />وما ذكره ابن كثير عن الشافعي رحمه الله تعالى هو قول أكثر العلماء وجماعة من، الحنفية كما نقله الزبيدي في (شرح الاحياء) 10 / 369<br /><br />Terjemahan: Apa yang disebutkan oleh Ibnu Katsir dari asy-Syafi'e rahimahullah tersebut adalah merupakan pendapat majoriti ulama dan sekelompok pengikut mazhab Hanafi, sebagaimana yang dinukilkan oleh az-Zubaidi di dalam Kitab Syarah al-Ahyaa', 9/369. (Lihat: Syaikh al-Albani, Ahkamul Jana'iz, 1/174)<br /><br />Perkataan Imam asy-Syafi'e rahimahullah:<br /><br />فأعلم رسول الله مثل ما أعلم الله من أن جناية كل امرئ عليه كما عمله له لا لغيره ولا عليه<br /><br />Terjemahan: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam telah memberitahu sebagaimana yang diberitahu oleh Allah, bahawasanya dosa setiap orang adalah untuk kecelakaan dirinya sendiri sebagaimana amalannya yang juga buat dirinya sendiri dan bukan untuk kecelakaan orang lain.<br /><br />Lihat: Ikhtilaful Hadis, 1/538, (باب استقبال القبلة للغائط والبول), Maktabah Syamilah.<br /><br />Imam an-Nawawi rahimahullah berkata:<br /><br />وأما قراءة القرآن فالمشهور من مذهب الشافعى أنه لا يصل ثوابها إلى الميت وقال بعض أصحابه يصل ثوابها إلى الميت<br /><br />Terjemahan: “Ada pun berkenaan bacaan al-Qur’an maka yang masyhur di kalangan mazhab asy-Syafi'e bahawa tidak sampai pahala bacaan yang dikirim kepada orang yang telah mati dan sebahagian sahabat berpendapat sampai pahala bacaan kepada si Mati.”<br /><br />Kemudian beliau menjelaskan lagi:<br /><br />وكل هذه المذاهب ضعيفة ودليلهم القياس على الدعاء والصدقة والحج فانها تصل بالاجماع ودليل الشافعى وموافقيه قول الله تعالى وأن ليس للانسان الا ما سعى وقول النبى صلى الله عليه و سلم اذا مات بن آدم انقطع عمله الا من ثلاث صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح يدعو له<br /><br />Terjemahan: “Dan semua mazhab-mazhab tersebut (yang membolehkan menghadiahkan pahala kepada orang mati - Penulis) adalah jelas lemahnya, dan dalil yang mereka gunakan untuk membolehkan (amalan sedekah pahala kepada si mati) hanyalah qias yang diqiaskan dengan doa, sedekah dan haji. Maka sesungguhnya ianya tidak sampai secara ijmak (kesepakatan ulama). Dan dalil asy-Syafi’e serta mereka yang mengikutinya adalah (ayat al-Qur’an): (Sesungguhnya tidaklah ada yang diperolehi oleh setiap manusia, kecuali apa yang telah diusahakan). “Apabila mati anak Adam, terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (iaitu): 1 - Sedekah jariah, 2 - ilmu yang bermanfaat dan 3 - anak yang soleh yang mendoakannya”.”<br /><br />Lihat: Imam an-Nawawi, Syarah an-Nawawi ‘ala Muslim, 1/90.<br /><br />Di dalam kitab yang sama, beliau meletakkan sebuab bab bernama:<br /><br />باب وصول ثواب الصدقة عن الميت إليه<br /><br />Terjemahan: Bab Sampaikah Kepada Mayat (pahala) Sedekah Yang Diberikan Atas Namanya.<br /><br />Kemudian beliau menjelaskan:<br /><br />والمشهور في مذهبنا أن قراءة القرآن لا يصله<br /><br />Terjemahan: Dan yang masyhur di dalam mazhab kami (Mazhab asy-Syafi'e) adalah pahala bacaan al-Qur'an itu tidak sampai pahalanya (kepada si mati).<br /><br />Lihat: Imam an-Nawawi, Syarah an-Nawawi ‘ala Muslim, 7/89-90.<br /><br />Imam Ibnu Hajar al-Haitami rahimahullah berkata:<br /><br />الْمَيِّتُ لَا يُقْرَأُ عليه مَبْنِيٌّ على ما أَطْلَقَهُ الْمُتَقَدِّمُونَ من أَنَّ الْقِرَاءَةَ لَا تَصِلُ إلَى الْمَيِّتِ لِأَنَّ ثَوَابَهَا لِلْقَارِئِ وَالثَّوَابُ الْمُتَرَتِّبُ على عَمَلٍ لَا يُنْقَلُ عن عَامِلِ ذلك الْعَمَلِ قال تَعَالَى وَأَنْ ليس لِلْإِنْسَانِ إلَّا ما سَعَى وَوُصُولُ الدُّعَاءِ وَالصَّدَقَةِ وَرَدَ بِهِمَا النَّصُّ فَلَا يُقَاسُ عَلَيْهِمَا إذْ لَا مَجَالَ لِلْقِيَاسِ في ذلك فَاتَّجَهَ قَوْلُهُمْ أَنَّ الْمَيِّتَ<br /><br />Terjemahan: “Mayat tidak boleh dibacakan al-Qur’an ke atasnya sebagaimana keterangan yang ditetapkan oleh orang-orang terdahulu, bahawa bacaan al-Qur’an pahalanya tidak sampai kepada si Mati, lantaran pahala bacaan hanya untuk si Pembaca. Pahala amalan pula tidak boleh dipindah-pindahkan dari si pembuat berdasarkan firman Allah Ta’ala: Dan manusia tidak memperolehi pahala kecuali dari amalan yang mereka telah usahakannya sendiri.”<br /><br />Lihat: Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah, 2/26.<br /><br />Al-Hafiz Ibnu Katsir di dalam Tafsirnya sekali lagi:<br /><br />كما لا يحمل عليه وزر غيره، كذلك لا يحصل من الأجر إلا ما كسب هو لنفسه<br /><br />Terjemahan: Sebagaimana tidak dipertanggungjawabkan dosa orang lain, begitulah juga seseorang itu tidak mendapat ganjaran melainkan apa yang telah dia kerjakan (usahakan) sendiri.<br /><br />Lihat: al-Hafiz Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur'anil Adzim, 7/465.<br /><br />Juga:<br /><br />أن النفوس إنما تجازى بأعمالها إن خيرًا فخير، وإن شرًا فشر، وأنه لا يحمل من خطيئة أحد على أحد<br /><br />Terjemahan: Sesungguhnya manusia itu hanya menerima balasan berdasarkan amalnya, jika baik, maka baiklah balasannya dan jika buruk, maka buruklah balasannya dan bahawasanya seseorang itu tidaklah menanggung dosa bagi seseorang yang lain.<br /><br />Lihat: al-Hafiz Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur'anil Adzim,3/384.<br /><br />Pendapat Para Ulama Lainnya:<br /><br />Imam ath-Thabari rahimahullah:<br /><br />أنه لا يُجَازي عامل إلا بعمله، خيرا كان ذلك أو شرّا<br /><br />Terjemahan: Bahawasanya seseorang itu tidak menerima balasan amal, melainkan dari apa yang telah dia usahakan, sama ada amalnya yang baik atau yang buruk. (Lihat: Muhammad B. Jarir ath-Thabari, al-Jami'ul Bayan fi Ta'wilul Qur'an, 22/546)<br /><br />Juga:<br /><br />لا يؤاخذ بعقوبة ذنب غير عامله، ولا يثاب على صالح عمله عامل غيره<br /><br />Terjemahan: Tidaklah disiksa seseorang itu dengan sesuatu siksaan sekiranya dia tidak mengerjakan dosa tersebut, dan tidaklah dia diberi ganjaran di atas amal soleh yang mana dia tidak mengerjakannya. (Lihat: Muhammad B. Jarir ath-Thabari, al-Jami'ul Bayan fi Ta'wilul Qur'an, 22/547)<br /><br />Di dalam Tafsir Jalalain:<br /><br />فَلَيْسَ لَهُ مِنْ سَعْي غَيْره الْخَيْر شَيْء<br /><br />Terjemahan: Maka seseorang itu tidaklah mendapat apa-apa pun (pahala) dari usaha orang lain. (Tafsir al-Jalalain, 10/334)<br /><br />Imam asy-Syaukani rahimahullah:<br /><br />ليس له إلاّ أجر سعيه ، وجزاء عمله ، ولا ينفع أحداً عمل أحد<br /><br />Terjemahan: Seseorang tidak akan mendapat melainkan balasan atas usahanya dan ganjaran amalan (yang dia sendiri amalkan), dia tidak memberi manfaat (pahalanya) kepada orang lain. (Lihat: Muhammad B. 'Ali asy-Syaukani, Fathul Qodir al-Jami' Baina fani ar-Riwayah wa ad-Dirayah min 'Ulumut Tafsir, 7/78)<br /><br />Syaikh 'Abdul 'Aziz B. Baz Rahimahullah:<br /><br />ولكن الصواب هو القول الأول للحديث المذكور وما جاء في معناه، ولو كان إهداء التلاوة مشروعا لفعله السلف الصالح. والعبادة لا يجوز فيها القياس؛ لأنها توقيفية لا تثبت إلا بالنص من كلام الله عز وجل أو من سنة رسوله للحديث السابق وما جاء في معناه.<br /><br />Terjemahan: Adapun yang tepat adalah pandangan pertama kerana berdasarkan hadis yang disebutkan dan apa yang jelas adalah menunjukkan makna yang sama. Sekiranya menghadiahkan pahala bacaan (al-Qur'an) itu disyariatkan, sudah tentu ia dilakukan (diamalkan) oleh para salafussoleh. Sedangkan dalam perkara ibadat kita tidak wajar melakukan qiyas padanya, ini adalah kerana ia bersifat tawfiqiyyah (terhenti pada dalil). Tidak tsabit melainkan dengan nash dari kalamullah (perkataan Allah) atau sunnah rasul sebagaimana hadis yang dijelaskan pada awal tadi. (Lihat: Web Rasmi Samahatusy Syaikh 'Abdul 'Aziz B. Baz: www.binbaz.org.sa/mat/1831)<br /><br />Perkataan Syaikh Ibnu Baaz di atas berkenaan sesuatu ibadah itu adalah tawqifiyah (tidak dibuat melainkan dengan adanya dalil), sebenarnya merupakan kaedah asas yang telah digunakan dan difahami oleh para ulama dari era awal lagi.<br /><br />Ini dapat kita lihat antaranya dari al-Hafiz Ibnu Hajar al-'Asqolani rahimahullah, beliau menjelaskan:<br /><br />التقرير فى العبادة إنما يؤخذ عن توقيف<br /><br />Terjemahan: Perlaksanaan di dalam ibadat adalah dengan mengikuti/mengambil dari apa yang telah ditetapkan (melalui dalil). (Lihat: al-Hafiz Ibnu Hajar al-'Asqolani, Kitab Fathul Bari Syarah Shohih al-Bukhari, 2/80)<br /><br />Berdasarkan kesepakatan ini, maka tidaklah boleh untuk kita mereka-cipta suatu bentuk amal-amal ibadah yang lain selain dari apa yang telah terdapat di dalam Sunnah. Tidaklah wajar untuk kita mendahului perkataan Allah dan sunnah Rasul-Nya di dalam menetapkan sesuatu urusan ibadah di dalam agama.<br /><br />Seorang ulama Mesir, Syaikh Muhammad B. Ahmad Abdus Salam melalui tulisannya telah membuat kesimpulan setelah mengulas secara panjang lebar berkenaan perkara ini, beliau menyatakan:<br /><br />Dilarang membaca ayat-ayat al-Qur'an kepada ahli kubur. Sebuah khabar (atsar) yang diriwayatkan dari Ibnu 'Umar radhiyallahu 'anhu yang menceritakan bahawa beliau (Ibnu 'Umar) pernah berwasiat, sekiranya beliau telah meninggal dunia, supaya dibacakan Surah al-Fatihah dan beberapa ayat terakhir dari Surah al-Baqarah di atas kuburnya. (Bahawasanya) Atsar tersebut darjatnya adalah Syazd (ganjil), sanadnya tidak sahih. Dan tidak seorang pun di antara para sahabat yang mengakuinya.<br /><br />Begitu juga dengan riwayat-riwayat tentang membaca Surah al-Fatihah, surah al-Ikhlas, al-Falaq, an-Naas, at-Takatsur, al-Kafiruun, dan menghadiahkannya kepada ahli kubur adalah palsu. Ini adalah kerana ianya bertentangan dengan perkataan-perkataan Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam dan perbuatan para sahabatnya. (Muhammad B. Ahmad Abdus Salam, Hukumul Qiraati lil Amwati Hal Yashilu Tsawabuha Ilaihim (Edisi Terjemahan: Hukum Membaca al-Qur'an Untuk Orang Mati Sampaikah Pahalanya Kepada Mereka?) Tahqiq Syaikh Mahmud Mahdi al-Istabuli, m/s. 43, Media Da'wah)<br /><br />Selain itu, Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah turut menjelaskan:<br /><br />وقد قال شيخ الاسلام ابن تيمية رحمه الله تعالى في (الاختيارات العلمية) (ص 54): ولم يكن من عادة السلف إذا صلوا تطوعا أو صاموا تطوعا أو حجوا تطوعا، أو قروؤا القرآن يهدون ثواب ذلك إلى أموات المسلمين، فلا ينبغي العدول عن طريق السلف فإنه أفضل وأكمل<br /><br />Terjemahan: Bukan merupakan kebiasaan para ulama salaf (ulama generasi awal/para sahabat), iaitu jika mereka mengerjakan puasa, solat, atau haji tathawwu', atau membaca al-Qur'an, pahalanya dihadiahkan (disedekahkan) kepada kaum Muslimin yang telah meninggal dunia. Kerana itu, tidak sewajarnya untuk menyimpang dari jalan ulama Salaf kerana mereka lebih baik dan sempurna. (Dinukil dari: al-Albani, Ahkamul Jana'iz, 1/174)<br /><br />Selain pendapat tersebut, Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah juga memiliki pendapat lain yang berlawanan dengan pendapatnya yang disebutkan di atas dan malah berlawanan dengan pegangan para salaf. Beliau menyatakan bahawa orang yang meninggal dunia itu dapat mengambil manfaat dari semua ibadah yang dilakukan oleh orang lain yang masih hidup. Namun, pendapat beliau ini hanya semata-mata berpandukan kepada qiyas (analogi) dan tidak berpijak dengan dalil yang jelas.<br /><br />Pendapat beliau telah pun dikritik (diberi bantahan) secara ilmiyah oleh Syaikh Muhammad Rasyid Ridha di dalam Kitabnya, Tafsir al-Manar (8/254-270). (Rujuk: al-Albani, Ahkamul Jana'iz, 1/174)<br /><br />Dan perlu kita fahami bahawa, setiap pendapat dan perkataan manusia itu boleh diterima atau pun ditolak dengan dinilai berpandukan kepada dalil-dalil dari al-Qur'an dan as-Sunnah. Kecuali perkataan manusia bergelar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam, maka hendaklah kita menerimanya.<br /><br />Imam Abu Hanifah rahimahullah berpesan:<br /><br />لا يحل لأحد أن يأخذ بقولنا ما لم يعلم من أين أخذناه<br /><br />Terjemahan: Tidak halal bagi seseorang untuk mengikuti perkataan kami sekiranya dia tidak mengetahui dari mana kami mengambil sumbernya. (Lihat: Syaikh Soleh al-Munajjid, Fatawa Islam Su'al wa Jawab, 1/3. Syaikh al-Albani, Sifat Solat Nabi, 1/46)<br /><br />Imam Malik B. Anas rahimahullah:<br /><br />إنما أنا بشر أخطئ وأصيب فانظروا في رأيي فكل ما وافق الكتاب والسنة فخذوه وكل ما لم يوافق الكتاب والسنة فاتركوه<br /><br />( ابن عبد البر في الجامع 2 / 32 )<br /><br />Terjemahan: Aku hanyalah seorang manusia, adakalanya salah dan adakalanya benar. Oleh sebab itu, perhatikanlah pendapatku. Apabila ianya bertepatan dengan al-Qur'an dan as-Sunnah, maka ambillah, dan apabila ianya tidak bertepatan dengan al-Qur'an dan as-Sunnah, tinggalkanlah ia. (Lihat: Ibnu 'Abdil Barr, al-Jami', 2/32. Dinukil dari: al-Albani, Sifat Solat Nabi, 1/48)<br /><br />Imam asy-Syafi'e rahimahullah:<br /><br />إذا وجدتم في كتابي خلاف سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم فقولوا بسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم ودعوا ما قلت<br /><br />Terjemahan: Apabila kamu menemui sesuatu di dalam kitabku yang berlainan dengan hadis Rasulullah, peganglah hadis Rasulullah itu dan tinggalkanlah pendapatku itu. (Lihat: Imam an-Nawawi, al-Majmu' Syarah al-Muhazzab, 1/63)<br /><br />Apa Yang Bermanfaat Untuk Orang Yang Telah Meninggal Dunia?<br /><br />Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda:<br /><br />عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ<br /><br />Terjemahan: Dari Abi Hurairah (radhiyallahu 'anhu) Bahawasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam telah bersabda: Apabila manusia itu telah meninggal dunia, maka terputuslah amalan-amalannya melainkan tiga perkara, (iaitu) 1 – Anak yang soleh yang mendoakannya, 2 – Sedekah jariyah yang pernah dilakukannya, atau 3 – Ilmunya yang dimanfaatkan. (Hadis Riwayat Muslim, Shohih Muslim, Kitab al-Wasiyah, 8/405, no. 3084. at-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, Kitab al-Ahkam, 5/243, no. 1297)<br /><br />Si mati juga mendapat ganjaran (pahala) dari hasil amal soleh yang dikerjakan oleh anak-anaknya. Ini adalah disebabkan kerana anak-anak itu termasuk ke dalam kategori usaha dan hasil kerja si mati (kedua ibu bapa).<br /><br />Ini adalah berdasarkan kepada firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:<br /><br />وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إِلا مَا سَعَى<br /><br />Terjemahan: Dan bahawasanya seseorang manusia itu tidak mendapat (pahala) melainkan dari apa yang telah diusahakannya. (Surah an-Najm, 53: 39)<br /><br />Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda:<br /><br />إن أطيب ما أكل الرجل من كسبه، وإن ولده من كسبه<br /><br />Terjemahan: Sesungguhnya sebaik-baik yang dimakan oleh seseorang itu adalah makanan yang diperolehi (terhasil) dari usahanya sendiri. Sesungguhnya anak itu termasuk dari hasil usahanya. (Hadis dari 'Aisyah. Hadis Riwayat Ahmad, Musnad Ahmad Tahqiq Syaikh Shu'aib al-Arnauth, 40/34, no. 24032. Beliau menjelaskan, hadis ini hasan lighairihi. Diriwayatkan juga oleh al-Hakim, al-Mustadrak, 2/53, no. 2295 dengan dinyatakan oleh adz-Dzahabi sebagai sahih. Syaikh al-Albani di dalam Ahkamul Jana'iz menjelaskan bahawa hadis ini tidak mencapai darjat sahih. Namun hadis ini memiliki penguat. Rujuk: Ahkamul Jana'iz, 1/171)<br /><br />Selain itu, ia turut diperkuatkan dengan beberapa hadis yang lain yang sahih.<br /><br />Maka, apa sahaja amal-amal kebaikan yang dilakukan oleh anak-anak si mati, maka si mati akan beroleh manfaat (ganjaran pahala) dari perbuatan anak-anaknya tersebut.<br /><br />Amalan Agama/Ibadah Tidak Boleh Direka-reka<br /><br />Hadis Nabi:<br /><br />وَإِيَّاكُمْ وَالْأُمُورَ الْمُحْدَثَاتِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ<br /><br />Terjemahan: Jauhilah olehmu perkara-perkara baru yang diada-adakan (dalam agama) kerana sesungguhnya setiap bid'ah (perkara yang baru yang diada-adakan di dalam agama) adalah sesat. (Hadis Riwayat Ibnu Majah, Sunan Ibni Majah, 1/49, no. 42. Disahihkan oleh al-Albani, Shohih Sunan Ibni Majah, 1/13, no. 42. Hadis Nabi dari 'Irbadh B. Sariyah)<br /><br />Perlu kita fahami bahawa setiap bentuk amal ibadah yang hendak dilaksanakan (ditegakkan), hendaklah terlebih dahulu memiliki rujukan dan sandarannya dari dalil-dalil yang sahih lagi jelas. Jika sesuatu yang dianggap ibadah itu tidak memiliki sandarannya dari dalil yang jelas, maka ia boleh dipertikaikan dari menjadi sebahagian dari juzuk agama (ibadah). Malah, ia mungkin menjadi atau menjurus kepada bid'ah, iaitu suatu bentuk amalan yang dilaksanakan bagi tujuan meraih keredhaan Allah, namun ia tidak bertunjangkan kepada dalil yang jelas.<br /><br />Disunnahkan Mendoakan Orang Yang Telah Meninggal Dunia<br /><br />Mendoakan si Mati adalah sunnah hukumnya bersandarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:<br /><br />وَالَّذِينَ جاءُ وْا مِنْ بَعْدِ هِمْ يَقُولونَ رَبَّنَا اغْفِرْلَنَا وَلاِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَ بِالاِيْمَانِ<br /><br />Terjemahan: Dan orang-orang yang datang setelah mereka itu akan berkata (berdoa): Wahai Tuhan kami! Ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman (terlebih dahulu) sebelum kami. (Surah al-Hasyr, 59: 10)<br /><br />رَبَّنَا اغْفِرْلِيْ وَلِوَالِدَيَّ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ يَوْمَ يَقُوْمُ الْحِسَابِ<br /><br />Terjemahan: Wahai Tuhan kami! Berilah keampunan kepadaku dan kedua ibu bapaku dan seluruh orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab. (Surah Ibrahim, 14: 41)<br /><br />وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ<br /><br />Terjemahan: Dan minta ampunlah bagi dosa-dosamu dan bagi orang-orang yang beriman. (Surah Muhammad, 47: 19)<br /><br />Hadis Nabi:<br /><br />دَعْوَةُ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ لِأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ كُلَّمَا دَعَا لِأَخِيهِ بِخَيْرٍ قَالَ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ آمِينَ وَلَكَ بِمِثْلٍ<br /><br />Terjemahan: Doa seorang Muslim untuk saudaranya dari kejauhan akan dikabulkan. Di atas kepalanya terdapat malaikat yang bertanggungjawab. Setiap kali dia mendoakan kebaikan untuk saudaranya, maka malaikat yang bertugas akan mengucapkan: Ameen dan bagimu yang seumapamnya. (Hadis Riwayat Imam Muslim, Shohih Muslim, 13/271, Kitab Zikir dan Doa, no. 4914. Dari hadis Abu Darda' rahiyallahu 'anhu)<br /><br />Syaikh al-Albani rahimahullah menjelaskan:<br /><br />إن صلاة الجنازة جلها شاهد لذلك، لان غالبها دعاء للميت<br />واستغفار له، كما تقدم بيانه<br /><br />Terjemahan: Sesungguhnya, Solat jenazah itu menjadi bukti akan perkara tersebut (mendoakan si mati) di mana sebahagian besar darinya adalah doa untuk jenazah sekaligus permohonan ampun baginya. (Lihat: al-Albani, Ahkamul Jana'iz, 1/169)<br /><br />Dibolehkah Bagi Wali/waris Untuk Membayar Hutang Puasa Si Mati<br /><br />عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ<br /><br />Terjemahan: Dari 'Aisyah radhiyallahu 'anha, bahawasnaya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda: Sesiapa yang meninggal dunia namun dia masih memiliki hutang puasa, maka walinya yang akan membayarnya. (Hadis Riwayat al-Bukhari, Shohih al-Bukhari, 7/51, Kitab ash-Shaum (Puasa), no. 1816)<br /><br />Puasa yang dimaksudkan di dalam hadis tersebut adalah merujuk kepada puasa nadzar yang tidak sempat ditunaikan. Ada pun puasa-puasa yang selainnya, maka ia tidak perlu diganti (dibayarkan).<br /><br />عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا: أَنَّ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ اسْتَفْتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّ أُمِّي مَاتَتْ وَعَلَيْهَا نَذْرٌ فَقَالَ اقْضِهِ عَنْهَا<br /><br />Terjemahan: Dari Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhu (beliau berkata): Bahawasanya Sa'ad B. 'Ubadah radhiyallahu 'anhu pernah meminta pandangan (penjelasan) Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam:<br /><br />Sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia namun beliau masih memiliki hutang puasa nadzar?<br /><br />Maka beliau Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda: Bayarlah untuknya. (Hadis Riwayat al-Bukhari, Shohih al-Bukhari, 9/306, Kitab al-Washoya, no. 2555)<br /><br />Syaikh al-Albani rahimahullah berkata:<br /><br />وهذه الاحاديث صريحة الدلالة في مشروعية صيام الولي عن الميت صوم النذر، إلا أن الحديث الاول يدل بإطلاقه على شئ زائد على ذلك وهو أنه يصوم عنه صوم الفرض أيضا. وقد قال به الشافعية، وهو مذهب ابن حزم (7 / 2، 8) وغيرهم. وذهب إلى الأول الحنابلة، بل هو نص الامام أحمد، فقال أبو داود في (المسائل) (96): (سمعت أحمد بن حنبل قال: لا يصام عن الميت إلا في النذر). وحمل أتباعه الحديث الاول على صوم النذر، بدليل ما روت عمرة: أن أمها ماتت وعليها من رمضان فقالت لعائشة: أقضيه عنها؟ قالت: لا بل تصدقي عنها مكان كل يوم نصف صاع على كل مسكين.<br /><br />Terjemahan: Hadis-hadis tersebut secara jelas menunjukkan disyari'atkan pembayaran hutang puasa nadzar oleh wali bagi orang yang meninggal dunia. Hanya saja, hadis yang pertama dengan kemutlakkannya menunjukkan lebih dari itu, iaitu seolah-olah merujuk kepada puasa wajib yang lainnya yang menjadi hutang bagi si mati. Pendapat seperti ini dikemukakan oleh mazhab asy-Syafi'i, mazhab Ibnu Hazm, dan yang selainnya.<br /><br />Dalam pada itu, para pengikut mazhab Hanbali pula lebih cenderung kepada pendapat yang pertama, bahkan ia menjadi nash Imam Ahmad, sebagaimana di dalam al-Masaa'il-nya. Abu Daud berkata: Tidak ada kewajiban membayar hutang puasa bagi seorang jenazah melainkan puasa nadzar.<br /><br />Para pengikutnya menyatakan bahawa hadis tersebut merujuk kepada puasa nadzar, dengan dalil apa yang diriwayatkan oleh 'amrah bahawa ibunya telah meninggal dunia sedang dia masih berhutang puasa Ramadhan. Kemudian, dia bertanya kepada 'Aisyah: "Adakah aku perlu membayarnya?" 'Aisyah menjawab: "Tidak, tetapi bersedekahlah untuknya sebagai ganti puasa setiap harinya dengan setengah sha' bagi seorang orang miskin. (Lihat: al-Albani, Ahkamul Jana'iz, 1/170)<br /><br />Beliau menjelaskannya lagi:<br /><br />وهذا قول ابن عباس وأصحابه، وهو الصحيح، لان فرض الصيام جار مجرى الصلاة، فكما لا يصلي أحد عن أحد، ولا يسلم أحد عن أحد فكذلك الصيام، وأما النذر فهو التزام في الذمة بمنزلة الدين، فيقبل قضاء الولي له كما يقضي دينه، وهذا محض الفقه<br /><br />Terjemahan: Dan yang terakhir adalah perkataan Ibnu 'Abbas dan para sahabatnya dan itulah yang sahih kerana kewajiban puasa itu berlaku seperti solat. Maksudnya, sebagaimana seseorang tidak boleh mengerjakan solat untuk orang lain, maka demkianlah juga dengan puasa wajib. Ada pun puasa nadzar, maka ia wajib dipenuhi kerana dalam soal penangguhan itu sendiri ia berkedudukan sama seperti hutang sehingga dibolehkan pembarayan qadha' puasa nadzar oleh wali si mati, sebagaimana dia wajib juga melubaskan hutang-hutangnya. (Lihat: al-Albani, Ahkamul Jana'iz, 1/171)<br /><br />Kesimpulannya:<br /><br />Maka, dengan ini jelaslah bahawa amalan mensedekahkah (atau menghadiahkan) pahala bacaan al-Qur'an bukanlah dari bentuk-bentuk amalan yang diamalkan oleh para sahabat (serta para salaf) dan juga tidak memiliki petunjuk dari al-Qur'an mahu pun as-Sunnah. Ini adalah sebagaimana penjelasan yang dibawakan di atas dari para ulama bermazhab Syafi'e khususnya, dan juga yang selainnya secara umum.<br /><br />Perlu lebih ditekankan bahawa apa yang telah mendarah daging di dalam masyarakat umat Islam hari ini adalah berleluasanya bentuk-bentuk amalan (atau ritual-ritual tertentu) bertujuan mengirim (atau mensedekahkan) pahala bacaan-bacaan al-Qur'an kepada orang-orang yang telah mati sebenarnya langsung tidak berpijak kepada sumber agama yang benar. Contoh amalan-amalan tersebut adalah seperti amalan bertahlilan, beryasinan, dan membacakan al-Fatihah untuk sesiapa sahaja dari umat Islam yang meninggal dunia.<br /><br />Wallahu a'lam... <br /><br />dipetik dari www.fiqh-sunnah.blogspot.comNor Baizura bt Zulkiflihttp://www.blogger.com/profile/03309953886503563441noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3016061427110327614.post-28557628293694650352010-11-22T04:00:00.000-08:002010-11-22T04:03:31.828-08:00Wasiat Ibnu 'Umar: Membaca al-Qur'an Di Kubur??<strong>Wasiat Ibnu 'Umar: Membaca al-Qur'an Di Kubur???</strong><br />http://fiqh-sunnah.blogspot.com <br /><br />Disebutkan oleh Ibnu Qudamah rahimahullah di dalam al-Mughni:<br /><br />فَرَوَى جَمَاعَةٌ أَنَّ أَحْمَدَ نَهَى ضَرِيرًا أَنْ يَقْرَأَ عِنْدَ الْقَبْرِ ، وَقَالَ لَهُ : إنَّ الْقِرَاءَةَ عِنْدَ الْقَبْرِ بِدْعَةٌ . فَقَالَ لَهُ مُحَمَّدُ بْنُ قُدَامَةَ الْجَوْهَرِيُّ : يَا أَبَا عَبْدِ اللَّهِ : مَا تَقُولُ فِي مُبَشِّرٍ الْحَلَبِيِّ ؟ قَالَ : ثِقَةٌ . قَالَ : فَأَخْبَرَنِي مُبَشِّرٌ ، عَنْ أَبِيهِ ، أَنَّهُ أَوْصَى إذَا دُفِنَ يُقْرَأُ عِنْدَهُ بِفَاتِحَةِ الْبَقَرَةِ وَخَاتِمَتِهَا ، وَقَالَ : سَمِعْت ابْنَ عُمَرَ يُوصِي بِذَلِكَ . قَالَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ : فَارْجِعْ فَقُلْ لِلرَّجُلِ يَقْرَأُ<br /><br />Terjemahan: Diriwayatkan dari ramai orang bahawasanya Ahmad (Imam Ahmad) melarang orang buta membaca al-Qur'an di perkuburan, dan beliau berkata:<br /><br />Sesungguhnya membaca al-Qur'an di perkuburan adalah bid'ah.<br /><br />Lalu Muhammad B. Qudamah al-Jauhari berkata: Wahai Abu 'Abdillah (Imam Ahmad), bagaimana pendapatmu tentang Mubasysyir al-Halabi?<br /><br />Beliau menjawab: Tsiqah (Terpercaya). Ia berkata lagi: Mubasysyir mengkhabarkan kepadaku dari ayahnya, bahawa beliau berwasiat supaya setelah jenzahnya dikebumikan (dikuburkan), supaya dibacakan al-Fatihah dan ayat-ayat terakhir dari surah al-Baqarah di kuburnya di kuburnya, dan beliau berkata:<br /><br />Aku mendengar Ibnu 'Umar mewasiatkan perkara sedemikian.<br /><br />Ahmad B. Hanbal lalu berkata: Kembalilah, dan katakan kepada orang itu supaya membacanya. (Rujuk: Ibnu Qudamah, al-Mughni, 5/78)<br /><br />Disebutkan oleh Ibnul Qayyim di dalam ar-Ruuh (sebuah kitab yang masih menjadi perbahasan sama ada ianya benar tulisan Ibnul Qayyim atau pun bukan):<br /><br />قال الخلال وأخبرني الحسن بن أحمد الوراق حدثنى على بن موسى الحداد وكان صدوقا قال كنت مع أحمد بن حنبل ومحمد بن قدامة الجوهرى في جنازة فلما دفن الميت جلس رجل ضرير يقرأ عند القبر فقال له أحمد يا هذا إن القراءة عند القبر بدعة فلما خرجنا من المقابر قال محمد بن قدامة لأحمد بن حنبل يا أبا عبد الله ما تقول في مبشر الحلبي قال ثقة قال كتبت عنه شيئا قال نعم فأخبرني مبشر عن عبد الرحمن بن العلاء اللجلاج عن أبيه أنه أوصى إذا دفن أن يقرأ عند رأسه بفاتحة البقرة وخاتمتها وقال سمعت ابن عمر يوصي بذلك فقال له أحمد فارجع وقل للرجل يقرأ<br /><br />Terjemahan: al-Khalal berkata: al-Hasan B. Ahmad al-Warraq memberitahuku bahawa 'Ali B. Musa al-Haddad (seorang yang Shaduq) memberitahu kami, beliau berkata:<br /><br />Aku pernah bersama Ahmad B. Hanbal dan Muhammad B. Qudamah al-Jauhari ketika menghadiri seorang jenazah. Setelah jenazah itu selesai dimakamkan, ada seorang buta yang duduk dan membaca al-Qur'an di kuburan tersebut. Maka Ahmab pun berkata kepadanya:<br /><br />Wahai saudara, sesungguhnya membaca al-Qur'an di perkuburan adalah bid'ah.<br /><br />Setelah kami keluar dari perkuburan, Muhammad B. Qudamah berkata kepada Ahmad B. Hanbal:<br /><br />Wahai Abu 'Abdillah, bagaimana pendapatmu tentang Mubasysyir al-Halabi? Ahmad menjawab: Tsiqah (Terpercaya). Beliau bertanya lagi: Adakah engkau menulis berita darinya? Ahmad menjawab: Ya. Maka Muhammad B. Qudamah al-Jauhari pun berkata:<br /><br />Mubasysyir telah mengkhabarkan kepadaku dari 'Abdurrahman B. Al-Ala' B. Lajlaj dari ayahnya bahawa dia pernah berwasiat supaya setelah jenazahnya dikebumikan (dikuburkan), supaya dibacakan al-Fatihah dan ayat-ayat akhir surah al-Baqarah di kepalanya, dan beliau berkata:<br /><br />Aku mendengar Ibnu 'Umar mewasiatkan perkara sedemikian.<br /><br />Ahmad B. Hanbal lalu berkata: Kembalilah, dan katakan kepada orang itu supaya membacanya. (Ibnul Qayyim, ar-Ruuh, 1/10)<br /><br />Penjelasan:<br /><br />Syaikh al-Albani rahimahullah:<br /><br />الاول: إن في ثبوت هذه القصة عن أحمد نظر، لان شيخ الحلال الحسن بن أحمد الوراق لم أجد ترجمة فيما عندي الان من كتب الرجال، وكذلك شيخه علي بن موسى الحداد لم أعرفه، وإن قيل في هذا السند أنه كان صدوقا، فإن الظاهر أن القائل هو الوارق هذا، وقد عرفت حاله<br /><br />1 – Berkenaan penisbahan dan kebenaran kisah ini berasal daripada Imam Ahmad masih perlu dikaji semula kerana Syaikh al-Khallal al-Hasan B. Ahmad al-Warraq tidak pernah aku temui biografinya dalam manuskrip yang aku miliki sekarang ini dari kitab-kitab berkenaan perawi hadis. Demikian juga dengan Syaikhnya, 'Ali B. Musa al-Haddad, juga tidak aku kenali. Jika di dalam sanad ini beliau disebut sebagai seorang yang Shaduq, maka secara lahiriyah yang dapat dilihat adalah bahawa yang mengatakan adalah al-Warraq. Kita sendiri telah mengetahui keadaannya.<br /><br />الثاني، إنه إن ثبت ذلك عنه فإنه أخص مما رواه أبو داود عنه، وينتج من الجمع بين الروايتين عنه أن مذهبه كراهة القراءة عند القبر إلا عند الدفن<br /><br />2 – Sekiranya perkara tersebut ditegaskan oleh Imam Ahmad, maka perkara tersebut merupakan riwayat yang paling khusus dari apa-apa yang telah diriwayatkan oleh Abu Daud darinya. Dari penggabungan di antara dua riwayat darinya menghasilkan bahawa mazhabnya (pendapatnya) memakruhkan (membenci) perbuatan membaca al-Qur'an di perkuburan melainkan pada ketika pemakaman (pengkebumian).<br /><br />الثالث: أن السند بهذا الاثر لا يصح عن ابن عمر، ولو فرض ثبوته عن أحمد، وذلك لان عبد الرحمن ابن العلاء بن اللجلاج معدود في المجهولين، كما يشعر بذلك قول الذهبي في ترجمته من (الميزان): (ما روي عنه سوى مبشر هذا)، ومن طريقة رواه ابن عساكر (13 / 399 / 2) وأما توثيق ابن حيان إياه فمما لا يعتد به لما اشهر به من التساهل في التوثيق، ولذلك لم يعرج عليه الحافظ في (التقريب) حين قال في المترجم: (مقبول) يعني عند المتابعة وإلا فلين الحديث كما نص عليه في المقدمة، ومما يؤيد ما ذكرنا أن الترمذي مع تساهله في التحسين لما أخرج له حديثا آخر (2 / 128) وليس له عنده سكت عليه ولم يحسنه<br /><br />3 – Penyandaran atsar ini pada Ibnu 'Umar adalah tidak sahih walaupun sekiranya datangnya dari Imam Ahmad telah pasti. Kerana, 'Abdurrahman B. al-Ala' B. Lajlaj termasuk di dalam golongan orang-orang yang tidak dikenali, sebagaimana yang dapat dilihat dari pernyataan adz-Dzahabi di dalam kitab biografinya, al-Mizaan:<br /><br />Tidak ada yang meriwayatkan darinya ('Abdurrahman B. Al-Ala'), kecuali Mubasysyir al-Halabi. Dari jalannya diriwayatkan oleh Ibnu 'Asakir.<br /><br />Ada pun penilaian tsiqah yang diberikan oleh Ibnu Hibban kepadanya, ini merupakan suatu yang tidak boleh dijadikan sebagai pegangan, ini disebabkan Ibnu Hibban yang diketahui sikapnya yang suka secara mudah dalam meletakkan penilaian tsiqah. Oleh kerana itu, al-Hafiz Ibnu Hajar di dalam Kitab at-Taqrib tidak memihak kepadanya (Ibnu Hibban) di ketika beliau (Ibnu Hajar) menjelaskan tentang biografi 'Abdurrahman al-Ala'. Beliau menyatakan: Maqbul, iaitu sekiranya disertakan perawi lain dan jika tidak, maka ia berhadis layyin, sebagaimana yang telah disampaikan di dalam muqaddimah.<br /><br />Yang memperkuatkan apa yang kami sampaikan di atas adalah bahawa at-Tirmidzi dengan sikapnya yang terkenal meletakkan penilaian hasan, pada ketika beliau meriwayatkan satu hadis lain milik 'Abdurrahman al-Ala', yang beliau hanya memiliki satu hadis (darinya), beliau bersikap diam dan tidak menilainya sebagai hasan.<br /><br />الرابع: أنه لو ثبت سنده كل عن ابن عمر، فهو موقوف لم يرفعه إلى النبي صلى الله عليه وسلم فلا حجة فيه أصلا<br /><br />4 – Sekiranya sanadnya dinisbahkan dari Ibnu 'Umar, maka disini dapat kita fahami bahawa riwayat ini adalah mauquf (terhenti) dan tidak dimarfu'kan (tidak dapat disandarkan) kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam sehingga tidak dapat dijadikan sebagai hujjah.<br /><br />ومثل هذا الاثر ما ذكره ابن القيم أيضا (ص 14): (وذكر الحلال عن الشعبي قال: كانت الانصار إذا مات لهم الميت اختلفوا إلى قبره يقرؤون القرآن). فنحن في شك من ثبوت ذلك عن الشعبي بهذا اللفظ خاصة، فقد رأيت السيوطي قد أورده في (شرح الصدور) (ص 15) بلفظ: (كانت الانصار يقرؤون عند الميت سورة البقرة). قال: (رواه ابن أبي شيبة والمروزي) أورده في (باب ما يقول الانسان في مرض الموت، وما يقرأ عنده). ثم رأيته في (المصنف) لابن أبى شيبة (4 / 74) وترجم له بقوله: (باب ما يقال عند المريض إذا حضر) ". فتبين أن في سنده مجالدا وهو ابن سعيد قال الحافظ في (التقريب): (ليس بالقوي، وقد تغيير في آخر عمره). فظهر بهذا أن الاثر ليس في القراءة عند القبر بل عند الاحتضار، ثم هو على ذلك ضعيف الاسناد<br /><br />Atsar yang seumpama di atas adalah apa yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim di halaman seterusnya:<br /><br />Al-Khallal menyebutkan dari asy-Sya'bi, dia bercerita: Orang-orang Anshar, jika berlaku kematian di antara mereka, maka mereka pulang pergi ke perkuburan untuk membaca al-Qur'an.<br /><br />Mengenai atsar ini, kami masih benar-benar ragu mengenai kebenarannya dari asy-Sya'bi, khususnya dengan lafaz seperti ini, kerana aku pernah menyaksikan juga as-Suyuti telah menyebutkannya di dalam Kitab Syarhush Shuduur dengan lafaz:<br /><br />Kaum Anshar biasa membacakan surah al-Baqarah berdekatan jenazah. Beliau berkata:<br /><br />Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan al-Mawardzi. Atsar ini beliau sebutkan di dalam Bab: Maa Yaquulu al-Insaan fii Maradhi al-Maut wa Maa Yuqra'u Indahu (Apa yang diperkatakan oleh Manusia di ketika menghadapi Maut dan apa yang dibacakan ke atasnya).<br /><br />Kemudian, aku juga mendapatinya di dalam Kitab al-Mushannaf karya Ibnu Abi Syaibah. Di dalamnya tertulis biografinya melalui ucapannya Bab: Ma Yaquulu 'Inda al-Mariidh Idza Hadhara.<br /><br />Dengan demikian, dapat dilihat dengan jelas bahawa di dalam sanadnya terdapat (perawi bernama) Mujalid, iaitu Ibnu Sa'id, di mana al-Hafiz (Ibnu Hajar al-'Asqalani) di dalam kitab at-Taqrib berkata:<br /><br />Dia bukan seorang yang kuat (hafalan/ingatan), yang di akhir hayatnya dia mengalami nyanyuk.<br /><br />Dengan demikian, jelaslah bahawa atsar ini bukanlah berkenaan bacaan al-Qur'an di perkuburan, tetapi di ketika sakaratul maut. Lebih-lebih lagi, atsar ini bersanad dhaif (lemah). (Rujuk: Syaikh al-Albani, Ahkamul Jana'iz, m/s. 192-193)<br /><br />Imam al-Subki rahimahullah pula menjelaskan:<br /><br />وَاَمَّا مَا يَرْوِيْ عَنِ بْنِ عُمَرَ اَنَّهُ اُوْصِيَ بِقِرَاءَ ةِ الْفَاتِحَةِ وَخَوَاتِمَ الْبَقَرَةِ عَلَى قَبْرِهِ فَهُوَ اَثَرٌ شَاذٌ لَمْ يَصِحْ سَنَدُهُ وَلَمْ يُوَافِقهُ عَلَيْهِ اَحَدٌ مِنَ الصَّحَابَةِ.<br /><br />Terjemahan: Dan apa yang telah diriwayatkan dari Ibn 'Umar bahawasanya beliau mewasiatkan agar dibacakan al-Fatihah dan ayat-ayat terakhir dari surah al-Baqarah di atas kuburnya, maka itu adalah atsar yang Syadz (ganjil) dan tidak sahih pula sanadnya. Dan tidak pernah dipersetujui (diterima) walaupun oleh seorang sahabat. (Rujuk: Tajuddin al-Subki, Takmilah Syarah al-Muhazzab, 10/429)<br /><br />Seorang ulama Mesir, Syaikh Muhammad B. Ahmad Abdus Salam melalui tulisannya, beliau menyatakan:<br /><br />Dilarang membaca ayat-ayat al-Qur'an kepada ahli kubur. Sebuah khabar (atsar) yang diriwayatkan dari Ibnu 'Umar radhiyallahu 'anhu yang menceritakan bahawa beliau (Ibnu 'Umar) pernah berwasiat, sekiranya beliau telah meninggal dunia, supaya dibacakan Surah al-Fatihah dan beberapa ayat terakhir dari Surah al-Baqarah di atas kuburnya. (Bahawasanya) Atsar tersebut darjatnya adalah Syazd (ganjil), sanadnya tidak sahih. Dan tidak seorang pun di antara para sahabat yang mengakuinya.<br /><br />Begitu juga dengan riwayat-riwayat tentang membaca Surah al-Fatihah, surah al-Ikhlas, al-Falaq, an-Naas, at-Takatsur, al-Kafiruun, dan menghadiahkannya kepada ahli kubur adalah palsu. Ini adalah kerana ianya bertentangan dengan perkataan-perkataan Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam dan perbuatan para sahabatnya. (Rujuk: Muhammad B. Ahmad Abdus Salam, Hukumul Qiraati lil Amwati Hal Yashilu Tsawabuha Ilaihim (Edisi Terjemahan: Hukum Membaca al-Qur'an Untuk Orang Mati Sampaikah Pahalanya Kepada Mereka?) Tahqiq Syaikh Mahmud Mahdi al-Istabuli, m/s. 43, Media Da'wah)<br /><br />1 – Secara Ringkas Berkenaan Hukum Membaca al-Qur'an Di Kubur:<br /><br />Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani menjelaskan:<br /><br />وأما قراءة القرآن عند زيارتها، فمما لا أصل له في السنة، بل الاحاديث المذكورة في المسألة السابقة تشعر بعدم مشروعيتها، إذ لو كانت مشروعة، لفعلها رسول الله (ص) وعلمها أصحابه، لا سيما وقد سألته عائشة رضي الله عنها - وهي من أحب الناس إليه (ص) - عما تقول إذا زارت القبور؟ فعلمها السلام والدعاء.<br />ولم يعلمها أن تقرأ الفاتحة أو غيرها من القرآن، فلو أن القراءة كانت مشروعة لما كتم ذلك عنها، كيف وتأخير البيان عن وقت الحاجة لا يجوز كما تقرر في علم الاصول، فكيف بالكتمان، ولو أنه (ص) علمهم شيئا من ذلك لنقل إلينا، فإذ لم ينقل بالسند الثابت دل على أنه لم يقع.<br /><br />Terjemahan: Berkenaan perbuatan membaca al-Qur'an ketika menziarahi perkuburan, sama sekali tidak memiliki asas hukum daripada as-Sunnah, malah hadis-hadis yang disebutkan pada perbahasan terdahulu menunjukkan tidak adanya pensyari'atan perkara tersebut. Oleh sebab itu, jika bacaan al-Qur'an di perkuburan itu sememangnya disyari'atkan, sudah tentu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam mendatangi kuburan untuk mengamalkannya dan mengajarkan kepada para sahabatnya. Lebih-lebih lagi, beliau pernah ditanya oleh 'Aisyah radhiyallahu 'anha mengenai apa yang perlu diucapkan di ketika menziarahi kubur. Kemudian beliau (Shallallahu 'alaihi wa Sallam) mengajarkan kepadanya ('Aisyah) salam dan doa, dan tidak pula mengajarkan supaya membaca al-Fatihah atau surah-surah lain dari al-Qur'an. Sekiranya bacaan al-Qur'an di kubur itu disyari'atkan, sudah tentu beliau tidak akan pernah menyembunyikan perkara tersebut dari 'Aisyah. Tidak mungkin perkara tersebut berlaku, di mana Rasulullah tidak mungkin menyembunyikan ilmu. Dan perbuatan menangguhkan sesebuah penjelasan dari waktu yang diperlukan adalah suatu yang tidak diperbolehkan berdasarkan kaedah ilmu Ushul Fiqh. Sekiranya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam mengajarkan perkara tersebut (membaca al-Qur'an di kubur), nescaya ianya akan sampai kepada kita riwayatnya. Jika tidak ada sebarang nukilan kepada kita dengan sanad yang benar dan pasti, bererti di sini menunjukkan bahawa perkara tersebut tidak pernah terjadi. (Rujuk: al-Albani, Ahkamul Jana'iz, m/s. 191)<br /><br />2 – Dalil-dalilnya:<br /><br />عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ<br />أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ مَقَابِرَ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنْ الْبَيْتِ الَّذِي تُقْرَأُ فِيهِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ<br /><br />Terjemahan: Dari Abu Hurairah (radhiyallahu 'anhu): Janganlah kamu menjadikan rumah kamu sebagai perkuburan kerana sesungguhnya Syaitan akan lari dari rumah yang di dalamnya dibacakan surah al-Baqarah. (Hadis Riwayat Muslim, Shohih Muslim, 4/182, no. 1300)<br /><br />عَنْ ابْنِ عُمَرَ<br />عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ صَلُّوا فِي بُيُوتِكُمْ وَلَا تَتَّخِذُوهَا قُبُورًا<br /><br />Terjemahan: Dari Ibnu 'Umar (radhiyallahu 'anhu): Solatlah kamu dirumah kamu dan janganlah kamu menjadikannya sebagai perkuburan. (Hadis Riwayat Muslim, Shohih Muslim, 4/179, no. 1297)<br /><br />عَنْ ابْنِ عُمَرَ<br />عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اجْعَلُوا فِي بُيُوتِكُمْ مِنْ صَلَاتِكُمْ وَلَا تَتَّخِذُوهَا قُبُورًا<br /><br />Terjemahan: Dari Ibnu 'Umar (radhiyallahu 'anhu): Laksanakanlah solat-solat kamu di rumah-rumah kamu dan janganlah kamu menjadikannya seperti perkuburan. (Hadis Riwayat al-Bukhari, 2/210, no. 414)<br /><br />Imam al-Bukhari meletakkan di dalam:<br /><br />بَاب كَرَاهِيَةِ الصَّلَاةِ فِي الْمَقَابِرِ<br /><br />Bab: Dibencinya solat di perkuburan.<br /><br />عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: كُلُّ الْأَرْضِ مَسْجِدٌ وَطَهُورٌ إِلَّا الْمَقْبَرَةَ وَالْحَمَّامَ<br /><br />Terjemahan: Dari Abi Sa'id (al-Khudri): Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda: Bumi ini seluruhnya adalah masjid, melainkan perkuburan dan tempat mandi (bilik air/tandas). (Hadis Riwayat Ahmad, Musnad Ahmad. Tahqiq Syaikh Shu'aib al-Arnauth, no. 11784: Hadis ini Sahih)<br /><br />عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا: عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فِي مَرَضِهِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ لَعَنَ اللَّهُ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسْجِدًا قَالَتْ وَلَوْلَا ذَلِكَ لَأَبْرَزُوا قَبْرَهُ غَيْرَ أَنِّي أَخْشَى أَنْ يُتَّخَذَ مَسْجِدًا<br /><br />Terjemahan: Dari 'Aisyah radhiyallahu 'anha beliau berkata: Berkata Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam ketika beliau dalam keadaan sakit sambil berbaring: Semoga laknat Allah ke atas orang-orang Yahudi dan Nashrani yang menjadikan perkuburan para Nabi mereka sebagai tempat beribadah. (Hadis Riwayat al-Bukhari, 5/99, no. 1244. Juga: 5/190, no. 1310)<br /><br />عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ<br />قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَأَنْ يَجْلِسَ أَحَدُكُمْ عَلَى جَمْرَةٍ فَتُحْرِقَ ثِيَابَهُ فَتَخْلُصَ إِلَى جِلْدِهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَجْلِسَ عَلَى قَبْرٍ<br /><br />Terjemahan: Dari Abi Hurairah radhiyallahu 'anhu, beliau berkata: Bahawa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda: Sesungguhnya jika salah seorang di antara kamu duduk di atas bara api sehingga terbakar pakaiannya lalu membusi kulitnya, sebenarnya itu adalah lebih baik baginya daripada dia duduk di atas kubur. (Hadis Riwayat Muslim, 5/93, no. 1612)<br /><br />بَاب النَّهْيِ عَنْ الْجُلُوسِ عَلَى الْقَبْرِ وَالصَّلَاةِ عَلَيْهِ<br /><br />Bab: Larangan duduk-duduk di atas kubur dan bersolat di atasnya.<br /><br />Demikian sebahagian dari dalil-dalil yang menunjukkan bahawa perkuburan bukanlah sebagai tempat untuk beribadah, tempat bersantai, dan bukan juga sebagai tempat yang tepat untuk membaca al-Qur'an. Tetapi sebaliknya, apa yang ditunjukkan dari dalil-dalil tersebut adalah supaya kita melaksanakan aktiviti ibadah seperti solat dan membaca al-Qur'an di masjid-masjid dan di rumah.<br /><br />3 – Pegangan Para Ulama Yang Menepati Sunnah Dalam Hal Ini:<br /><br />ولذلك كان مذهب جمهور السلف كأبي حنيفة ومالك وغيرهم كراهة للقراءة عند القبور، وهو قول الامام أحمد فقال أبو داود في مسائله<br /><br />(سمعت أحمد سئل عن القراءة عند القبر؟ فقال: لا)<br /><br />Terjemahan: Dan dari itu, yang menjadi mazhab jumhur ulama Salaf (terdahulu), seperti Abu Hanifah, Malik, dan selainnya menunjukkan makruhnya (dibenci) membaca al-Qur'an di perkuburan.<br /><br />Begitu juga yang menjadi pegangan Imam Ahmad di dalam Kitab al-Masaa'il (m/s. 158) oleh Abu Daud: Aku pernah mendengar Ahmad ditanya berkenaan bacaan al-Qur'an di perkuburan, maka beliau menjawab: Tidak boleh. (Rujuk: al-Albani, Ahkamul Jana'iz, m/s. 191)<br /><br />Ibnu Hajar Al-Haitami rahimahullah berkata:<br /><br />الْمَيِّتُ لَا يُقْرَأُ عليه مَبْنِيٌّ على ما أَطْلَقَهُ الْمُتَقَدِّمُونَ<br /><br />Terjemahan: “Mayat tidak boleh dibacakan al-Qur’an ke atasnya sebagaimana keterangan yang ditetapkan oleh orang-orang terdahulu (mutaqoddimun). (Rujuk: Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah, 2/26.<br /><br />Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:<br /><br />ولا يحفظ عن الشافعي نفسه في هذه المسألة كلام، وذلك لان ذلك كان عنده بدعة، وقال مالك: ما عملت أحدا يفعل ذلك، فعلم أن الصحابة، والتابعين ما كانوا يفعلونه<br /><br />Terjemahan: Dan tidak ada daripada asy-Syafi’i sendiri perkataan beliau berkenaan masalah ini, yang demikian ini menunjukkan bahawa (membaca al-Qur'an di perkuburan) menurut beliau adalah bid'ah. Imam Malik berkata: Tidak aku dapati seorang pun daripada para sahabat dan tabi’in yang melakukan perkara tersebut. (Rujuk: Ibnu Taimiyah, Iqtidhaa ash-Shiratil Mustaqim Mukhaalafata ashabil Jahiim, m/s. 182)<br /><br />والقراءة على الميت بعد موته بدعة<br /><br />Terjemahan: Dan perbuatan membaca al-Qur'an disebabkan setelah kematian seseorang itu adalah bid'ah. (Ibnu Taimiyah, al-Ikihtiyaaraat al-'Ilmiyah, m/s. 53)<br /><br />Imam Ibnu Rejab al-Hanbali berkata:<br /><br />قال ابن عَبْد البر : الوثن الصنم . يقول : لا تجعل قبري صنما يصلى إليه ، ويسجد نحوه ، ويعبد ، فقد اشتد غضب الله على من فعل ذلك ، وكان رسول الله ( يحذر أصحابه وسائر أمته من سوء صنيع الأمم قبلهم الذين صلوا في قبور أنبيائهم ، واتخذوها قبلة ومسجدا ، كما صنعت الوثنية بالأوثان التي كانوا يسجدون إليها ويعظمونها ، وذلك الشرك الأكبر ، وكان رسول الله ( يخبرهم بما في ذلك من سخط الله وغضبه ، وانه مما لا يرضاه ؛ خشية عليهم من امتثال طرقهم ، وكان رسول الله ( يحب مخالفة أهل الكتاب وسائر الكفار ، وكان يخاف على أمته اتباعهم ، ألا ترى إلى قوله ( على جهة التعيير والتوبيخ : ( ( لتتبعن سنن الذين كانوا قبلكم حذو النعل بالنعل ، حتى إن أحدهم لو دخل حجر ضب لدخلتموه ) )<br /><br />Terjemahan: Berkata Ibnu 'Abdil Barr: al-Watsan itu maknanya patung. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Janganlah Engkau jadikan kuburku sebagai patung/berhala yang menjadi kiblat solat, tempat bersujud, juga tempat beribadah”. Dan Allah sangat murka kepada orang yang melakukan perkara tersebut. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sendiri telah memperingatkan para sahabat dan seluruh umatnya tentang perbuatan buruk umat-umat terdahulu, kerana mereka solat menghadap perkuburan para Nabi mereka serta menjadikannya sebagai kiblat dan masjid. Sebagaimana penyembah berhala yang menjadikan berhala sebagai objek sembahan yang diagungkan. Perbuatan tersebut merupakan syirik akhbar (besar). Dan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam telah memberitahu bahawa perbuatan tersebut mengundang kemurkaan dan kemarahan Allah Ta’ala dan Dia tidak akan pernah meredhainya. Perkara tersebut disampaikan oleh Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam disebabkan beliau bimbiang umatnya akan meniru perbuatan mereka. Dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam senantiasa memperingatkan umatnya agar tidak menyerupai Ahli Kitab dan orang-orang kafir. Dan beliau juga bimbang jika umatnya akan mengikuti jejak mereka. Tidakkah engkau mengetahui sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengungkapkan celaan dan kemarahan: “Sungguh kamu akan mengikuti jejak-jejak orang sebelum kamu selangkah demi selangkah; sehingga salah seorang daripada mereka masuk ke lubang biawak, nescaya kamu akan mengikutinya.” (Rujuk: Ibnu Rejab al-Hanbali, Fathul Bari, 2/441)<br /><br />Terdapat perkataan Seorang tokoh Nusantara:<br /><br />Allah Subhanahu wa Ta'ala menyatakan dengan tegas bahawa al-Qur’an ini menjadi peringatan untuk orang-orang yang hidup, dan ayat ini terdapat di dalam surah Yasin. Tetapi masih terdapat saudara-saudara kita membacakan surah Yasin ini di hadapan orang-orang yang mati. Subhanallah! Kejahilan apakah ini namanya? (Rujuk: Abdul Hakim B. Amir Abdat, al-Masaa-il: Masalah-Masalah Agama, jilid 1, m/s. 302)<br /><br />4 – Memahami tujuan sebenar ziarah Ke Kubur:<br /><br />Pertama:<br /><br />انتفاع الزائر بذكر الموت والموتى، وأن مآلهم إما إلى جنة وإما إلى نار وهو الغرض الاول من الزيارة<br /><br />Terjemahan: Orang yang berziarah dapat mengambil manfaat dengan mengingati kematian orang-orang yang telah meninggal dunia dan bahawasanya tempat kembali mereka hanya Syurga atau Neraka. Demikianlah tujuan pertama menziarahi kubur. (Rujuk: al-Albani, Ahkamul Jana'iz, m/s. 188, Maktabah Syamilah)<br /><br />Di antara lain, daripada hadis-hadis di atas (Sila merujuk ke artikel: Sunnah Di Dalam Persoalan Ziarah Kubur) dapat kita fahami bahawa menziarahi adalah bertujuan:<br /><br />1 - Mengingati akhirat,<br /><br />2 - di dalamnya terdapat 'ibrah (pelajaran), dan<br /><br />3 – dapat melembutkan hati.<br /><br />Kedua:<br /><br />نفع الميت والاحسان إليه بالسلام عليه، والدعاء والاستغفار له، وهذا خاص بالمسلم<br /><br />Terjemahan: Memberikan manfaat kepada si jenazah (si mati) sekaligus sebagai bentuk perbuatan baik kepadanya dengan memberi salam, mendoakannya, dan memohon keampunan baginya. Yang demikian itu khusus bagi Muslim sahaja. (Rujuk: al-Albani, Ahkamul Jana'iz, m/s. 189, Maktabah Syamilah)<br /><br />Demikianlah tujuan ziarah ke perkuburan. Bukannya untuk beribadah seperti solat, mengambil berkah, atau membacakan al-Qur'an.<br /><br />Wallahu a'lam...<br /><br />dipetik dari www.fiqh-sunnah.blogspot.comNor Baizura bt Zulkiflihttp://www.blogger.com/profile/03309953886503563441noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3016061427110327614.post-44124663363221713542010-11-22T03:42:00.000-08:002010-11-22T04:00:21.887-08:00Larangan Solat dan Membina Binaan Di Atas Kubur Serta Meninggikan Kubur<strong>Larangan Solat dan Membina Binaan Di Atas Kubur Serta Meninggikan Kubur</strong><br />Terdapat golongan yang berhujjah dengan berdalilkan Surah al-Kahfi ayat 21 bagi membolehkan membina masjid (tempat beribadah) di atas kubur.<br /><br />Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:<br /><br />وَكَذَلِكَ أَعْثَرْنَا عَلَيْهِمْ لِيَعْلَمُوا أَنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ وَأَنَّ السَّاعَةَ لا رَيْبَ فِيهَا إِذْ يَتَنَازَعُونَ بَيْنَهُمْ أَمْرَهُمْ فَقَالُوا ابْنُوا عَلَيْهِمْ بُنْيَانًا رَبُّهُمْ أَعْلَمُ بِهِمْ قَالَ الَّذِينَ غَلَبُوا عَلَى أَمْرِهِمْ لَنَتَّخِذَنَّ عَلَيْهِمْ مَسْجِدًا<br /><br />Terjemahan: Dan demikian (pula) Kami menemukan (manusia) dengan mereka, supaya manusia itu mengetahui, bahawa janji Allah adalah benar, dan bahawa kedatangan hari kiamat tidak ada keraguan padanya. Ketika orang-orang itu berselisih tentang urusan mereka, orang-orang itu berkata: “Dirikanlah sebuah bangunan di atas (gua) mereka, Tuhan mereka lebih mengetahui tentang mereka.” Orang-orang yang berkuasa atas urusan mereka berkata: “Sesungguhnya kami akan mendirikan sebuah rumah peribadatan di atasnya”. (Surah al-Kahfi, 18: 21)<br /><br />Mereka mengambil dalil bolehnya membina masjid atau binaan di atas kubur dari ayat tersebut:<br /><br />فَقَالُوا ابْنُوا عَلَيْهِمْ بُنْيَانًا رَبُّهُمْ أَعْلَمُ بِهِمْ<br /><br />Ketika orang-orang itu berselisih tentang urusan mereka, orang-orang itu berkata: “Dirikanlah sebuah bangunan di atas (gua) mereka, Tuhan mereka lebih mengetahui tentang mereka.”<br /><br />Dan<br /><br />قَالَ الَّذِينَ غَلَبُوا عَلَى أَمْرِهِمْ لَنَتَّخِذَنَّ عَلَيْهِمْ مَسْجِدًا<br /><br />“Sesungguhnya kami akan mendirikan sebuah rumah peribadatan (masjid) di atasnya”.<br /><br />Pemahaman mereka terhadap ayat ini, perlu diperbetulkan semula (diberi pencerahan). Berikut kami bawakan perkataan seorang ulama tafsir terkemuka, al-Hafiz Ibnu Katsir (rahimahullah) berkenaan ayat tersebut:<br /><br />فَقَالُوا ابْنُوا عَلَيْهِمْ بُنْيَانًا رَبُّهُمْ أَعْلَمُ بِهِمْ أي: سدوا عليهم باب كهفهم، وذروهم على حالهم<br />قَالَ الَّذِينَ غَلَبُوا عَلَى أَمْرِهِمْ لَنَتَّخِذَنَّ عَلَيْهِمْ مَسْجِدًا حكى ابن جرير في القائلين ذلك قولين: أحدهما: إنهم المسلمون منهم. والثاني: أهل الشرك منهم، فالله أعلم<br /><br />والظاهر أن الذين قالوا ذلك هم أصحاب الكلمة والنفوذ. ولكن هل هم محمودون أم لا؟ فيه نظر؛ لأن النبي صلى الله عليه وسلم قال: "لعن الله اليهود والنصارى، اتخذوا قبور أنبيائهم وصالحيهم مساجد" يحذر ما فعلوا<br /><br />Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:<br /><br />Mereka berkata: “Dirikanlah sebuah bangunan di atas (gua) mereka, Tuhan mereka lebih mengetahui tentang mereka.”<br /><br />Maksudnya, tutuplah pintu gua mereka untuk menahan mereka, dan biarkan mereka begitu sahaja.<br /><br />Dan ayat:<br /><br />“Sesungguhnya kami akan mendirikan sebuah rumah peribadatan (masjid) di atasnya”.<br /><br />Ibnu Jarir membawakan dua pandangan dalam hal ini, iaitu mereka adalah kaum muslimin (umat Islam) di antara mereka. Kedua, mereka adalah orang-orang musyrik di antara mereka. (Wallahu a’lam)<br /><br />Dan secara zahirnya, yang mengatakan perkara ini adalah orang-orang yang menyampaikan seruan dan memiliki kuasa/pengaruh (dari kalangan pemimpin/penguasa).<br /><br />Tetapi adakah perbuatan mereka tersebut terpuji atau sebaliknya? Mengenai perkara ini, ia perlu diteliti semula, kerana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:<br /><br />“Allah melaknat kaum Yahudi dan Nashara (Kristian). Mereka menjadikan kubur para Nabi dan orang-orang soleh di antara mereka sebagai tempat ibadah.”<br /><br />Beliau (Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam) memberi peringatan kepada kita dari apa yang telah mereka lakukan. (Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, 5/147)<br /><br />Syaikh Muhammad B. Soleh al-‘Utsaimin (rahimahullah) berkata:<br /><br />فَقَالُوا ابْنُوا عَلَيْهِمْ بُنْيَاناً يعني ابنوا عليهم بنياناً حتى يكون أثراً من الآثار وحماية لهم<br /><br />Terjemahan: Dirikanlah sebuah bangunan di atas (gua) mereka. Maksudnya bangunkan/binakan bagi mereka bangunan sehingga menjadi peninggalan serta untuk melindungi mereka.<br /><br />رَبُّهُمْ أَعْلَمُ بِهِمْ يعني توقفوا في أمرهم كيف يَبقَونَ ثلاث مائة سنة وتسع سنين لا يأكلونولا يشربون ولا يتغيرون أيضاً<br /><br />Terjemahan: Rabb mereka lebih mengetahui tentang mereka. Maksudnya: Diamkanlah kamu akan kisah mereka ini, kerana bagaimana mereka mampu tinggal selama 309 tahun, tanpa makan, minum, dan berubah.<br /><br />قَالَ الَّذِينَ غَلَبُوا عَلَى أَمْرِهِمْ وهم أمراؤهم<br /><br />Terjemahan: Berkata orang-orang yang berkuasa atas urusan mereka. Maksudnya adalah para penguasa (pemerintah).<br /><br />لَنَتَّخِذَنَّ عَلَيْهِمْ مَسْجِداً بدل من أن نبني بنياناً نحوطهم به ونسترهم به ولا يكون لهم أثر أي لنجعلن عليهم مسجداً نتخذه مصلى، والظاهر أنهم فعلوا لأن القائل هم الأمراء الذين لهم الغلبة<br /><br />Terjemahan: “Sesungguhnya kami akan mendirikan sebuah rumah peribadatan di atasnya”. Maksudnya adalah sebagai ganti bangunan yang akan didirkan untuk melindungi serta menutupi mereka. Yang jelas, bahawa mereka benar-benar menjadikannya sebagai masjid atau tempat beribadah kerana mereka adalah penguasa.<br /><br />هذا الفعل، اتخاذ المساجد على القبور، من وسائل الشرك وقد جاءت شريعتنا بمحاربته حتى أن النبي صلى الله عليه وسلم قال وهو في سياق الموت: "لعنة الله على اليهود والنصارى اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد يُحذِّر ما صنعوا<br /><br />Perbuatan seperti itu iaitu membina di atas perkuburan termasuk perantara menuju kepada kesyirikkan. Syari’at Islam melarang perbuatan tersebut sehinggakan Nabi berkata (berwasiat) sebelum kewafatannya:<br /><br />“Allah melaknat kaum Yahudi dan Nashara (Kristian). Mereka menjadikan kubur para Nabi dan orang-orang soleh di antara mereka sebagai tempat ibadah (masjid).”<br /><br />(Merupakan bentuk larangan) terhadap apa yang telah mereka lakukan. (Syaikh Muhammad B. Soleh al-Utsaimin, Tafsir al-Qur’an al-Kareem Surah al-Kahfi, Web: Ibn-Utsaimin)<br /><br />Dari hadis yang lain, dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, beliau menjelaskan:<br /><br />نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ<br /><br />Terjemahan: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam melarang menembok kubur, duduk di atasnya, dan didirikan (dibina) bangunan di atasnya. (Hadis Riwayat Muslim, 5/90, no. 1610)<br /><br />Imam Muhammad B. Ismail ash-Shan’ani (rahimahullah) menjelaskan:<br /><br />الحديث دليل على تحريم الثلاثة المذكورة لأنه الأصل في النهي<br /><br />Terjemahan: Hadis ini adalah sebagai dalil yang menunjukkan haramnya tiga perbuatan yang disebutkan di dalam hadis ini, kerana keharaman itulah yang pada dasarnya terdapat dalam kata larangan tersebut.<br /><br />وقد وردت الأحاديث في النهي عن البناء على القبور والكتب عليها والتسريج وأن يزاد فيها وأن توطأ<br /><br />Terjemahan: Terdapat beberapa hadis yang menjelaskan tentang larangan membina bangunan (binaan) di atas kubur, larangan menulis pada batu nisan dan mencantikkan (menghias) kubur, larangan menambah atau melebihkan dari sejengkal dengan meninggikan tanah di atasnya.<br /><br />وهذه الأخبار المعبر فيها باللعن والتشبيه بقوله: "لا تجعلوا قبري وثناً يعبد من دون الله" تفيد التحريم للعمارة والتزيين والتجصيص ووضع الصندوق المزخرف ووضع الستائر على القبر وعلى سمائه والتمسح بجدار القبر وأن ذلك قد يفضي مع بعد العهد وفشو الجهل إلى ما كان عليه الأمم السابقة من عبادة الأوثان، فكان في المنع عن ذلك بالكلية قطع لهذه الذريعة المفضية إلى الفساد، وهو المناسب للحكمة المعتبرة في شرع الأحكام من جلب المصالح ودفع المفاسد، سواء كانت بأنفسها أو باعتبار ما تفضي إليه انتهى<br /><br />Terjemahan: Khabar-khabar yang berkaitan dengan laknat dan tasyabbuh (penyerupaan) dengan berhala sebagaimana ucapan beliau (Shallallahu ‘alaihi wa Sallam): “Janganlah kamu jadikan kuburku sebagai bahan sembahan yang disembah selain Allah.” Memberikan pemahaman makna kepada pengharaman untuk membina binaan/bangunan/rumah, menghiasi, menembok dan meletakkan tanda-tanda perhiasan, serta meletakkan kain-kain penutup di kubur dan di atasnya, serta mengusap-ngusap tembok kubur. Perkara ini seiring dengan jauhnya masa dan tersebarnya kejahilan di antara umat-umat yang akan datang yang sekaligus menyebabkan kepada unsur-unsur penyembahan, maka semua ini sangat dilarang. Dan mencegah sebelum berlakunya bencana yang lebih besar yang akan menimpa umat manusia, lebih sesuai dengan hikmah yang diperolehi dari apa yang telah disyari’atkan melalui hukum-hukum, iaitu untuk mengambil manfaat dan menolak bencana sama ada ia dari sesuatu objek itu sendiri atau dari kesan yang dapat dihasilkannya. (ash-Shan’ani, Subulus Salam Syarh Bulughul Maram, 2/111)<br /><br />Dari hadis yang seterusnya, daripada Abu Martsad al-Ghanawi, beliau berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:<br /><br />لَا تُصَلُّوا إِلَى الْقُبُورِ وَلَا تَجْلِسُوا عَلَيْهَا<br /><br />Terjemahan: Janganlah kamu mengerjakan solat dengan menghadap ke kuburan dan jangan pula kamu duduk-duduk di atasnya. (Hadis Riwayat Muslim, 5/95, no. 1614)<br /><br />Imam Muhammad B. Ismail ash-Shan’ani (rahimahullah) berkata:<br /><br />وفيه دليل على النهي عن الصلاة إلى القبر كما نهى عن الصلاة على القبر والأصل التحريم ولم يذكر المقدار الذي يكون به النهي عن الصلاة إلى القبر والظاهر أنه ما يعد مستقبلا له عرفا<br /><br />Terjemahan: Hadis ini merupakan dalil berkenaan larangan solat ke arah kubur sebagaimana dilarangnya solat di atas kubur yang mana hukum asalnya adalah haram. Tetapi tidak dijelaskan apakah batasan menghadap ke arah kubur tersebut? Yang jelas (secara zahirnya), adalah apa yang biasa dapat difahami oleh kita sebagai menghadap, maka itulah batasannya.<br /><br />ودل على تحريم الجلوس على القبر وقد وردت به أحاديث<br /><br />Hadis ini juga adalah merupakan dalil berkenaan larangan duduk-duduk di atas kubur. (ash-Shan’ani, Subulus Salam Syarh Bulughul Maram, 1/137)<br /><br />Dari hadis Abu al-Hayyaj al-Asadi, beliau berkata:<br /><br />Ali B. Abi Thalib pernah berkata kepadaku, mahukah engkau aku utus untuk melakukan sesuatu sebagaimana aku pernah diutus oleh Rasulullah untuk melakukannya: (iaitu salah satunya)...<br /><br />ولا قبرا مشرفا إلا سويته<br /><br />Terjemahan: Dan jangan biarkan walau satu kubur pun yang menjulang tinggi, melainkan engkau meratakannya. (Hadis Riwayat Muslim, 5/88, no. 1609)<br /><br />Imam asy-Syaukani berkata di dalam kitabnya, Nailul Authar:<br /><br />فيه أن السنة أن القبر لا يرفع رفعا كثيرا من غير فرق بين من كان فاضلا ومن كان غير فاضل . والظاهر أن رفع القبور زيادة على القدر المأذون فيه محرم وقد صرح بذلك أصحاب أحمد وجماعة من أصحاب الشافعي ومالك<br /><br />Terjemahan: Di dalamnya mengandungi penjelasan bahawa apa yang sunnah untuk dilaksanakan adalah tidak meninggikan kubur secara berlebihan, tanpa membezakan di antara orang terhormat (yang memiliki kelebihan/kedudukan) dengan orang orang yang tidak terhormat. Dan secara zahirnya, perbuatan menambah tinggikan kubur melebihi ukuran yang dibenarkan adalah haram. Ini adalah sebagaimana yang ditegaskan oleh para Sahabat Imam Ahmad, sebahagian besar ulama dari mazhab asy-Syafi’i dan Malik.<br /><br />ومن رفع القبور الداخل تحت الحديث دخولا أوليا القبب والمشاهد المعمورة على القبور وأيضا هو من اتخاذ القبور مساجد وقد لعن النبي صلى الله عليه وآله وسلم فاعل ذلك<br /><br />Terjemahan: Di antara perbuatan meninggikan kubur yang termasuk di dalam maksud hadis tersebut adalah pemasangan kubah dan menara yang dibina di atas kubur. Perkara ini termasuk tindakan menjadikan kubur sebagai masjid. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam melaknat mereka yang melakukan sebegitu rupa. (asy-Syaukani, Nail al-Authar, 4/131)<br /><br />Hadis-hadis yang lain:<br /><br />Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu berkata:<br /><br />إن تسوية القبور من السنة وقد رفعت اليهود والنصارى فلا تشبهوا بهما<br /><br />Terjemahan: Sesungguhnya meratakan kubur itu termasuk apa yang disunnahkan, kerana orang-orang Yahudi dan Nashara (Kristian) biasa meninggikan kubur-kubur mereka. Dengan sebab itu, janganlah kamu menyerupai mereka. (Hadis Riwayat ath-Thabrani, al-Mu’jam al-Kabir, 19/352, no. 823. Al-Haitsami berkata: Para perawinya adalah perawi kitab Sahih, Majma’ az-Zawa’id, 3/184, no. 4297)<br /><br />Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:<br /><br />Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:<br /><br />الْأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدٌ إِلَّا الْمَقْبَرَةَ وَالْحَمَّامَ<br /><br />Terjemahan: Bumi ini secara keseluruhannya adalah masjid, melainkan tanah perkuburan dan bilik mandi/tandas. (Hadis Riwayat Ibnu Majah, 2/453, no. 737. Para perawinya tsiqah, disahihkan oleh al-Hakim dan Ibnu Hibban, Fathul Bari, 1/529)<br /><br />Dari ‘Abdullah B. ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma:<br /><br />Terjemahan: Laksanakanlah sebahagian solat kamu di rumah-rumah kamu. Janganlah kamu menjadikannya seperti kawasan perkuburan. (Hadis Riwayat al-Bukhari, 2/210, no. 414)<br /><br />Imam al-Bukhari (rahimahullah) meletakkan hadis ini di dalam bab:<br /><br />كَرَاهِيَةِ الصَّلَاةِ فِي الْمَقَابِرِ<br /><br />Terjemahan: Dibencinya solat di perkuburan.<br /><br />Wallahu a’lam... <br /><br />dari www.fiqh-sunnah.blogspot.comNor Baizura bt Zulkiflihttp://www.blogger.com/profile/03309953886503563441noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3016061427110327614.post-38531003921699730042010-04-23T07:05:00.001-07:002010-04-23T07:09:41.653-07:00Cinta Sejati Dalam IslamMakna ‘Cinta Sejati’ terus dicari dan digali. Manusia dari zaman ke zaman seakan tidak pernah bosan membicarakannya. Sebenarnya? apa itu ‘Cinta Sejati’ dan bagaimana pandangan Islam terhadapnya?<br /><br />Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga terlimpahkan kepada nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya.<br /><br />Masyarakat di belahan bumi manapun saat ini sedang diusik oleh mitos ‘Cinta Sejati‘, dan dibuai oleh impian ‘Cinta Suci’. Karenanya, rame-rame, mereka mempersiapkan diri untuk merayakan hari cinta “Valentine’s Day”.<br /><br />Pada kesempatan ini, saya tidak ingin mengajak saudara menelusuri sejarah dan kronologi adanya peringatan ini. Dan tidak juga ingin membicarakan hukum mengikuti perayaan hari ini. Karena saya yakin, anda telah banyak mendengar dan membaca tentang itu semua. Hanya saja, saya ingin mengajak saudara untuk sedikit menyelami: apa itu cinta? Adakah cinta sejati dan cinta suci? Dan cinta model apa yang selama ini menghiasi hati anda?<br /><br />Seorang peneliti dari Researchers at National Autonomous University of Mexico mengungkapkan hasil risetnya yang begitu mengejutkan. Menurutnya: Sebuah hubungan cinta pasti akan menemui titik jenuh, bukan hanya karena faktor bosan semata, tapi karena kandungan zat kimia di otak yang mengaktifkan rasa cinta itu telah habis. Rasa tergila-gila dan cinta pada seseorang tidak akan bertahan lebih dari 4 tahun. Jika telah berumur 4 tahun, cinta sirna, dan yang tersisa hanya dorongan seks, bukan cinta yang murni lagi.<br /><br />Menurutnya, rasa tergila-gila muncul pada awal jatuh cinta disebabkan oleh aktivasi dan pengeluaran komponen kimia spesifik di otak, berupa hormon dopamin, endorfin, feromon, oxytocin, neuropinephrine yang membuat seseorang merasa bahagia, berbunga-bunga dan berseri-seri. Akan tetapi seiring berjalannya waktu, dan terpaan badai tanggung jawab dan dinamika kehidupan efek hormon-hormon itu berkurang lalu menghilang. (sumber: www.detik.com Rabu, 09/12/2009 17:45 WIB).<br /><br />Wah, gimana tuh nasib cinta yang selama ini anda dambakan dari pasangan anda? Dan bagaimana nasib cinta anda kepada pasangan anda? Jangan-jangan sudah lenyap dan terkubur jauh-jauh hari.<br /><br />Anda ingin sengsara karena tidak lagi merasakan indahnya cinta pasangan anda dan tidak lagi menikmati lembutnya buaian cinta kepadanya? Ataukah anda ingin tetap merasakan betapa indahnya cinta pasangan anda dan juga betapa bahagianya mencintai pasangan anda?<br /><br />Saudaraku, bila anda mencintai pasangan anda karena kecantikan atau ketampanannya, maka saat ini saya yakin anggapan bahwa ia adalah orang tercantik dan tertampan, telah luntur.<br /><br />Bila dahulu rasa cinta anda kepadanya tumbuh karena ia adalah orang yang kaya, maka saya yakin saat ini, kekayaannya tidak lagi spektakuler di mata anda.<br /><br />Bila rasa cinta anda bersemi karena ia adalah orang yang berkedudukan tinggi dan terpandang di masyarakat, maka saat ini kedudukan itu tidak lagi berkilau secerah yang dahulu menyilaukan pandangan anda.<br /><br />Saudaraku! bila anda terlanjur terbelenggu cinta kepada seseorang, padahal ia bukan suami atau istri anda, ada baiknya bila anda menguji kadar cinta anda. Kenalilah sejauh mana kesucian dan ketulusan cinta anda kepadanya. Coba anda duduk sejenak, membayangkan kekasih anda dalam keadaan ompong peyot, pakaiannya compang-camping sedang duduk di rumah gubuk yang reot. Akankah rasa cinta anda masih menggemuruh sedahsyat yang anda rasakan saat ini?<br /><br />Para ulama’ sejarah mengisahkan, pada suatu hari Abdurrahman bin Abi Bakar radhiallahu ‘anhu bepergian ke Syam untuk berniaga. Di tengah jalan, ia melihat seorang wanita berbadan semampai, cantik nan rupawan bernama Laila bintu Al Judi. Tanpa diduga dan dikira, panah asmara Laila melesat dan menghujam hati Abdurrahman bin Abi Bakar radhiallahu ‘anhu. Maka sejak hari itu, Abdurrahman radhiallahu ‘anhu mabok kepayang karenanya, tak kuasa menahan badai asmara kepada Laila bintu Al Judi. Sehingga Abdurrahman radhiallahu ‘anhu sering kali merangkaikan bair-bait syair, untuk mengungkapkan jeritan hatinya. Berikut di antara bait-bait syair yang pernah ia rangkai:<br /><br />Aku senantiasa teringat Laila yang berada di seberang negeri Samawah<br />Duhai, apa urusan Laila bintu Al Judi dengan diriku?<br />Hatiku senantiasa diselimuti oleh bayang-bayang sang wanita<br />Paras wajahnya slalu membayangi mataku dan menghuni batinku.<br />Duhai, kapankah aku dapat berjumpa dengannya,<br />Semoga bersama kafilah haji, ia datang dan akupun bertemu.<br /><br />Karena begitu sering ia menyebut nama Laila, sampai-sampai Khalifah Umar bin Al Khattab radhiallahu ‘anhu merasa iba kepadanya. Sehingga tatkala beliau mengutus pasukan perang untuk menundukkan negeri Syam, ia berpesan kepada panglima perangnya: bila Laila bintu Al Judi termasuk salah satu tawanan perangmu (sehingga menjadi budak), maka berikanlah kepada Abdurrahman radhiallahu ‘anhu. Dan subhanallah, taqdir Allah setelah kaum muslimin berhasil menguasai negeri Syam, didapatkan Laila termasuk salah satu tawanan perang. Maka impian Abdurrahmanpun segera terwujud. Mematuhi pesan Khalifah Umar radhiallahu ‘anhu, maka Laila yang telah menjadi tawanan perangpun segera diberikan kepada Abdurrahman radhiallahu ‘anhu.<br /><br />Anda bisa bayangkan, betapa girangnya Abdurrahman, pucuk cinta ulam tiba, impiannya benar-benar kesampaian. Begitu cintanya Abdurrahman radhiallahu ‘anhu kepada Laila, sampai-sampai ia melupakan istri-istrinya yang lain. Merasa tidak mendapatkan perlakuan yang sewajarnya, maka istri-istrinya yang lainpun mengadukan perilaku Abdurrahman kepada ‘Aisyah istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang merupakan saudari kandungnya.<br /><br />Menyikapi teguran saudarinya, Abdurrahman berkata: “Tidakkah engkau saksikan betapa indah giginya, yang bagaikan biji delima?”<br /><br />Akan tetapi tidak begitu lama Laila mengobati asmara Abdurrahman, ia ditimpa penyakit yang menyebabkan bibirnya “memble” (jatuh, sehingga giginya selalu nampak). Sejak itulah, cinta Abdurrahman luntur dan bahkan sirna. Bila dahulu ia sampai melupakan istri-istrinya yang lain, maka sekarang iapun bersikap ekstrim. Abdurrahman tidak lagi sudi memandang Laila dan selalu bersikap kasar kepadanya. Tak kuasa menerima perlakuan ini, Lailapun mengadukan sikap suaminya ini kepada ‘Aisyah radhiallahu ‘anha. Mendapat pengaduan Laila ini, maka ‘Aisyahpun segera menegur saudaranya dengan berkata:<br /><br />يا عبد الرحمن لقد أحببت ليلى وأفرطت، وأبغضتها فأفرطت، فإما أن تنصفها، وإما أن تجهزها إلى أهلها، فجهزها إلى أهلها.<br /><br />“Wahai Abdurrahman, dahulu engkau mencintai Laila dan berlebihan dalam mencintainya. Sekarang engkau membencinya dan berlebihan dalam membencinya. Sekarang, hendaknya engkau pilih: Engkau berlaku adil kepadanya atau engkau mengembalikannya kepada keluarganya. Karena didesak oleh saudarinya demikian, maka akhirnya Abdurrahmanpun memulangkan Laila kepada keluarganya. (Tarikh Damaskus oleh Ibnu ‘Asakir 35/34 & Tahzibul Kamal oleh Al Mizzi 16/559)<br /><br />Bagaimana saudaraku! Anda ingin merasakan betapa pahitnya nasib yang dialami oleh Laila bintu Al Judi? Ataukah anda mengimpikan nasib serupa dengan yang dialami oleh Abdurrahman bin Abi Bakar radhiallahu ‘anhu?(1)<br /><br />Tidak heran bila nenek moyang anda telah mewanti-wanti anda agar senantiasa waspada dari kenyataan ini. Mereka mengungkapkan fakta ini dalam ungkapan yang cukup unik: Rumput tetangga terlihat lebih hijau dibanding rumput sendiri.<br /><br />Anda penasaran ingin tahu, mengapa kenyataan ini bisa terjadi?<br /><br />Temukan rahasianya pada sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini:<br /><br />الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ فَإِذَا خَرَجَتِ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ. رواه الترمذي وغيره<br /><br />“Wanita itu adalah aurat (harus ditutupi), bila ia ia keluar dari rumahnya, maka setan akan mengesankannya begitu cantik (di mata lelaki yang bukan mahramnya).” (Riwayat At Tirmizy dan lainnya)<br /><br />Orang-orang Arab mengungkapkan fenomena ini dengan berkata:<br /><br />كُلُّ مَمْنُوعٍ مَرْغُوبٌ<br /><br />Setiap yang terlarang itu menarik (memikat).<br /><br />Dahulu, tatkala hubungan antara anda dengannya terlarang dalam agama, maka setan berusaha sekuat tenaga untuk mengaburkan pandangan dan akal sehat anda, sehingga anda hanyut oleh badai asmara. Karena anda hanyut dalam badai asmara haram, maka mata anda menjadi buta dan telinga anda menjadi tuli, sehingga andapun bersemboyan: Cinta itu buta. Dalam pepatah arab dinyatakan:<br /><br />حُبُّكَ الشَّيْءَ يُعْمِي وَيُصِمُّ<br /><br />Cintamu kepada sesuatu, menjadikanmu buta dan tuli.<br /><br />Akan tetapi setelah hubungan antara anda berdua telah halal, maka spontan setan menyibak tabirnya, dan berbalik arah. Setan tidak lagi membentangkan tabir di mata anda, setan malah berusaha membendung badai asmara yang telah menggelora dalam jiwa anda. Saat itulah, anda mulai menemukan jati diri pasangan anda seperti apa adanya. Saat itu anda mulai menyadari bahwa hubungan dengan pasangan anda tidak hanya sebatas urusan paras wajah, kedudukan sosial, harta benda. Anda mulai menyadari bahwa hubungan suami-istri ternyata lebih luas dari sekedar paras wajah atau kedudukan dan harta kekayaan. Terlebih lagi, setan telah berbalik arah, dan berusaha sekuat tenaga untuk memisahkan antara anda berdua dengan perceraian:<br /><br />فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ. البقرة 102<br /><br />“Maka mereka mempelajari dari Harut dan Marut (nama dua setan) itu apa yang dengannya mereka dapat menceraikan (memisahkan) antara seorang (suami) dari istrinya.” (Qs. Al Baqarah: 102)<br /><br />Mungkin anda bertanya, lalu bagaimana saya harus bersikap?<br /><br />Bersikaplah sewajarnya dan senantiasa gunakan nalar sehat dan hati nurani anda. Dengan demikian, tabir asmara tidak menjadikan pandangan anda kabur dan anda tidak mudah hanyut oleh bualan dusta dan janji-janji palsu.<br /><br />Mungkin anda kembali bertanya: Bila demikian adanya, siapakah yang sebenarnya layak untuk mendapatkan cinta suci saya? Kepada siapakah saya harus menambatkan tali cinta saya?<br /><br />Simaklah jawabannya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:<br /><br />تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا ، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ. متفق عليه<br /><br />“Biasanya, seorang wanita itu dinikahi karena empat alasan: karena harta kekayaannya, kedudukannya, kecantikannya dan karena agamanya. Hendaknya engkau menikahi wanita yang taat beragama, niscaya engkau akan bahagia dan beruntung.” (Muttafaqun ‘alaih)<br /><br />Dan pada hadits lain beliau bersabda:<br /><br />إِذَا خَطَبَ إِلَيْكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوهُ إِلاَّ تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِى الأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيضٌ. رواه الترمذي وغيره.<br /><br />“Bila ada seorang yang agama dan akhlaqnya telah engkau sukai, datang kepadamu melamar, maka terimalah lamarannya. Bila tidak, niscaya akan terjadi kekacauan dan kerusakan besar di muka bumi.” (Riwayat At Tirmizy dan lainnya)<br /><br />Cinta yang tumbuh karena iman, amal sholeh, dan akhlaq yang mulia, akan senantiasa bersemi. Tidak akan lekang karena sinar matahari, dan tidak pula luntur karena hujan, dan tidak akan putus walaupun ajal telah menjemput.<br /><br />الأَخِلاَّء يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلاَّ الْمُتَّقِينَ. الزخرف 67<br /><br />“Orang-orang yang (semasa di dunia) saling mencintai pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertaqwa.” (Qs. Az Zukhruf: 67)<br /><br />Saudaraku! Cintailah kekasihmu karena iman, amal sholeh serta akhlaqnya, agar cintamu abadi. Tidakkah anda mendambakan cinta yang senantiasa menghiasi dirimu walaupun anda telah masuk ke dalam alam kubur dan kelak dibangkitkan di hari kiamat? Tidakkah anda mengharapkan agar kekasihmu senantiasa setia dan mencintaimu walaupun engkau telah tua renta dan bahkan telah menghuni liang lahat?<br /><br />Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:<br /><br />ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ الإِيمَانِ: أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلَّهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِى الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِى النَّارِ. متفق عليه<br /><br />“Tiga hal, bila ketiganya ada pada diri seseorang, niscaya ia merasakan betapa manisnya iman: Bila Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dibanding selain dari keduanya, ia mencintai seseorang, tidaklah ia mencintainya kecuali karena Allah, dan ia benci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkan dirinya, bagaikan kebenciannya bila hendak diceburkan ke dalam kobaran api.” (Muttafaqun ‘alaih)<br /><br />Saudaraku! hanya cinta yang bersemi karena iman dan akhlaq yang mulialah yang suci dan sejati. Cinta ini akan abadi, tak lekang diterpa angin atau sinar matahari, dan tidak pula luntur karena guyuran air hujan.<br /><br />Yahya bin Mu’az berkata: “Cinta karena Allah tidak akan bertambah hanya karena orang yang engkau cintai berbuat baik kepadamu, dan tidak akan berkurang karena ia berlaku kasar kepadamu.” Yang demikian itu karena cinta anda tumbuh bersemi karena adanya iman, amal sholeh dan akhlaq mulia, sehingga bila iman orang yang anda cintai tidak bertambah, maka cinta andapun tidak akan bertambah. Dan sebaliknya, bila iman orang yang anda cintai berkurang, maka cinta andapun turut berkurang. Anda cinta kepadanya bukan karena materi, pangkat kedudukan atau wajah yang rupawan, akan tetapi karena ia beriman dan berakhlaq mulia. Inilah cinta suci yang abadi saudaraku.<br /><br />Saudaraku! setelah anda membaca tulisan sederhana ini, perkenankan saya bertanya: Benarkah cinta anda suci? Benarkah cinta anda adalah cinta sejati? Buktikan saudaraku…<br /><br />Wallahu a’alam bisshowab, mohon maaf bila ada kata-kata yang kurang berkenan atau menyinggung perasaan.<br /><br />***<br /><br />Ustadz Muhammad Arifin Badri, M.A.<br />Dipublikasi ulang dari www.pengusahamuslim.com<br /><br />Footnote:<br /><br />1) Saudaraku, setelah membaca kisah cinta sahabat Abdurrahman bin Abi Bakar ini, saya harap anda tidak berkomentar atau berkata-kata buruk tentang sahabat Abdurrahman bin Abi Bakar. Karena dia adalah salah seorang sahabat nabi, sehingga memiliki kehormatan yang harus anda jaga. Adapun kesalahan dan kekhilafan yang terjadi, maka itu adalah hal yang biasa, karena dia juga manusia biasa, bisa salah dan bisa khilaf. Amal kebajikan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu banyak sehingga akan menutupi kekhilafannya. Jangan sampai anda merasa bahwa diri anda lebih baik dari seseorang apalagi sampai menyebabkan anda mencemoohnya karena kekhilafan yang ia lakukan. Disebutkan pada salah satu atsar (ucapan seorang ulama’ terdahulu):<br /><br />مَنْ عَيَّرَ أَخَاهُ بِذَنْبٍ مَنْ عَابَهُ بِهِ لَمْ يَمُتْ حَتَّى يَعْمَلَهُ<br /><br />“Barang siapa mencela saudaranya karena suatu dosa yang ia lakukan, tidaklah ia mati hingga terjerumus ke dalam dosa yang sama.”Nor Baizura bt Zulkiflihttp://www.blogger.com/profile/03309953886503563441noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3016061427110327614.post-72861473897158701392010-04-23T06:52:00.000-07:002010-04-23T06:53:38.453-07:00Macam-Macam Najis dan Cara Membersihkannya (4): Babi, Bangkai dan Su’ru<span style="font-weight:bold;">Babi</span><br /><br />Tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama mengenai najis dan haramnya daging babi, lemaknya dan seluruh anggota tubuhnya. (Ensiklopedi Fiqh Wanita, I/28)<br /><span style="font-weight:bold;"><br />Bangkai</span><br /><br />Bangkai adalah hewan yang mati tanpa disembelih secara syari’at. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,<br /><br />إذا دبغ الإهاب فقد طهر<br /><br />“Jika kulit bangkai telah disamak, berarti dia telah suci.” (Shahih, riwayat Muslim (no. 366), Abu Dawud dalam ‘Aunul Ma’bud (XI/181 no. 4105))<br />Dan riwayat di atas sekaligus menjadi dalil untuk mensucikan kulit bangkai binatang supaya dapat dimanfaatkan.<br /><br />Adapun bangkai yang tidak dihukumi najis, yaitu:<br /><br />- Bangkai ikan dan belalang.<br /><br />Keduanya suci berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,<br /><br />أحلت لنا ميتتا ودمان أما الميتتان فالحوت والجراد, وأما الـدمان فالكبد والطحال<br /><br />“Dihalalkan bagi kita dua bangkai dan dua darah. Adapun dua bangkai itu adalah bangkai ikan dan belalang, sedangkan dua darah adalah hati dan limpa.” (Shahih, riwayat Ahmad dalam Musnad-nya (I/97), Ibnu Majah (no. 3218 dan 3314), ad-Daruquthni (no. 4687), al-Baihaqi (I/54). Lihat Shahih Jami’ush Shaghir (no. 210))<br /><br />- Bangkai yang darahnya tidak mengalir, seperti lalat, lebah, semut, kutu, dan sejenisnya.<br /><br />Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,<br /><br />إذا وقع الذباب في إناء أحدكم فليغمسه كله ثم ليطر حه فأن في أحدجنا حيه داء وفي الأخرسفاء<br /><br />“Jika lalat jatuh ke dalam bejana salah seorang di antara kalian, maka tenggelamkanlah semuanya ke dalam air, kemudian buanglah. Karena sesungguhnya pada salah satu sayapnya terdapat penyakit dan pada sayap yang lain terdapat penawarnya.” (Shahih, riwayat Bukhari dalam Fat-hul Baari (X/250 no. 57/82), Ibnu Majah (II/1159 no. 3505). Lihat Shahih Jami’ush Shaghir (no. 837))<br /><br />- Tulang bangkai, tanduknya, kukunya, rambutnya dan bulunya.<br /><br />Pada dasarnya semuanya adalah suci. Imam Bukhari telah mencantumkan dalam kitab Shahiih-nya (I/342), “az-Zuhri berkata tentang tulang pada bangkai, seperti tulang pada bangkai gajah dan yang lainnya, ‘Aku telah mendapati sejumlah ulama’ salaf memakai sisir yang terbuat dari tulang bangkai dan memakai minyak yang terdapat padanya (untuk rambut), dan mereka tidak menganggap apa-apa.’” (Al-Wajiz, hal. 60-62; Ensiklopedi Fiqh Wanita, I/29; Fiqhus Sunnah, I/42-43)<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Su’ru (Sisa Air yang Diminum) Binatang Buas dan Binatang Lain yang Dagingnya Tidak Boleh Dimakan</span><br /><br />As-Su’ru maknanya adalah sisa air yang ada pada suatu wadah setelah diminum. (Ensiklopedi Fiqh Wanita, I/30)<br /><br />Dalil yang dijadikan landasan bagi najisnya sisa air ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,<br /><br />إذا كان الماء قلتين لم يحمل الخبث<br /><br />“Jika air itu mencapai dua qullah*, maka ia tidak akan terkotori.” (Shahih, riwayat Abu Dawud (no. 63), Tirmidzi (no. 67) dan an-Nasa’i (I/46). Lihat Shahih Jami’ush Shaghir (no. 758))<br /><br />*Dua qullah setara dengan kurang lebih 270 liter.<br /><br />Menurut sekelompok fuqaha (ahli fiqh), jika najis jatuh di air yang banyaknya dua qullah maka air itu tetap dikatakan suci, selama salah satu sifatnya tidak berubah. Tapi, jika najis jatuh di air yang ukurannya kurang dari dua qullah maka air tersebut menjadi najis, meski salah satu sifatnya tidak berubah. (Ensiklopedi Tarjih, hal. 48)<br /><br />Jadi, hadits qullatain di atas adalah persyaratan tentang ukuran air yang dinilai suci. Sehingga apabila binatang buas dan binatang lain yang dagingnya tidak boleh dimakan minum di tempat yang airnya berukuran dua qullah atau lebih, maka airnya tetap suci.<br /><br />Adapun kucing, maka air sisa minumnya adalah suci, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,<br /><br />إنها ليست بنجس إنها من الطوا فين عليكم والطوافات<br /><br />“Kucing itu bukanlah najis, ia hanyalah hewan jantan dan betina yang biasa berkeliaran di tengah-tengah kalian.” (Shahih, riwayat Ahmad dalam Musnad-nya (V/303). Lihat Irwaa-ul Ghalil (no. 173))<br /><br />Itulah beberapa macam najis dan cara pembersihannya, yang telah disebutkan dalam dalil. Adapun sebagian ulama menyebutkan hal-hal najis lainnya dalam kitab-kitab fiqih selain dari yang telah disebutkan, seperti muntah, nanah, khamr, dan yang lainnya. Akan tetapi tidak ada dalil yang shahih yang menunjukkan bahwa semua itu najis. Sedangkan hukum asal dari sesuatu adalah suci selama tidak ada dalil shahih yang menetapkan kenajisannya. Sehingga, kita menetapkan bahwa semuanya adalah suci. (Ensiklopedi Fiqh Wanita, I/30)<br /><br />Jika seorang muslim ragu mengenai kenajisan air, pakaian, tempat shalat, benda, atau yang lainnya, semuanya itu tetap dinilai suci. Demikian pula apabila kita meyakini kesucian sesuatu hal, kemudian kita merasa ragu apakah hal tersebut najis atau tidak, maka hukum yang berlaku adalah kesucian yang kita yakini. Demikian pula apabila kita meyakini kenajisan sesuatu hal, kemudian kita lupa untuk menyucikannya, apakah sudah disucikan atau belum, maka hukum yang berlaku adalah apa yang diyakini. Demikian itulah kaidah yang agung, yakni tetap berpedoman pada keadaan yang diketahui dan mengesampingkan keraguan. (Ensiklopedi Shalat, I/24)<br /><br />Demikianlah saudariku, sudah menjadi kewajiban kita untuk senantiasa memperhatikan kesempurnaan ibadah, jangan sampai kita menyepelekan hal-hal yang terlihat kecil namun besar artinya bagi kesempurnaan ibadah kita. Semoga Allah senantiasa menolong kita untuk menyempurnakan peribadatan kepada-Nya.<br /><br />Wallahu a’lam.<br /><br />Selesai<br /><br />Penyusun: Ummu Sufyan Rahmawaty Woly bintu Muhammad<br />Muroja’ah: Ust. Aris Munandar<br /><br />***<br />Artikel muslimah.or.id<br /><br />Maraji’:<br />Al Wajiz (Terj.), ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi, cetakan Pustaka As-Sunnah.<br />Ensklopedi Fiqh Wanita, Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, cetakan Pustaka Ibnu Katsir.<br />Ensiklopedi Shalat, Sa’id bin ‘Ali bin Wahf al-Qaththani, cetakan Pustaka Imam asy-Syafi’i.<br />Ensiklopedi Tarjih Masalah Thaharah dan Shalat, Muhammad bin Umar bin Salim Bazamul, cetakan Pustaka Darus Sunnah.<br />Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Lajnah ad-Daimah lil Ifta’, cetakan Pustaka Darul Haq.<br />Fiqhus Sunnah (Terj), Sayyid Sabiq, cetakan Al-Ma’arif.<br />Tamamul Minnah (Terj), Muhammad Nashiruddin al-Albani, cetakan Pustaka Sumayyah.Nor Baizura bt Zulkiflihttp://www.blogger.com/profile/03309953886503563441noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3016061427110327614.post-9939277950356958072010-04-23T06:51:00.000-07:002010-04-23T06:52:40.444-07:00Macam-Macam Najis dan Cara Membersihkannya (3): Madzi dan Wadi, Kotoran Hewan yang Dagingnya Tidak Boleh Dimakan, dan Air Liur Anjing<span style="font-weight:bold;">Madzi dan Wadi</span><br /><br />Madzi adalah cairan bening, halus dan lengket yang keluar ketika adanya dorongan syahwat, seperti bercumbu, mengingat jima’ (persetubuhan) atau menginginkannya. Keluarnya madzi tidak memancar dan tidak diakhiri dengan rasa lemas atau kendornya syahwat, bahkan terkadang seseorang tidak merasakan keluarnya madzi. Air ini terjadi pada kaum lelaki maupun kaum wanita, akan tetapi lebih sering pada kaum wanita. Air tersebut adalah najis berdasarkan kesepakatan ulama.<br /><br />Sedangkan wadi adalah cairan berwarna putih dan kental, biasanya keluar setelah buang air kecil. Air tersebut najis berdasarkan ijma’. (Al-Wajiz, hal. 58; Ensiklopedi Fiqh Wanita, I/25; Ensiklopedi Shalat, I/19; Fiqhus Sunnah, I/48)<br /><br />Cara membersihkan madzi dan wadi adalah dengan mencuci kemaluan, berdasarkan riwayat dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu yang menyuruh Miqdad bin al-Aswad radhiyallahu ‘anhu untuk bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam perihal dirinya yang sering mengeluarkan madzi, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,<br /><br />يغـسل ذكره ويتـوضأ<br /><br />“(Hendaklah) dia mencuci kemaluannya dan berwudhu’.” (Shahih, riwayat Bukhari (no. 269), dalam Fat-hul Baari (I/230 no. 132) dan Muslim (no. 303))<br /><br />Dan apabila air madzi mengenai pakaian, maka cukup dibersihkan dengan menyiramkan air setelapak tangan ke pakaian yang terkena madzi tersebut. Hal ini berdasarkan riwayat Sahl bin Hunaif radhiyallahu ‘anhu, dia bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai madzi yang mengenai pakaiannya, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,<br /><br />يكفيك أن تأخذ كفا من ماء فتـنضح به ثو بك حيث ترى أنه قد أصاب منه<br /><br />“Cukuplah bagimu mengambil air satu telapak tangan, lalu tuangkanlah ke pakaianmu (yang terkena madzi) sampai engkau lihat air tersebut mengenainya (membasahinya).” (Hasan, riwayat Abu Dawud (no. 215), Tirmidzi (no. 115) dan Ibnu Majah (no. 506))<br /><br />*Catatan:<br /><br />Mani adalah cairan yang keluar dari kemaluan yang disertai dengan rasa nikmat. Dan keluarnya cairan ini menyebabkan seseorang wajib mandi janabat. Sebagian orang menganggap mani itu najis, akan tetapi menurut pendapat yang kuat hukum mani tidaklah najis. (Lihat Ensiklopedi Shalat, I/19-20; Fiqhus Sunnah, I/49-50)<br /><br />Kotoran Hewan yang Dagingnya Tidak Boleh Dimakan<br /><br />Kotoran hewan yang dagingnya tidak boleh dimakan adalah najis, hal ini berdasarkan riwayat dari ‘Abdullah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,<br /><br />أراد النبي صلى الله عليه وسلم أن يتبرز. فقال: ائتني بثلاثة أحجار. فو جدت حجرين وروثة فأمسك الحجرين وطرح الروثة, وقال: هي رجس<br /><br />“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak buang air besar, lalu beliau berkata, ‘Bawakan untukku tiga batu!’ Kemudian kudapati untuk beliau dua batu dan satu kotoran. Beliau mengambil dua batu dan melemparkan kotoran, lalu bersabda, ‘Ia kotor lagi keji (najis).’” (Shahih, riwayat Bukhari Shahih-nya(no. 156), Ibnu Majah dalam Shahih-nya (no. 253), Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya (I/39 no. 70), an-Nasa’i (I/39), Tirmidzi (I/13))<br /><br />Kata رِجْسٌ bermakna najis.<br /><br />Dan cara membersihkannya sama dengan membersihkan kotoran manusia (point A).<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Air Liur Anjing</span><br /><br />Air liur anjing adalah najis. Adapun seluruh tubuh dan bulunya, kecuali mulutnya, pada dasarnya adalah suci. (Ensiklopedi Fiqh Wanita, I/26-27)<br /><br />Untuk membersihkan air liur anjing yang mengenai benda, maka bisa dilakukan dengan cara mencucinya sebanyak tujuh kali dan cucian pertama dicampur dengan tanah. Jika yang dikenai adalah makanan, maka hendaklah membuang bagian yang terkena air liur tersebut dan yang disekelilingnya, sedang sisanya masih dianggap suci. (Fiqhus Sunnah, I/55)<br /><br />Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,<br /><br />طهـور إناء أحدكم إذا ولغ فيه الكلب أن يغسله سبع مرات أولا هن بالتراب<br /><br />“Sucinya bejana salah seorang di antara kalian jika dijilati anjing adalah dengan mencucinya sebanyak tujuh kali, dan yang pertama kali dicampur dengan tanah.” (Shahih, riwayat Muslim (no. 279). Lihat juga Shahih Jami’ush Shaghir (no. 3933))<br /><br /><br />Penyusun: Ummu Sufyan Rahmawaty Woly bintu Muhammad<br />Muroja’ah: Ust. Aris Munandar<br /><br />***<br />Artikel muslimah.or.idNor Baizura bt Zulkiflihttp://www.blogger.com/profile/03309953886503563441noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3016061427110327614.post-15621268730522742462010-04-23T06:50:00.000-07:002010-04-23T06:51:08.662-07:00Macam-Macam Najis dan Cara Membersihkannya (2): Darah Haidh dan NifasKedua hal ini telah sangat dikenal oleh kaum perempuan, dimana kita biasa menjumpai keduanya, dan tidak diragukan lagi bahwa darah haidh dan nifas terhukumi sebagai najis. Cara mensucikan darah haidh dan nifas adalah dengan membasuhnya dan mengusapnya dengan air hingga bekas darah tersebut hilang.<br /><br />Berkenaan dengan darah haidh yang terkena pakaian, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan tata cara menyucikannya,<br /><br />تحته ثم تقر صه بالماء وتنضحه وتصلي قيه<br /><br />“Menyikat, lalu menguceknya dengan air kemudian menyiramnya, dan baru setelah itu boleh mengerjakan shalat dengan mengenakan (pakaian tersebut).” (Shahih, riwayat Bukhari (no. 227) dan Muslim (no. 240 dan 291))<br /><br />Adapun jika setelah dicuci dan digosok dengan air dan sabun, darahnya masih membekas maka hal ini tidak menjadi masalah, berdasarkan riwayat berikut,<br /><br />عن أبي هريره رضي الله عنه, أن خولة بنت يسار قالت, يا رسول الله ليس لي إلا ثوب واحـد وأنا أحيض فيه؟ قال فإذا طهرت فاغسلى موضع الـدم ثم صلي فيه, فقالت يا رسول الله إن لم يخرج أثر؟ قال, يكفـيــك الماء ولا يضرك أثره.<br /><br />“Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Khaulah binti Yasar berkata, ‘Ya Rasulullah, aku hanya mempunyai satu potong pakaian, dan (sekarang) saya haidh mengenakan pakaian tersebut.’<br /><br />Maka Rasulullah menjawab, ‘Apabila kamu telah suci, maka cucilah yang terkena haidhmu, kemudian shalatlah kamu dengannya.’<br /><br />Ia bertanya, ‘Ya Rasulullah, (bagaimana) kalau bekasnya tidak bisa hilang?’<br /><br />Rasulullah menjawab, ‘Cukuplah air bagimu (dengan mencucinya) dan bekasnya tidak membahayakan (shalat)mu.’” (Shahih, riwayat Abu Dawud dalam Shahih-nya (no. 351) dan ‘Aunul Ma’bud (II/26 no. 361), al-Baihaqi (II/408))<br /><br />*Catatan:<br /><br />Terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama mengenai hukum darah manusia selain darah haidh dan darah nifas, serta hukum darah binatang yang dagingnya halal untuk dimakan. Sebagian ulama berpendapat bahwa darah secara umum yang keluar dari tubuh manusia dan hewan yang halal dagingnya untuk dimakan, adalah termasuk dalam kategori najis. Sedangkan ulama yang lain berpendapat bahwa darah hukum asalnya adalah suci, dia menjadi haram apabila dimakan, dan tidak dihukumi sebagai najis.<br /><br />Salah satu ulama yang berpendapat darah termasuk najis adalah Sayyid Sabiq, sebagaimana disebutkan dalam kitabnya Fiqhus Sunnah (I/45-46), yakni darah yang mengalir dari tubuh manusia dan hewan yang halal dagingnya terhukumi sebagai najis, kecuali darah yang sedikit.<br /><br />Namun, Syaikh Albani telah memberi komentar dan penjelasan dalam kitabnya Tamaamul Minnah (hal. 49-52) berkaitan dengan masalah ini. Syaikh Albani mengatakan bahwa tidak bisa menyamakan hukum darah haidh dengan darah manusia yang lain (selain darah haidh dan nifas) dan darah binatang yang halal dimakan, karena tidak ada dalil dari as-sunnah ash-shahihah, terlebih dari al-Qur’an yang mendukung pernyataan ini. Karena hukum asal darah adalah suci, kecuali ada bukti tekstual yang menyatakan kenajisannya. Dan pernyataan ini juga menyelisihi ketetapan sunnah. Meskipun ada referensi dari beberapa ahli hukum terdahulu dalam membedakan antara darah yang sedikit maupun banyak, namun tidak ada dalilnya dari sunnah, bahkan disebutkan juga dalam sebuah riwayat bahwa Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu pernah dilempari panah oleh orang musyrik ketika sedang shalat di malam hari. Lalu ia mencabutnya, tetapi ia dipanah lagi hingga tiga kali. Ia melanjutkan shalatnya dalam keadaan bercucuran darah. (Hadits marfu’, sebagaimana ditakhrij dalam Shahih Abu Dawud (no.193))<br /><br />Juga Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma pernah berlumuran darah dan kotoran binatang yang sedang disembelihnya, kemudian ketika shalat mulai ditegakkan, ia melaksanakan shalat tanpa berwudhu’ terlebih dahulu. (Riwayat Abdurrazaq dalam Mushannaf (I/125), Ibnu Abi Syaibah (I/392), dan ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabir (IX/284) dengan sanad yang shahih)<br /><br />Syaikh Albani mengatakan, seandainya keluarnya darah yang banyak itu membatalkan shalat pasti Nabi menjelaskannya. Dan seandainya hal ini tersembunyi dari Nabi (yakni tidak diketahui Nabi), pasti Allah mengetahuinya. Maka, jika darah itu membatalkan shalat atau bersifat najis, pasti Allah mewahyukan hal tersebut kepada Nabi. [Lihat juga Fat-hul Baari (I/225)]<br /><br />Namun demikian, kita harus tetap mengembalikan masalah ini kepada dalil-dalil yang shahih. Dan pendapat yang paling dekat dengan dalil yang shahih, maka itulah yang paling benar. Wallahu a’lam.<br /><br />Bersambung insya Allah…<br /><br />Penyusun: Ummu Sufyan Rahmawaty Woly bintu Muhammad<br />Muroja’ah: Ust. Aris Munandar<br /><br />***<br />Artikel muslimah.or.idNor Baizura bt Zulkiflihttp://www.blogger.com/profile/03309953886503563441noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3016061427110327614.post-68312313518753481592010-04-23T06:49:00.000-07:002010-04-23T06:50:31.071-07:00Macam-Macam Najis dan Cara Membersihkannya (1): Air Kencing dan Kotoran ManusiaMenyucikan kedua najis tersebut dapat dilakukan dengan beberapa cara berikut:<br /><br />Najis berupa air kencing bayi/anak laki-laki yang belum mengkonsumsi makanan selain ASI, cara membersihkannya adalah dengan memerciki air pada tempat yang terkena air kencing bayi/anak laki-laki tanpa harus dibasuh dan diperas dengan tangan. Adapun jika anak tersebut sudah mengkonsumsi makanan lain disamping ASI, maka bagian yang terkena air kencingnya harus dicuci. Sementara untuk anak perempuan, maka kewajibannya adalah mencuci bagian yang terkena air kencingnya, baik dia belum mengkonsumsi makanan ataupun sudah.<br /><br />Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,<br /><br />بول الغلام ينضح وبول الجار يه يغسل. (وهذا ما لم يطعما فإذا طعما غسلا جميعا<br /><br />“Kencing anak laki-laki itu dengan diperciki, sedangkan kencing anak perempuan dengan dicuci. (Hal ini dilakukan selama keduanya belum mengkonsumsi makanan. Adapun bila sudah mengkonsumsi makanan, maka harus dibasuh kedua-duanya).” (Shahih, riwayat Ahmad dalam Al-Musnad (I/76), Abu Dawud (no. 377), Tirmidzi (no. 610), Ibnu Majah (no. 525). Adapun lafazh di dalam kurung merupakan riwayat Abu Dawud (no.378))<br /><br />Najis yang mengenai bagian bawah sandal/sepatu, cara membersihkannya adalah dengan mengusap-usapkannya ke tanah, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,<br /><br />إذا وطئ أحدكم بنعله الأذى فإن التراب له طهور<br /><br />“Jika salah seorang di antara kalian menginjak kotoran dengan sandalnya, sesungguhnya tanah itu dapat menyucikannya.” (Shahih, riwayat Abu Dawud (no. 383) dan Tirmidzi (no. 143))<br /><br />Najis yang menempel pada ujung pakaian wanita akan disucikan oleh tanah yang berikutnya, sebagaimana keterangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,<br /><br />يطهره ما بعده<br /><br />“Ia (ujung pakaian wanita) disucikan oleh tanah sesudahnya.” (Shahih, riwayat Ibnu Majah dalam Shahih-nya (no. 430), Malik dalam Muwaththa’ (no. 44), Abu Dawud dalam ‘Aunul Ma’bud (II/44 no. 379), Tirmidzi (no. 143))<br /><br />Najis yang mengenai lantai atau karpet, cara membersihkannya adalah dengan membuang kotorannya kemudian bekasnya disiram dengan air hingga bersih. Sedangkan untuk najis berupa air kencing, maka cukup dengan memperbanyak siraman air kepada bagian yang terkena najis tersebut. Sebagaimana perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para sahabat ketika ada seorang arab badui yang kencing di dalam masjid,<br /><br />دعوه وهريقوا على بوله سجلا من ماء أو ذنوبا من ماء فإنما بعثتـم ميسرين ولم تبعثوا معسرين<br /><br />“Biarkanlah orang itu, dan siramkanlah satu timba air atau satu ember air pada bagian yang terkena kencingnya karena sesungguhnya kalian diutus untuk memberi kemudahan dan tidak diutus untuk memberikan kesulitan.” (Shahih, riwayat Bukhari (no. 220) dan Muslim (no. 284))<br /><br />Istinja’ atau istijmar juga dapat membersihkan kedua najis (air kencing dan kotoran manusia) tersebut. Istinja’ adalah bersuci dengan menggunakan air, dan istijmar adalah bersuci dengan menggunakan benda padat, seperti batu, tissue, sapu tangan, kayu, dan semacamnya. Istinja’ terdapat tiga tingkatan, yaitu:<br /><br /> 1. Istinja’ dengan batu kemudian istinja’ dengan air. Tingkatan ini paling sempurna tanpa adanya kesulitan dan madharat.<br /> 2. Istinja’ dengan air saja.<br /> 3. Istinja’ dengan batu saja (istijmar), dan harus dilakukan dengan tiga batu, tidak boleh kurang. Yang lebih afdhal adalah jumlah ganjil jika batu-batu itu suci. (Ensiklopedi Shalat, I/46)<br /><br />Bersambung insya Allah…<br /><br />Penyusun: Ummu Sufyan Rahmawaty Woly bintu Muhammad<br />Muroja’ah: Ust. Aris Munandar<br /><br />***<br />Artikel muslimah.or.idNor Baizura bt Zulkiflihttp://www.blogger.com/profile/03309953886503563441noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3016061427110327614.post-37358019586389018222010-04-23T06:46:00.001-07:002010-04-23T06:48:22.517-07:00Mengenal NajisMasalah najis erat kaitannya dengan masalah ibadah, karena setiap ibadah yang dilakukan oleh seorang muslim haruslah bersih dari segala najis. Dan kebersihan seorang muslim menjadi ketentuan penting dalam hal kesempurnaan pelaksanaan ibadah, baik yang fardhu’ maupun sunnah. Akan tetapi, tidak sedikit dari kaum muslim yang belum bisa membedakan antara kotoran yang terhukumi sebagai najis dengan kotoran yang tidak terhukumi sebagai najis. Dan najis yang berupa kotoran dalam bentuk zhahir (nyata) dengan najis yang tidak berbentuk zhahir (nyata) seperti kotoran. Oleh karena itu, artikel kali ini akan membahas tentang najis, macam-macamnya dan cara membersihkannya.<br /><br />Mengenal Najis<br />Syaikh ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi menyebutkan dalam kitabnya al-Wajiz (hal. 57), najaasaat adalah bentuk jama’ atau plural dari kata najaasah, yaitu segala sesuatu yang dianggap kotor oleh orang-orang yang bertabiat baik lagi selamat dan mereka menjaga diri darinya, mencuci pakaian yang terkena benda-benda najis tersebut.<br /><br />Syaikh Sa’id Al-Qaththani menyebutkan definisi najis sebagai kotoran yang harus dibersihkan dan dicuci pada bagian yang terkena olehnya. (Ensiklopedi Shalat Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, I/13)<br /><br />Menurut istilah syar’i, benda najis adalah benda yang haram disentuh secara mutlak, kecuali jika dalam keadaan terpaksa, bukan karena benda tersebut haram atau kotor dan bukan pula karena benda tersebut berbahaya untuk badan dan akal.(Ensiklopedi Tarjih Masalah Thaharah dan Shalat, hal. 26)<br /><br />Tidak Semua yang Haram dan Kotor itu Najis<br /><br />Tidak semua yang haram itu najis. Contohnya, emas haram dipakai oleh kaum lelaki, tapi emas itu tidak najis. Dan juga tidak semua yang kotor itu najis, misalnya ingus dan ludah itu kotor, tapi tidak najis.<br /><br />Pada asalnya, segala sesuatu adalah mubah dan suci, oleh karena itu untuk menghukumi najis atau tidaknya sesuatu, maka haruslah membawa dalil yang kuat. Maka, tidak boleh mengatakan najis untuk sesuatu kecuali dengan mengemukakan hujjah. Dan inilah pendapat yang kuat. (Al-Wajiiz, hal. 57 dan Ensiklopedi Tarjih, hal. 32)<br /><br />Baca lanjutan penjelasan tentang najis ini, besok insya Allah.<br /><br />Catatan redaksi:<br />Artikel ini merupakan potongan dari satu artikel yang membahas khusus tentang najis. Namun, agar tidak terasa memberatkan para pembaca muslimah, kami berinisiatif untuk memecahnya menjadi beberapa artikel. Dan insya Allah akan kami publikasikan secara harian.<br /><br />Penyusun: Ummu Sufyan Rahmawaty Woly bintu Muhammad<br />Muroja’ah: Ust. Aris Munandar<br /><br />***<br />Artikel muslimah.or.idNor Baizura bt Zulkiflihttp://www.blogger.com/profile/03309953886503563441noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3016061427110327614.post-27605588300277441762010-04-23T06:31:00.000-07:002010-04-23T06:32:19.334-07:00Istriku Bukan Bidadari, Tapi Aku Pun Bukan MalaikatAlhamdulillah, salawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, dan sahabatnya.<br /><br />Anda telah berkeluarga? Bagaimana pengalaman Anda selama mengarungi bahtera rumah tangga? Semulus dan seindah yang Anda bayangkan dahulu?<br /><br />Mungkin saja Anda menjawab, “Tidak.”<br /><br />Akan tetapi, izinkan saya berbeda dengan Anda, “Ya,” bahkan lebih indah daripada yang saya bayangkan sebelumnya.<br /><br />Saudaraku, kehidupan rumah tangga memang penuh dengan dinamika, lika-liku, dan pasang surut. Kadang Anda senang, dan kadang Anda bersedih. Tidak jarang, Anda tersenyum di hadapan pasangan Anda, dan kadang kala Anda cemberut dan bermasam muka.<br /><br />Bukankah demikian, Saudaraku?<br /><br />Berbagai tantangan dan tanggung jawab dalam rumah tangga senantiasa menghiasi hari-hari Anda. Semakin lama umur pernikahan Anda, maka semakin berat dan bertambah banyak perjuangan yang harus Anda tunaikan.<br /><br />Tanggung jawab terhadap putra-putri, pekerjaan, karib kerabat, masyarakat, dan lain sebagainya.<br /><br />Di antara tanggung jawab yang tidak akan pernah lepas dari kehidupan Anda ialah tanggung jawab terhadap pasangan hidup Anda.<br /><br />Sebelum menikah, sah-sah saja Anda sebagai calon suami membayangkan bahwa pasangan hidup Anda cantik rupawan, bangsawan, kaya raya, patuh, pandai mengurus rumah, penyayang, tanggap, sabar, dan berbagai gambaran indah.<br /><br />Bukankah demikian, Saudaraku?<br /><br />تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ<br /><br />“Biasanya, seorang wanita dinikahi karena empat pertimbangan: harta kekayaannya, kedudukannya, kecantikannya, dan agamanya. Maka, hendaknya engkau lebih memilih wanita yang beragama, niscaya engkau beruntung.” (Muttafaqun ‘alaihi)<br /><br />Al-Qurthubi menjelaskan makna hadits ini dengan berkata, “Empat pertimbangan inilah yang biasanya mendorong seorang lelaki untuk menikahi seorang wanita. Dengan demikian, hadits ini sebatas kabar tentang fakta yang terjadi di masyarakat, dan bukan perintah untuk menjadikannya sebagai pertimbangan. Secara tekstual pun, hadits ini menunjukkan bahwa dibolehkan menikahi seorang wanita dengan keempat pertimbangan itu. Akan tetapi, hendaknya pertimbangan agama lebih didahulukan.”<br /><br />Keterangan al-Qurthubi ini semakna dengan hadits yang diriwayatkan oleh shahabat Abdullah bin Amr al-’Ash radhiyallahu ‘anhu, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,<br /><br />لاَ تَزَوَّجُوا النِّسَاءَ لِحُسْنِهِنَّ فَعَسَى حُسْنُهُنَّ أَنْ يُرْدِيَهُنَّ وَلاَ تَزَوَّجُوهُنَّ لِأَمْوَالِهِنَّ فَعَسَى أَمْوَالُهُنَّ أَنْ تُطْغِيَهُنَّ وَلَكِنْ تَزَوَّجُوهُنَّ عَلَى الدِّينِ وَلَأَمَةٌ خَرْمَاءُ سَوْدَاءُ ذَاتُ دِينٍ أَفْضَلُ<br /><br />‘Janganlah engkau menikahi wanita hanya karena kecantikan parasnya, karena bisa saja parasnya yang cantik menjadikannya sengsara. Jangan pula engkau menikahinya karena harta kekayaannya, karena bisa saja harta kekayaan yang ia miliki menjadikan lupa daratan. Akan tetapi, hendaklah engkau menikahinya karena pertimbangan agamanya. Sungguh, seorang budak wanita berhidung pesek dan berkulit hitam, tetapi ia patuh beragama, lebih utama dibanding mereka semua.’” (Hr. Ibnu Majah; oleh al-Albani dinyatakan sebagai hadits yang lemah)<br /><br />Akan tetapi, sekarang, setelah Anda menikah, terwujudkah seluruh impian dan gambaran yang dahulu terlukis dalam lamunan Anda?<br /><br />Bila benar-benar seluruh impian Anda terwujud pada pasangan hidup Anda, maka saya turut mengucapkan selamat berbahagia di dunia dan akhirat. Bila tidak, maka tidak perlu berkecil hati atau kecewa.<br /><br />Saudaraku, besarkan hati Anda, karena nasib serupa tidak hanya menimpa Anda seorang, tetapi juga menimpa kebanyakan umat manusia.<br /><br />عَنْ أَبِى مُوسَى رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: كَمُلَ مِنَ الرِّجَالِ كَثِيرٌ، وَلَمْ يَكْمُلْ مِنَ النِّسَاءِ إِلاَّ آسِيَةُ امْرَأَةُ فِرْعَوْنَ، وَمَرْيَمُ بِنْتُ عِمْرَانَ، وَإِنَّ فَضْلَ عَائِشَةَ عَلَى النِّسَاءِ كَفَضْلِ الثَّرِيدِ عَلَى سَائِرِ الطَّعَامِ<br /><br />Abu Musa radhiyallahu ‘anhu menuturkan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Banyak lelaki yang berhasil menggapai kesempurnaan, sedangkan tidaklah ada dari wanita yang berhasil menggapainya kecuali Asiyah istri Fir’aun dan Maryam binti Imran. Sesungguhnya, kelebihan Aisyah dibanding wanita lainnya bagaikan kelebihan bubur daging [1] dibanding makanan lainnya.” (Muttafaqun ‘alaihi)<br /><br />Saudaraku, berbahagia dan berbanggalah dengan pasangan hidup Anda, karena pasangan hidup Anda adalah wanita terbaik untuk Anda!<br /><br />Anda tidak percaya? Silakan Anda membuktikannya. Bacalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini, lalu terapkanlah pada istri Anda.<br /><br />لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ<br /><br />“Tidak pantas bagi lelaki yang beriman untuk meremehkan wanita yang beriman. Bila ia tidak menyukai satu perangai darinya, pasti ia puas dengan perangainya yang lain.” (Hr. Muslim)<br /><br />Saudaraku, Anda kecewa karena istri Anda kurang pandai memasak? Tidak perlu khawatir, karena ternyata istri Anda adalah penyayang.<br /><br />Anda kurang puas dengan istri Anda yang kurang pandai mengurus rumah dan kurang sabar? Tidak usah berkecil hati, karena ia begitu cantik rupawan.<br /><br />Anda berkecil hati karena istri Anda kurang cantik? Segera besarkan hati Anda, karena ternyata istri Anda subur sehingga Anda mendapatkan karunia keturunan yang shalih dan shalihah. Coba Anda bayangkan, betapa besar penderitaan Anda bila Anda menikahi wanita cantik akan tetapi mandul.<br /><br />Demikianlah seterusnya.<br /><br />Tidak etis dan tidak manusiawi bila Anda hanya pandai mengorek kekurangan istri, namun Anda tidak mahir dalam menemukan kelebihan-kelebihannya. Buktikan Saudaraku, bahwa Anda benar-benar seorang suami yang berjiwa besar, sehingga Anda peka dan lihai dalam membaca kelebihan pasangan Anda.<br /><br />Dahulu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu peka dan mahir dalam membaca segala hal, termasuk suasana hati istrinya. Aisyah mengisahkan,<br /><br />قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: إِنِّي لَأَعْلَمُ إِذَا كُنْتِ عَنِّي رَاضِيَةً، وَإِذَا كُنْتِ عَلَيَّ غَضْبَى . قَالَتْ: فَقُلْتُ مِنْ أَيْنَ تَعْرِفُ ذَلِكَ، فَقَالَ: أَمَّا إِذَا كُنْتِ عَنِّي رَاضِيَةً فَإِنَّكِ تَقُولِيْنَ لاَ وَرَبِّ مُحَمَّدٍ، وَإِذَا كُنْتِ غَضْبَى قُلْتِ لاَ وَرَبِّ إِبْرَاهِيمَ. قَالَتْ: قُلْتُ أَجَلْ وَاللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا أَهْجُرُ إِلاَّ اسْمَكَ<br /><br />“Pada suatu hari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku, ‘Sungguh, aku mengetahui bila engkau ridha kepadaku, demikian pula bila engkau sedang marah kepadaku.’ Spontan, Aisyah bertanya, ‘Darimana engkau dapat mengetahui hal itu?’ Rasulullah menjawab, ‘Bila engkau sedang ridha kepadaku, maka ketika engkau bersumpah, engkau berkata, ‘Tidak, demi Tuhan Muhammad. Adapun bila engkau sedang dirundung amarah, maka ketika engkau bersumpah, engkau berkata, ‘Tidak, demi Tuhan Ibrahim.’’ Mendengar penjelasan ini, Aisyah menimpalinya dan berkata, ‘Benar, sungguh demi Allah, wahai Rasulullah, ketika aku marah, tiada yang aku tinggalkan, kecuali namamu saja.’” (Muttafaqun ‘alaihi)<br /><br />Demikianlah teladan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau begitu peka dengan suasana hati istrinya, sehingga beliau bisa membaca isi hati istrinya dari ucapan sumpahnya. Walaupun Aisyah berusaha untuk menyembunyikan isi hatinya, tetap bermanis muka, senantiasa berada di sanding Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan berbicara seperti biasa, namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dapat menebak suasana hatinya dari perubahan cara bersumpahnya. Luar biasa, perhatian, kejelian, dan kepekaan yang tidak ada bandingnya.<br /><br />Tidak mengherankan, bila beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,<br /><br />(خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي<br /><br />“Orang terbaik di antara kalian ialah orang yang terbaik dalam memperlakukan istrinya, dan aku adalah orang terbaik di antara kalian dalam memperlakukan istriku.” (Hr. At-Tirmidzi)<br /><br />Bagaimana dengan Anda, Saudaraku? Dengan apa Anda dapat mengenali dan meraba suasana hati pasangan Anda?<br /><br />Saudaraku, tidak ada salahnya bila sejenak Anda kembali memutar lamunan dan gambaran tentang istri ideal dan idaman yang pernah singgah dalam benak Anda. Selanjutnya, bandingkan gambaran istri idaman Anda dengan gambaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kaum wanita berikut ini,<br /><br />الْمَرْأَةُ كَالضِّلَعِ ، إِنْ أَقَمْتَهَا كَسَرْتَهَا، وَإِنِ اسْتَمْتَعْتَ بِهَا اسْتَمْتَعْتَ بِهَا وَفِيهَا عِوَجٌ<br /><br />“Wanita itu bagaikan tulang rusuk. Bila engkau ingin meluruskannya, niscaya engkau menjadikannya patah, dan bila engkau bersenang-senang dengannya, niscaya engkau dapat bersenang-senang dengannya, sedangkan ia adalah bengkok.” (Muttafaqun ‘alaihi)<br /><br />Pada riwayat lain, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,<br /><br />لاَ تَسْتَقِيمُ لَكَ الْمَرْأَةُ عَلَى خَلِيقَةٍ وَاحِدَةٍ وَإِنَّمَا هِيَ كَالضِّلَعُ إِنْ تُقِمْهَا تَكْسِرْهَا وَإِنْ تَتْرُكْهَا تَسْتَمْتِعْ بِهَا وَفِيهَا عِوَجٌ<br /><br />“Tidak mungkin istrimu kuasa bertahan dalam satu keadaan. Sesungguhnya, wanita itu bak tulang rusuk. Bila engkau ingin meluruskannya, niscaya engkau menjadikannya patah. Adapun bila engkau biarkan begitu saja, maka engkau dapat bersenang-senang dengannya, (tetapi hendaklah engkau ingat) ia adalah bengkok.” (Hr. Ahmad)<br /><br />Nah, sekarang, silakan Anda mengorek memori Anda tentang wanita pendamping hidup Anda. Temukan berbagai kelebihan padanya, dan selanjutnya tersenyumlah, karena ternyata istri Anda memiliki banyak kelebihan.<br /><br />Lalu, bila pada suatu hari Anda merasa tergoda oleh kecantikan wanita lain, maka ketahuilah bahwa sesuatu yang dimiliki oleh wanita itu ternyata juga telah dimiliki oleh istri Anda. Maka, bergegaslah untuk membuktikan hal ini pada istri Anda. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,<br /><br />إِذَا رَأَى أَحَدُكُمُ امْرَأَةً فَأَعْجَبَتْهُ فَلْيَأْتِ أَهْلَهُ فَإِنَّ مَعَهَا مِثْلَ الَّذِي مَعَهَا<br /><br />“Bila engkau melihat seorang wanita, lalu ia memikat hatimu, maka segeralah datangi istrimu! Sesungguhnya, istrimu memiliki seluruh hal yang dimiliki oleh wanita yang engkau lihat itu.” (Hr. At-Tirmidzi)<br /><br />Demikianlah caranya agar Anda dapat senantiasa puas dan bangga dengan pasangan hidup Anda. Anda selalu dapat merasa bahwa ladang Anda tampak hijau, sehijau ladang tetangga, dan bahkan lebih hijau.<br /><br />Selamat berbahagia dengan pasangan hidup yang telah Allah karuniakan kepada Anda. Semoga Allah memberkahi bahtera rumah tangga Anda.<br /><br />Sebaliknya, sebagai calon istri, Anda juga berhak untuk mendambakan pasangan hidup yang tampan, gagah, kaya raya, pandai, berkedudukan tinggi, penuh perhatian, setia, penyantun, dermawan, dan lain sebagainya.<br /><br />Betapa indahnya gambaran rumah tangga Anda, dan betapa istimewanya pasangan hidup Anda, andai gambaran Anda ini dapat terwujud. Bukankah demikian, Saudariku?<br /><br />Saudariku, setelah Anda menikah, benarkah seluruh kriteria suami ideal yang pernah menghiasi lamunan Anda ini terwujud pada pasangan hidup Anda?<br /><br />Bila benar terwujud, maka saya ucapkan selamat berbahagia di dunia dan akhirat, dan bila tidak, maka tidak perlu berkecil hati.<br /><br />Besarkan hatimu, wahai Saudariku! Percayalah, bahwa pada pasangan hidup Anda ternyata terdapat banyak kelebihan.<br /><br />Bila selama ini, Saudari ciut hati karena suami Anda miskin harta, maka tidak perlu khawatir, karena ia penuh dengan perhatian dan tanggung jawab.<br /><br />Bila selama ini, Saudari kecewa karena suami Anda ternyata kurang tampan, maka percayalah bahwa ia setia dan bertanggung jawab.<br /><br />Andai selama ini, Saudari kurang puas karena suami Anda kurang perhatian dengan urusan dalam rumah, tetapi ia begitu membanggakan dalam urusan luar rumah.<br /><br />Juga, andai selama ini, sikap suami Anda terhadap Anda kurang simpatik, maka tidak perlu hanyut dalam duka dan kekecawaan, karena ia masih punya jasa baik yang tidak ternilai dengan harta. Ternyata, selama ini, suami Anda telah menjaga kehormatan Anda, menjadi penyebab Anda merasakan kebahagiaan menimang putra-putri Anda.<br /><br />Saudariku, Anda tidak perlu hanyut dalam kekecewaan karena suatu hal yang ada pada diri suami Anda. Betapa banyak kelebihan-kelebihan yang ada padanya. Berbahagia dan nikmatilah kedamaian hidup rumah tangga bersamanya.<br /><br />Berlarut-larut dalam kekecewaan terhadap suatu perangai suami Anda dapat menghancurkan segala keindahan dalam rumah tangga Anda. Bukan hanya hancur di dunia, bahkan berkelanjutan hingga di akhirat kelak.<br /><br />Saudariku, simaklah peringatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini. Agar anda dapat menjadikan bahtera rumah tangga Anda seindah dambaan Anda.<br /><br />أُرِيتُ النَّارَ فَإِذَا أَكْثَرُ أَهْلِهَا النِّسَاءُ يَكْفُرْنَ، قِيلَ: أَيَكْفُرْنَ بِاللَّهِ؟ قَالَ: يَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ، وَيَكْفُرْنَ الإِحْسَانَ، لَوْ أَحْسَنْتَ إِلَى إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا، قَالَتْ: مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ<br /><br />“Aku diberi kesempatan untuk menengok ke dalam neraka, dan ternyata kebanyakan penghuninya ialah para wanita, akibat ulah mereka yang selalu kufur/ingkar.” Spontan, para shahabat bertanya, “Apakah yang engkau maksud adalah mereka kufur/ingkar kepada Allah?” Beliau menjawab, “Mereka terbiasa ingkar terhadap perilaku baik, dan ingkar terhadap jasa baik. Andai engkau berbuat baik kepada mereka seumur hidupmu, lalu ia mendapatkan suatu hal padamu, niscaya mereka begitu mudah berkata, ‘Aku tidak pernah mendapatkan kebaikan sedikit pun darimu.’” (Muttafaqun ‘alaihi)<br /><br />Anda mendambakan kebahagian dalam rumah tangga?<br /><br />Temukanlah bahwa kebahagian hidup dan berumah tangga terletak pada genggaman tangan suami Anda. Pandai-pandailah membawa diri, sehingga suami Anda rela membentangkan kedua telapak tangannya, dan memberikan kebahagian berumah tangga kepada Anda.<br /><br />Percayalah Saudariku, suami Anda adalah pasangan terbaik untuk Anda.<br /><br />إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا قِيلَ لَهَا اُدْخُلِي الْجَنَّةَ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ<br /><br />“Bila seorang istri telah mendirikan shalat lima waktu, berpuasa bulan Ramadan, menjaga kesucian dirinya, dan taat kepada suaminya, niscaya kelak akan dikatakan kepadanya, ‘Silakan engkau masuk ke surga dari pintu mana pun yang engkau suka.’” (Hr. Ahmad dan lainnya)<br /><br />Tidakkah Anda mendambakan termasuk orang-orang mukminah yang mendapatkan kebebasan masuk surga dari pintu yang mana pun?<br /><br />Kunci Keberhasilan Rumah Tangga<br /><br />Saudaraku, mungkin selama ini Anda bersama pasangan hidup Anda, terus berusaha mencari pola rumah tangga yang dapat mendatangkan kebahagiaan untuk Anda berdua.<br /><br />Anda berhasil menemukannya?<br /><br />Bila Anda berhasil, maka saya ucapkan selamat berbahagia. Adapun bila belum, maka segera temukan kunci keberhasilan rumah tangga Anda pada firman Allah berikut,<br /><br />وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ<br /><br />“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi, para suami mempunyai kelebihan satu tingkat daripada istrinya.” (Qs. al-Baqarah: 228)<br /><br />Hak pasangan Anda setimpal dengan kewajiban yang ia tunaikan kepada Anda. Semakin banyak Anda menuntut hak Anda, maka semakin banyak pula kewajiban yang harus Anda tunaikan untuknya.<br /><br />Shahabat Abdullah bin ‘Abbas memberikan contoh nyata dari aplikasi ayat ini dalam rumah tangganya. Pada suatu hari, beliau berkata, “Sesungguhnya, aku senang untuk berdandan demi istriku, sebagaimana aku pun senang bila istriku berdandan demiku, karena Allah Ta’ala telah berfirman,<br /><br />وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ<br /><br />‘Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.’<br /><br />Aku pun tidak ingin menuntut seluruh hakku atas istriku, karena Allah juga telah berfirman,<br /><br />وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ<br /><br />‘Akan tetapi, para suami mempunyai kelebihan satu tingkat daripada istrinya.’” (Hr. Ibnu Abi Syaibah dan ath-Thabari)<br /><br />Bagaimana dengan dirimu, wahai saudara dan saudariku? Kapankah Anda berdandan? Ketika sedang berada di rumah atau ketika hendak keluar rumah? Selama ini, sejatinya, untuk siapa Anda berdandan? Benarkah Anda berdandan untuk pasangan Anda, ataukah Anda berdandan dan tampil menawan untuk orang lain?<br /><br />Saudaraku, bahu-membahu, saling melengkapi kekurangan, dan saling pengertian adalah salah satu prinsip dasar dalam membangun rumah tangga. Tidak layak bagi Anda untuk berperan sebagai penonton setia ketika pasangan Anda sedang mengerjakan pekerjaannya. Usahakan sebisa Anda untuk turut menyelesaikan pekerjaannya. Demikianlah, dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencontohkan dalam rumah tangga beliau.<br /><br />Aisyah radhiyallahu ‘anha mengisahkan,<br /><br />كَانَ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ، فَإِذَا سَمِعَ الأَذَانَ خَرَجَ<br /><br />“Dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan sebagian pekerjaan istrinya, dan bila beliau mendengar suara azan dikumandangkan, maka beliau bergegas menuju ke mesjid.” (Hr. Bukhari)<br /><br />Constance Gager, ketua studi sekaligus asisten profesor di Montclair State University, Montclair, New Jersey, mengadakan penelitian tentang hubungan perilaku suami-istri dengan keromantisan dalam bercinta. Ia mengelompokkan para suami yang menjadi objek penelitiannya ke dalam dua kelompok.<br /><br />Kelompok pertama adalah suami-suami yang tidak peduli dan jarang membantu pekerjaan istri. Kelompok kedua adalah suami-suami yang sering turut serta dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga istri.<br /><br />Hasilnya luar biasa! Suami di kelompok kedua, yaitu yang sering membantu pekerjaan istrinya, terbukti lebih romantis dan lebih sering memadu cinta dengan pasangannya. Hubungan yang harmonis dan indah, begitu kental dalam rumah tangga mereka.<br /><br />Sejatinya, penemuan ini bukanlah hal baru, karena secara logika, suami yang dengan rendah hati membantu pekerjaan istrinya pastilah lebih dicintai oleh istrinya. Tentunya, ini memiliki hubungan erat dengan keromantisan suami-istri dalam bercinta.<br /><br />Sebaliknya, istri yang peduli dengan pekerjaan suami, pun akan mengalami hal yang sama.<br /><br />Nah, bagaimana dengan diri Anda, wahai Saudaraku?<br /><br />Selamat membuktikan resep manjur ini! Semoga berbahagia, dan hubungan Anda berdua semakin romantis dan harmonis.<br /><br />Semoga tulisan sederhana ini bermanfaat bagi Anda. Mohon maaf bila ada kata-kata yang kurang berkenan. Wallahu a’lam bish-shawab.<br /><br />Penulis: Ustadz Arifin Badri, Lc., M.A.<br /><br />===<br />catatan kaki:<br />[1] Para ulama pensyarah hadits menjelaskan bahwa bubur daging adalah makanan paling istimewa di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, terlebih-lebih bubur daging mudah pembuatannya dan selanjutnya mudah pula menelannya.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Sumber:<br /><br />PengusahaMuslim.com</span>Nor Baizura bt Zulkiflihttp://www.blogger.com/profile/03309953886503563441noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3016061427110327614.post-34727748910742316922010-03-10T16:48:00.000-08:002010-03-10T16:49:28.796-08:00Beza Antara Merebut Nama Allah Dan Mempertahankan AkidahDisiarkan pada Jan 02, 2010 dalam kategori Akidah | <br />** Dr. Mohd Asri bin Zainul Abidin enggan mengulas mengenai isu nama Allah yang telah diputuskan di mahkamah, sebaliknya berikut merupakan artikel lama yang telah ditulis beliau dan dicadangkan untuk pembacaan. <br /><br /> <br /><br />Banyak pihak mendesak saya memberikan pandangan tentang penggunaan nama Allah oleh agama lain khususnya agama Kristian di Malaysia ini. Pada awalnya, saya selalu mengelak, cuma memberikan pandangan ringkas dengan berkata: “Isu ini bukan isu nas Islam, ianya lebih bersifat pentadbiran atau tempatan.<br /><br /> <br /><br /><br />Peraturan ini mungkin atas alasan-alasan setempat seperti kenapa sekarang baru ditimbulkan isu ini? Kenapa hanya Bible dalam bahasa melayu sahaja yang hendak menggunakan panggilan Allah, tidak pula edisi inggerisnya? Adakah di sana ada agenda tersembunyi? Maka wujudnya tanda soal dan beberapa prasangka yang mungkin ada asasnya. Maka lahirlah kebimbangan terhadap kesan yang bakal timbul dari isu itu nanti.<br /><br />Namun, akhir-akhir ini saya terus didesak. Saya kata: jika anda hendak tahu pendirian Islam bukanlah dengan falsafah-falsafah tentang akar bahasa itu dan ini yang diutamakan. Rujuk terdahulu apa kata al-Quran dan al-Sunnah. Lepas itu kita bincang hukum berkenaan bertitik tolak dari kedua sumber tersebut.<br /><br />Kadang-kala kesilapan kita dalam mempertahankan perkara yang tidak begitu penting, boleh melupakan kita kepada isu yang lebih penting. Isu yang terpenting bagi saya adalah kefahaman mengenai keadilan dan kerahmatan Islam yang mesti sampai kepada setiap rakyat negara ini, muslim atau bukan muslim. Supaya gambaran negatif yang salah terhadap Islam dapat dikikis dari minda mereka yang keliru.<br /><br />Di samping itu, hendaklah kita jelas bahawa yang membezakan akidah Islam dan selainnya bukanlah pada sebutan, atau rebutan nama Allah, sebaliknya pada ketulusan tauhid dan penafian segala unsur syirik. Di samping, kita mesti bertanya diri kita: mengapakah kita sentiasa merasakan kita akan menjadi pihak yang tewas jika orang lain memanggil tuhan Allah? Mengapakah kita tidak merasakan itu akan lebih memudahkan kita menyampaikan kepada mereka tentang akidah Islam?. Maka, apakah isu ini bertitik tolak dari nas-nas Islam, atau kebimbangan disebabkan kelemahan diri umat Islam itu sendiri?<br /><br />Jika kita membaca Al-Quran, kita dapati ia menceritakan golongan musyrikin yang menentang Nabi Muhammad s.a.w juga menyebut nama Allah dan al-Quran tidak membantah mereka, bahkan itu dijadikan landasan untuk memasukkan akidah Islam yang sebenar.<br /><br />Firman Allah: (maksudnya) “Dan Demi sesungguhnya! jika engkau (Wahai Muhammad) bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan mereka?” sudah tentu mereka akan menjawab: “Allah!”. (jika demikian) maka bagaimana mereka rela dipesongkan? Dan (Dia lah Tuhan Yang mengetahui rayuan Nabi Muhammad) yang berkata: Wahai Tuhanku! Sesungguhnya mereka ini adalah satu kaum yang tidak mahu beriman!” (Surah al-Zukhruf ayat 87-88).<br /><br />Firman Allah dalam ayat yang lain: (maksudnya) “Dan sesungguhnya jika engkau (Wahai Muhammad) bertanya kepada mereka (yang musyrik) itu: “siapakah yang menurunkan hujan dari langit, lalu dia hidupkan dengannya tumbuh-tumbuhan di bumi sesudah matinya?” sudah tentu mereka akan menjawab: “Allah”. Ucapkanlah (Wahai Muhammad): “Alhamdulillah” (sebagai bersyukur disebabkan pengakuan mereka yang demikian), bahkan kebanyakan mereka tidak menggunakan akal (untuk memahami tauhid) (Surah al-Ankabut ayat 63).<br /><br />Ayat-ayat ini, bahkan ada beberapa yang lain lagi menunjukkan al-Quran tidak membantahkan golongan bukan muslim menyebut Allah sebagai Pencipta Yang Maha Agung. Bahkan Nabi Muhammad s.a.w disuruh untuk mengucapkan kesyukuran kerana mereka mengakui Allah. Apa yang dibantah dalam ayat-ayat ini bukanlah sebutan nama Allah yang mereka lafazkan, sebaliknya ketidak tulusan tauhid yang menyebabkan akidah terhadap Allah itu dipesongkan atau bercampur syirik.<br /><br />Justeru, soal bukan muslim mengakui Allah tidak dibantah oleh Islam, bahkan kita disuruh bersyukur kerana pengakuan itu. Cuma yang dibantah ialah kesyirikan mereka. Umpamanya, jika kita mendengar bukan muslim menyebut “Allah yang menurunkan hujan, atau menumbuhkan tumbuhan”, maka kita tentu gembira kerana dia mengakui kebesaran Allah.<br /><br />Apakah patut kita kata kepadanya: awak jangan kata Allah yang menurunkan hujan, atau mencipta itu dan ini, awak tidak boleh kata demikian kerana awak bukan muslim, sebaliknya awak kena kata tokong awak yang menurun hujan”. Apakah ini tindakan yang betul? Tidakkah itu menjauhkan dia dari daerah ketuhanan yang sebenar? Kita sepatutnya berusaha mendekatkan dia kepada ajaran yang benar. Namun, jika dia berkata: “Tokong ini adalah Allah”. Saya kata: “Awak dusta, itu tidak benar! Maha suci Allah dari dakwaan awak”.<br /><br />Maka, ketika Allah menceritakan peranan peperangan dalam mempertahankan keamanan dan kesejahteraan manusia,<br /><br />Allah menyebut: (maksudnya) “..dan kalaulah Allah tidak mendorong setengah manusia menentang (pencerobohan) setengah yang lain, nescaya runtuhlah tempat-tempat pertapaan serta gereja-gereja (kaum Nasrani), dan tempat-tempat sembahyang (kaum Yahudi), dan juga masjid-masjid (orang Islam) yang sentiasa disebut nama Allah banyak-banyak dalam semua tempat itu dan sesungguhnya Allah akan menolong sesiapa yang menolong ugamanya (ugama Islam); Sesungguhnya Allah Maha Kuat, lagi Maha Perkasa. (Surah al-Hajj ayat 40).<br /><br />Ayat ini mengakui tempat-tempat ibadah itu disebut nama Allah. Adapun berhubung dengan orang Kristian,<br /><br />Allah menyebut: (maksudnya) “Sesungguhnya telah kafirlah mereka yang berkata: “Bahawasanya Allah ialah salah satu dari yang tiga (triniti)”. padahal tiada tuhan (yang berhak disembah) melainkan Tuhan Yang Maha Esa..(Surah al-Maidah ayat 73).<br /><br />Ayat ini tidak membantah mereka menyebut Allah, tetapi yang dibantah adalah dakwaan bahawa Allah adalah satu dari yang tiga.<br /><br />Justeru itu kita lihat, orang-orang Kristian Arab memang memakai perkataan Allah dalam Bible mereka, juga buku-buku doa mereka. Tiada siapa pun di kalangan para ulama kaum muslimin sejak dahulu yang membantahnya. Jika ada bantahan di Malaysia, saya fikir ini mungkin atas alasan-alasan setempat yang saya sebutkan pada awal tadi. Cuma yang diharapkan, janganlah bantahan itu akhirnya memandulkan dakwah Islam dan menjadikan orang salah faham terhadap agama suci ini.<br /><br />Saya selalu bertanya sehingga bilakah kita di Malaysia ini akan begitu defensive, tidak memiliki anti-bodi dan tidak mahu berusaha menguatkannya dalam diri? Akhirnya, kita terus bimbang dan takut kepada setiap yang melintas. Padahal itu bukan sifat Islam. Islam agama yang ke hadapan, misi dan intinya sentiasa disebarkan.<br /><br />Sehingga Allah menyebut: (maksudnya):“Dan jika seseorang dari kalangan musyrikin meminta perlindungan kepadamu, maka berilah perlindungan kepadanya sehingga dia sempat mendengar keterangan-keterangan Allah (tentang hakikat Islam itu), kemudian hantarlah dia ke tempat yang selamat. Demikian itu (perintah tersebut) ialah kerana mereka itu kaum yang tidak mengetahui (hakikat Islam). (Surah al-Taubah ayat 6).<br /><br />Ada orang tertentu yang berkata kepada saya: nanti orang Islam keliru kerana sebutan nama Allah itu sama antara mereka dan Islam. Lalu rosak akidah orang Islam kita nanti. Saya berkata kepadanya: “Jikalaulah sebutan nama tuhan itulah yang menentukan akidah Islam, tentulah golongan musyrikin Mekah tidak memerlukan akidah yang dibawa oleh Nabi s.a.w. Mereka telah sekian lama memanggil tuhan dengan panggilan Allah.<br /><br />Lihatlah bapa Nabi kita Muhammad bernama ‘Abdullah yang bermaksud hamba Allah. Tentu sekali bapa baginda lahir pada zaman jahiliah sebelum kemunculan baginda sebagai rasul. Nama itu dipilih oleh datuk Abdul Muttalib yang menjadi pemimpin Quraish pada zaman dahulu. Quraish pada zaman jahiliah juga bertawaf dengan menyebut: LabbaikalLahhumma yang bermaksud: Menyahut seruanMu ya Allah!<br /><br />Al-Imam Muslim dalam sahihnya meriwayatkan hadis mengenai perjanjian Hudaibiah antara Nabi s.a.w dengan Quraish Mekah, seperti berikut:<br /><br />“Sesungguhnya Quraish membuat perjanjian damai dengan Nabi s.a.w. Antara wakil Quraish ialah Suhail bin ‘Amr. Sabda Nabi s.a.w : barangkali aku boleh tulis Bismillahirrahmanirrahim. Kata Suhail: Adapun Bismillah (dengan nama Allah), maka kami tidak tahu apa itu Bismillahirrahmanirrahim. Maka tulislah apa yang kami tahu iaitu BismikalLahumma (dengan namaMu Ya Allah!)”. Dalam riwayat al-Bukhari, Nabi s.a.w menerima bantahan tersebut. Ternyata mereka menggunakan nama Allah.<br /><br />Maka yang membezakan akidah Islam dan selainnya adalah tauhid yang tulus yang menentang segala unsur syirik. Ketidak jelasan dalam persoalan inilah yang menggugat akidah jenerasi kita. Mereka yang berakidah dengan akidah Islam sangat sensitif kepada sebarang unsur syirk agar tidak menyentuh akidahnya. Bukan semua yang mengakui Allah akan dianggap beriman dengan iman yang sah selagi dia tidak membersihkan diri dari segala unsur syirik.<br /><br />Lihat, betapa ramai yang memakai serban dan jubah, berzikir sakan tetapi dalam masa yang sama menyembah kubur-kubur tok wali tertentu dengan cara menyeru dan merintih pemohonan darinya. Ini yang dilakukan oleh sesetengah tarekat yang sesat. Apa beza mereka ini dengan yang memanggil nama-nama berhala yang asalnya dari nama orang-orang saleh juga, yang mati pada zaman dahulu.<br /><br />Firman Allah: (maksudnya) Ingatlah! Untuk Allah agama yang suci bersih (dari segala rupa syirik). dan orang-orang musyrik yang mengambil selain dari Allah untuk menjadi pelindung (sambil berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah sehampir-hampirnya. Sesungguhnya Allah akan menghukum antara mereka tentang apa yang mereka berselisihan padanya. Sesungguhnya Allah tidak memberi hidayah petunjuk kepada orang-orang yang tetap berdusta (mengatakan Yang bukan-bukan), lagi sentiasa kufur (dengan melakukan syirik). (Surah al-Zumar ayat 3).<br /><br />Di Malaysia kita pun ada yang memakai gelaran agama menentang pengajaran tauhid rububiyyah, uluhiyyah, asma dan sifat. Mereka ini menyimpan agenda musuh-musuh dakwah. Padahal pengajaran tauhid yang sedemikianlah yang mampu menjadikan muslim memahami dengan mudah hakikat tauhid. Mampu membezakan antara; sekadar mempercayai kewujudan Allah dengan mentauhidkan Allah dalam zatNya, ibadah kepadaNya dan sifat-sifatNya.<br /><br />Persoalan tauhid anti syirik ini begitu mudah dan ringkas untuk memahaminya. Nabi s.a.w telah menyebarkannya dengan begitu pantas dan mudah. Seorang badawi buta huruf yang datang berjumpa baginda mampu memahami hanya dalam beberapa sessi ringkas. Bahkan mampu pulang dan mengislamkan seluruh kaumnya dengan akidah yang teguh. Namun, di kalangan kita, pengajaran akidah yang dinamakan ilmu kalam begitu berfalsafah dan menyusahkan.<br /><br />Bukan sahaja badwi, orang universiti pun susah nak faham. Sehingga seseorang bukan bertambah iman, tetapi bertambah serabut. Bertahun-tahun masih dalam kesamaran. Diajar Allah ada, lawannya tiada, dengar lawannya pekak, lihat lawannya buta..lalu ditokok tambah dengan falsafah-falsafah dan konsep-konsep yang menyusahkan. Padahal penganut agama lain juga menyatakan tuhan itu ada, melihat, tidak buta, mendengar, tidak pekak dan seterusnya. Apa bezanya jika sekadar memahami perkara tersebut cuma?<br /><br />Maka anak-anak orang Islam kita gagal memahami hakikat tauhid anti-syirik yang sebenar. Padahal ianya begitu mudah semudah memahami kalimah-kalimah akidah dalam surah al-Ikhlas yang ringkas. Kata Dr Yusuf al-Qaradawi: “Tambahan pula, perbahasan ilmu kalam, sekalipun mendalam dan kepenatan akal untuk memahami dan menguasainya, ia bukannya akidah…Lebih daripada itu perbahasan ilmu kalam telah terpengaruh dengan pemikiran Yunan dan cara Yunan dalam menyelesaikan masalah akidah. Justeru itu imam-imam salaf mengutuk ilmu kalam dan ahlinya serta berkeras terhadap mereka” (Al-Qaradawi, Thaqafah al-Da’iyah, m.s. 92 Beirut: Muassasah al-Risalat). Dahulu kelemahan ini mungkin tidak dirasa, tetapi apabila kita hidup dalam dunia persaingan, kita mula menderitai kesannya.<br /><br />Jika akidah jenerasi kita jelas, apakah mereka boleh keliru antara ajaran Islam dan Kristian? Adakah mereka tidak tahu beza antara ajaran yang menyebut tuhan bapa, tuhan anak dan ruhul qudus dengan akidah Islam yang anti-syirik, hanya disebabkan adanya sebutan Allah? Begitu jauh sekali perbezaan itu! Bagaimana mungkin sehingga mereka tidak dapat membezakan antara malam dan siang? Apakah juga nanti kita tidak membenarkan pihak lain menyebut nama nabi Ibrahim, Ishak, Ya’kub, Daud dan lain-lain kerana budak-budak kita akan keliru lagi. Akidah apakah yang mereka belajar selama ini di KAFA, JQAF dan berbagai lagi sehingga begitu corot. Kalau begitu, sama ada sukatan itu lemah, atau tenaga pengajarnya perlu dibetulkan.<br /><br />Maka sebenarnya, isu ini adalah isu kelemahan kita umat Islam dalam memahami akidah yang sebenar. Jenerasi kita tidak mempunyai benteng akidah yang kukuh. Lalu kita semua bimbang mereka keliru dengan akidah orang lain. Untuk mengatasi masalah ini, kita cuba mengambil pendekatan undang-undang. Agar dengan halangan undang-undang, kelemahan akidah generasi kita dapat dipertahankan.<br /><br />Persoalan yang patut kita fikirkan, sehingga bilakah kita akan mampu terus hidup hanya berbekalkan oksigen dari saluran undang-undang sehingga kita yang majoriti, dengan segala peruntukan yang ada; TV, radio, berbagai-bagai institusi dan agensi yang dilindungi, masih takut kepada gerakan minoriti? Di manakah kehebatan Islam yang selalu kita sebut dan ceritakan sejarah kegemilangannya? Atau sebenarnya, kita tidak memiliki Islam seperti hari ia diturunkan? Maka kempen Islam kita selalu tidak berkesan.<br /><br />Bagi saya, bukan soal nama Allah itu yang terlalu perlu untuk direbut atau dijadikan agenda besar. Tetapi, gerakan membina semula akidah yang sejahtera dan memahamkan generasi kita wajah Islam yang sebenar agar mampu bersaing dan menghadapi cabaran zaman.<br /><br /><strong>http://drmaza.com/home/?p=566</strong>Nor Baizura bt Zulkiflihttp://www.blogger.com/profile/03309953886503563441noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3016061427110327614.post-941278902703042222010-03-10T16:47:00.000-08:002010-03-10T16:48:16.657-08:00Ulama: Dimuliakan Atau Disucikan?Disiarkan pada Mar 07, 2010 dalam kategori Akidah <br />Dr Mohd Asri bin Zainul Abidin<br />(moasriza@yahoo.com)<br /><br /> <br /><br />Ada bezanya antara menghormatikan dan mensucikan. Dalam bahasa Arab disebut tauqir (memuliakan), sementara mensucikan disebut taqdis. Memuliakan atau tauqir bererti kita memberikan penghormatan kepada seseorang atau sesuatu pihak. Ia berkaitan dengan nilai ketinggian yang ada pada pihak atau individu tersebut. Jika dia pemimpin, atas nilai kepimpinan yang ada padanya. Jika dia ulama, atau ilmuwan maka atas nilai ilmu yang ada padanya. Jika dia orang tua, atas nilai usia dan pengalaman hidup yang dilalui. Demikianlah seterusnya.<br /><br /> <br /><br />Adapun taqdis atau mensuci bererti menganggap seseorang atau sesuatu itu terpelihara dari sebarang dosa, atau kesalahan. Menganggap ia suci (sacred) bererti apa sahaja yang datang daripadanya adalah benar dan mulia, tidak boleh dipertikaikan lagi.<br /><br /> <br /><br />Islam menyuruh kita menghormati ulama atau disebut tauqir al-‘ulama tetapi tidak membenarkan kita mensucikan mereka atau taqdis al-‘ulama. Kita menghormati mereka kerana keilmuan mereka. Apabila mereka berbicara dan bertindak dalam kerangka ilmu, maka dihormati dan disayangi. Kita berinteraksi dengan mereka dengan cara yang hormat dan sopan.<br /><br />Namun, dalam masa yang sama kita tidak dibenarkan menganggap mereka suci dari kesilapan dan kesalahan. Mereka bukanlah para rasul yang setiap tindakan mereka yang berkaitan dengan agama dianggap hujah. Adapun para ulama mereka terdedah kepada salah dan silap, sama seperti manusia lain. Apabila ternyata mereka salah, atau silap kita tidak boleh mengikut kesalahan kesilapan itu. Dalam ertikata lain, kita menghormati, bukan mensucikan mereka.<br /><br /><br /><br />Perkara yang begitu asas sebegini kadang kala gagal difahami oleh sesetengah umat Islam. Apabila mereka menghormati seseorang tokoh agama, mereka seakan menganggap pendapatnya suci, atau bagaikan wahyu yang mesti diikut tanpa perlu mengetahui alasan dan hujahnya. Mengikut secara ‘membabi buta’. Mereka letakkan tokoh-tokoh agama itu bagaikan nabi dan rasul.<br /><br />Akhirnya, mereka mandulkan akal dan kewarasan mereka dengan mengikuti segala yang dititah atau pendapat yang dinyatakan oleh tokoh itu sekalipun ilmu dan akal yang Allah anugerahkan menyanggahinya. Ia amat berbahaya. Jika tokoh agama itu meminta wang daripada mereka, sekalipun tidak jelas alasannya mereka berikan. Jika tokoh agama itu memberikan pendapat dalam sesuatu perkara sekalipun ternyata salah dari segi angka dan fakta, mereka tetap telan dan terus menyanjung pendapat itu. Jika tokoh agama itu agung-agungkan dirinya dan menganggap dia luar biasa, sehingga ternyata kepada mereka yang bebas dari unsur ketaksuban bahawa itu adalah ‘takabur yang nyata’, namun pengikutnya tetap mencium tangan dan berkata ‘benar!’.<br /><br />Maka bukan sedikit dalam sepanjang sejarah, atas nama agama atau tokoh agama eksploitasi terhadap akal, maruah, harta, kuasa dan berbagai lagi yang berlaku. Sebab itu Islam menentang sebarang unsur pemujaan kepada manusia sehingga mengenepikan ajaran Allah S.W.T dan RasulNya s.a.w.<br /><br />Siapakah dalam kalangan ulama yang merasakan dirinya lebih baik daripada Saidina Abu Bakr al-Siddiq? Jika Abu Bakr berucap pada hari perlantikannya: “Wahai manusia, sesungguhnya aku telah dilantik menjadi pemimpin kamu, bukanlah aku yang terbaik dalam kalangan kamu. Jika aku betul, tolonglah aku. Jika aku salah, betulkanlah aku” (Ibn Athir, Al-Kamil fi al-Tarikh, 1/361), apakah layak untuk seseorang selain Abu Bakr berkata: “Aku mufti aku mesti betul”, atau “Aku tok guru aku tak akan salah”, atau “Aku ustaz, kau siapa?!”.<br /><br />Perkara ini perlu sentiasa ditegaskan, agar kita mengetahui dan selalu sedar bahawa gelaran ‘ulama’, ‘tok guru’, ‘ustaz’, ‘kiyai’, dan berbagai lagi, hanyalah pemberian dan panggilan yang diberikan oleh manusia. Ia hanyalah anggapan baik atas faktor-faktor luaran yang dilihat pada seseorang dan persepsi yang ada dalam gambaran pihak yang memanggil atau memberikan gelaran tersebut.<br /><br /><br /><br />Samalah juga dengan Professor, Dr dan seumpamanya, walaupun ia menerusi proses yang tertentu, namun itu bukan pertabalan yang ditetapkan Allah seperti pertabalan nabi dan rasul. Ertinya, gelaran-gelaran itu bukanlah jaminan untuk mereka tidak salah, atau melakukan dosa kecil mahupun besar. Ia bukan jaminan kemaksuman. Ia hanya sangkaan baik sesama manusia.<br /><br />Sebab itu, ada golongan yang dinamakan ‘ulama jahat’. Maka, hormati golongan agama dengan kadar-kadarnya, namun jika ada pandangan atau tindakan mereka melampaui batasan kebenaran dan ilmu, kita akan menyanggahi atau berbeza dengannya tanpa perlu mengukur kadar ‘gelaran’ atau berat serban, atau labuh jubah yang dipakai.<br /><br />Masyarakat Islam Malaysia hari ini antara masyarakat yang agak berharta. Maka, ramailah yang datang dari dalam negara dalam luar menonjolkan berbagaikan kelebihan agama yang sebahagian mereka mempunyai agenda ‘wang besar’ ke atas kita. Cerita-cerita keajaiban kiyai itu dan ini mula kedengaran. Kehebatan jampi dan air liur tok guru itu dan ini mula dipromosikan. Ramai yang menjadi kaya kerananya. Jika ini tidak dibendung, ia akan menjerumuskan masyarakat kita kepada minda khurafat, bukan minda kewarasan dan ilmu.<br /><br />Mereka ini kadang-kala cuba berperwatakan melebihi watak Nabi s.a.w dan para sahabat baginda. Sehingga seseorang memaklumkan kepada saya bahawa di tempatnya, ada penceramah (barangkali ada tauliah) berceramah tentang kelebihan guru tarekatnya yang boleh berhubung langsung dengan nabi dan para wali. Ceritanya itu mengingatkan saya kepada apa yang pernah disebut oleh Syeikhul Islam Ibn Taimiyyah (meninggal 728H) menjawab golongan sufi yang seperti itu di zamannya, kata beliau:<br /><br />“Dalam kalangan mereka (golongan sufi) ada yang melihat empunya kubur datang kepadanya, sedangkan telah lama mati. Lalu dia (jelmaan itu) berkata: “Akulah si fulan”. Mungkin juga dia berkata : “Kami ketika diletakkan di dalam kubur kami boleh keluar…”.<br /><br />Ulas Ibn Taimiyyah lagi : « Syaitan dalam banyak keadaan menyerupai rupa insan, samada dalam tidur atau jaga. Kadang-kala dia datang kepada sesiapa yang tidak tahu dan berkata : “Akulah syeikh si fulan, atau alim si fulan”. Kadang kala syaitan berkata : “Akulah Abu Bakr, Umar…” Kadang-kala pula dia datang ketika jaga (yaqazah) bukan mimpi lalu berkata : “Aku al-Masih (Isa)” , atau “aku Musa” atau “aku Muhammad” ».<br /><br />Kata Ibn Taimiyyah lagi : « Aku tahu perkara yang seperti ini berlaku dalam berbagai-bagai cara. Maka di sana ada yang mempercayai bahawa para nabi datang dalam jaga (yaqazah) dalam rupa mereka yang asal. Di sana juga ada para syeikh yang zuhud, berilmu, warak dan beragama mempercayai perkara seperti ini. Di kalangan mereka ada yang menyangka bahawa dia apabila datang ke kubur seseorang nabi, maka nabi tersebut akan keluar daripada kuburnya –dalam rupanya yang asal- dan bercakap dengannya. Di kalangan mereka ada yang melihat rupa seseorang syeikh di bahagian dalam Ka’bah, dia berkata: “Aku Ibrahim al-Khalil (Nabi Ibrahim)”. Di kalangan mereka ada yang menyangka bahawa Nabi S.A.W keluar daripada hujrah (bilik persemadian atau kubur) baginda lalu bercakap dengannya. Golongan sufi menganggap ini sebagai karamahnya. Di kalangan mereka ada yang menyangka bahawa dia jika bertanya orang di dalam kubur nescaya mereka akan menjawabnya”.<br /><br />Sehingga Ibn Taimiyyah menceritakan ada di kalangan mereka yang apabila ada masalah akan datang dan bertanya kepada Nabi S.A.W, lalu Ibn Taimiyyah menyebut: “Sehingga kata Ibn `Abd al-Barr (ilmuwan agung Andalus, minggal 463H) kepada mereka yang mempercayai sebegini: “Celaka engkau, apakah engkau berpendapat orang ini lebih afdhal daripada al-Sabiqin al-Awwalin (para sahabat Nabi s.a.w yang awal menganut Islam) dari kalangan Muhajirin dan Ansar?. Apakah ada di kalangan Muhajirin dan Ansar sesiapa yang bertanya Nabi S.A.W (selepas baginda wafat) dan baginda menjawabnya?!! Sahabah telah bercanggah pendapat (selepas kewafatan Nabi s.a.w) dalam banyak perkara, adakah mereka bertanya Nabi S.A.W. dan baginda menjawabnya?!!. Ini Fatimah anak baginda yang berselisih pendapat dalam pusaka baginda, adakah beliau bertanya Nabi S.A.W dan baginda menjawabnya”. (Ibn Taimiyyah, Majmu’ al-Fatawa, 5/399, Riyadh: Maktab al-`Abikan).<br /><br />Namun, malang sekali sepanjang sejarah, masih ada yang termakan dengan perkara-perkara yang seperti ini disebabkan mereka gagal membezakan antara menghormati tokoh agama dan mensucikannya. Cenderungan sesetengah penceramah agama melarang fikiran kritis dan akal yang aktif umat Islam, amat bercanggah dengan ajaran Islam.<br /><br />Mereka itu sering berkata: “terima sahaja apa yang ulama atau tok guru cakap, jangan banyak fikir, Islam bukan ikut akal”. Islam mana yang tidak berteraskan akal yang matang dan benar?! Tok guru mana pula yang maksum semua cakapnya?! Ini akibat pembolotan kuasa pengaruh atas nama agama dan kegagalan umat membezakan antara menghormati dan mensucikan.<br /><br /><strong>http://drmaza.com/home/?p=1035</strong>Nor Baizura bt Zulkiflihttp://www.blogger.com/profile/03309953886503563441noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3016061427110327614.post-22024087721216022002010-02-06T06:04:00.000-08:002010-02-06T06:09:57.935-08:00ESQ 165<strong>Founder of ESQ Model</strong><br /><br />~ Dr. Ary Ginanjar Agustian; the founder of the character building module, ESQ Way 165 ~<br /><br />“ESQ Leadership Training is amazing and very different compared to other trainings that I have attended…”<br /><br />That is a conclusion made by most of ESQ alumni. Indeed ESQ Leadership Training is unique compared to other trainings since it is not only a leadership and management training but it also combines psychology, Sufism and science.<br /><br />The founder of ESQ Leadership Training is Dr. Ary Ginanjar Agustian, a graduate from University of Udayana, Indonesia and Tofe College Adelaide, Australia. He has 15 years experience in education and business. Based on his continuous research, he did successfully write and publish some books such as “Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi” (The Secret of Developing Emotional Intelligence) and “Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ Power” (The Secret of Developing ESQ Power).<br /><br />Then in 2001, Dr. Ary Ginanjar Agustian set up a training company called ESQ Leadership Center to conduct a training based on his books. Its target is to develop holistic characters in training participants through a combination of intellectual, emotional and spiritual intelligence. He was chosen as “The Most Powerful People and Ideas in Business 2004″ by an Indonesian magazine, Swasembada. He was also chosen as “Tokoh Perubahan 2005″ by Republika newspaper. In addition, he was appointed as the manager of Dewan Pakar ICMI(Specialist Hall ICMI) for 2005-2010 term.<br /><br />On 18th December 2007, Dr. Ary Ginanjar Agustian was awarded “Doctor Honoris Causa” in character education by University of Yogjakarta due to his continous commitment for human character development not only in Indonesia and Malaysia but also in Singapore, United States of America, Netherland and many more.<br />Vision & Mission<br /><br />VISION<br /><br />■Become a world class leadership center<br />MISSION<br /><br />■Contributing in the development of individual and corporate through “The ESQ Way 165′.<br />■Establishing network in any field which benefits the society.<br />■Striving as a professional body that applies ESQ Way 165.<br /><br /><strong>ESQ Model</strong><br /><br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgRXPW25QyGbc2h7_bek_b6rqlBpN7csVBznl4BNpyT4GUMD2a7Uf-013QCmO3ukrqnpFHNDNuyRKfZVdoJmwYAwEJP15uJ6deqUH2l7c-jE7x3rAN9p1QDE_Rl3_pLxkHHuH8mlooFmRRr/s1600-h/esqmodel.gif"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 400px; height: 389px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgRXPW25QyGbc2h7_bek_b6rqlBpN7csVBznl4BNpyT4GUMD2a7Uf-013QCmO3ukrqnpFHNDNuyRKfZVdoJmwYAwEJP15uJ6deqUH2l7c-jE7x3rAN9p1QDE_Rl3_pLxkHHuH8mlooFmRRr/s400/esqmodel.gif" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5435131443378010098" /></a><br /><br />1 Value<br /><br />Developing self awareness by discovering core values that are already embedded in one’s heart. The SEVEN Core Values are: Trustworthiness, Responsibility, Visionary, Discipline, Teamwork, Fair, & Care. The modules are:<br /><br />■Outer Journey – Self realization through understanding one’s existence through cosmic awareness.<br />■Inner Journey – self realization through understanding one’s ultimate values.<br />■Zero Mind Process – eliminating the shackles that cover one’s core values.<br /><br />6 Principles<br /><br />How to internalize core values in order to hold on to them. The modules are:<br /><br />■Star Principle – spiritual commitments; a principle that will develop strong confidents, high integrity and wisdom in oneself.<br />■Angel Principle – creates a personality with high loyalty and sincere contributions.<br />■Leadership Principle – creating a leader that holds on to excellence, accountability, honesty and caring.<br />■Learning Principle – developing a mindset of continuous improvement.<br />■Vision Principle – developing a mindset of always having three visions in life; Long Term, Mid Term & Short Term.<br />■Well-Organized Principle – the notion of always being sincere in whatever position and result one’s has achieved.<br />5 Actions <br /><br />How to sustain and apply the principles and core values. The modules are:<br /><br />■Mission Statement – having a mission statement is to highlight the importance of having a strong mission so as to become one’s believe that can drive him towards the highest level of achievements.<br />■Character Building – it is an internalization process of values until it become a character in one’s life.<br />■Self-Controlling – identifying and eliminating the negativities that can prohibit a person to achieve a mission.<br />■Strategic Collaboration – synergy.<br />■Total Action – persistence and consistence to pursue one’s objectives.<br /><br /><strong>Testimonial</strong><br /><br />Saya merasakan bahawa dari sudut isi mahupun metodologi, ESQ Training sungguh menakjubkan.<br />Romli Hussein<br />VP, TELEKOM Malaysia<br /><br />ESQ is very good and effective training that makes us get in touch with our spiritual and emotional side. Participants will come back recharged with renewed enthusiasm to be a person that he or she can be whether as a father, mother, entrepreneur, son, daughter, worker or boss.<br />Ahmad Nazri Ahmad Noor<br />HR General Manager, Kumpulan Karangkraf<br /><br />ESQ Training in many areas have managed to enlighten and enhance my views and perception of myself and further strengthen my current inner beliefs and principles. Personally, ESQ in some ways has made me more optimistic and refresh my outlook towards life.<br />Wang Twee Pang<br />Branch Manager, PUSPAKOM<br /><br />ESQ Sukses adalah harapan semua di zaman moden ini. Ternyata untuk mencapai hidup sukses tidak cukup mengutamakan IQ saja, namun diperlukan kematangan serta ketrampilan emosional dan spiritual<br />Usman Chatib Warsa<br />REKTOR UI, INDONESIA<br /><br />Before I join the ESQ Training I did not realized I did awful things in my life especially to my families, friends and staff. I was egoist, naive and lot more of bad attitudes. ESQ shaked me and made me aware who am I, where am I coming from and where am I heading to. I feel remorse. ESQ had been the eye opener of my heart and will lead me to a better life on the way back to Allah the Almighty.<br />William de Weerd<br />Risk Manager, Rodamco Europe, Holland<br /><br />Ary Ginanjar brings the deep power of ESQ to a vision of renewed and compassionate Islam. He has the voice of a wise teacher. His words opened my heart to the beauty of a faith I had never before understood.<br />Danah Zohar<br />Pengarang ‘Spiritual Intelligence’ & ‘Spiritual Capital’, ENGLAND<br /><br />ESQ 165 balances the spiritual, emotional, and intellectual aptitude and attitude in me. It fits nicely in the total training philosophy of interfacing work, life, and learning.. I am truly impressed despite my 28 years experiencing in human capital development. Its’ a mind opener.<br />Roslan Razak<br />VICE PRESIDENT 1 , SIME DARBY BUSINESS SCHOOL<br /><br />I have had formal training on various kinds of learning. I had once seek religious knowledge and had continuously practiced the good deeds(amal) from the classes I attended. Then I was busy climbing the corporate ladder until I missed the pure feeling of happiness when you feel and aware that God is helping you in your every conduct-God even suppress your words so as not to be blurted out when you have the temptation to say something damaging. Three days in ESQ training gives me back the feelings. It is so serene. I realized my habitual conducts have changed abruptly. From my experience and knowledge in human resource development, ESQ Training is indeed a transformational learning; a learning experience that is capable to transform people which normally occur in real life situation such as being diagnosed with cancer or lost os someone dear<br />Nor Aliza Abd Latif<br />SENIOR MANAGER, HUMAN RESOURCE PLANNING TNB<br /><br />Organisasi seperti PUSPAKOM yang terpenting dalam membangun modal insan bukanlah skill atau knowledge, tetapi spiritual melalui internal strength, di situlah kekuatan.<br />Dato’ Hj Salamat Hj Wahit<br />CEO PUSPAKOM<br /><br /><strong>Contact</strong><br /><br />CONTACT<br /><br /><br />ESQ Leadership Center Sdn. Bhd.<br />E-602, Metropolitan SQ,<br />No. 2, Jalan PJU8/1, Damansara Perdana,<br />47820 Petaling Jaya, Selangor Darul Ehsan<br />Tel: +6 03 7728 1650 Fax: +6 03 7724 1650<br />Email : suzana@esq.com.my<br /><br />For corporate and in-house inquiries, please contact:<br /><br />Email : zalinda@esq.com.my or anis@esq.com.my<br /><br />List of Authorised Representatives of ESQ Leadership Training :<br /><br />Penang<br /><br />ESQ Leadership Wilayah Utara<br />Tingkat 2 Unit No. 4<br />Wisma Pantai<br />Jalan Wisma Pantai<br />12200 Butterworth,<br />Pulau Pinang<br />Tel: +6 012 4 939393 (Encik Mohamad Faridz Karim)<br />Email: faridz@esq.com.my<br /><br />Johor<br /><br />ZMP Management & Training Center<br />No 17A, Jalan Uda Utama 3/14,<br />Bandar Uda Utama,<br />81200 Johor Bahru, Johor<br />Tel: +6 07 235 1650 (Office)<br />+6 019 771 8300(Roziah)<br />+6 019 732 0978 (Rohaya)<br />Fax: +6 07 239 1650<br />Email: zmp165@ymail.com<br /><br />Kelantan & Terengganu<br /><br />Al Ansar Consultancy Sdn Bhd<br />PT 3310, Tingkat 1,<br />Taman Sri Kota SBJ,<br />16350 Pasir Pekan, Kelantan<br />Hp: 019-9346911 (Mohd Bakhtiar)<br />Hp: 017-9878869 (Mohd Basri)<br />Tel: 09-7185165 (Office)<br />Faks: 09-7185161<br />Email : esq165@alansar.com.my<br /><br />Brunei<br /><br />A&A Management and Training Services<br />Unit No. C29.1, Block C,<br />Kompleks Delima Jaya,<br />Spg. 62, Kg. Delima Satu,<br />Jalan Muara BB4713,<br />Negeri Brunei Darussalam<br /><br />Singapore<br /><br />Muhd Razeen Lopez<br />30 Lor 27 Geylang<br />#03-01,Citiraya Ctr<br />Singapore 388164<br />Tel : +6593535340<br />email: tzuchi165@hotmail.com<br /><br />For Adult Training<br />ZMP Leadership Center P/L<br />2, Kaki Bukit Ave 1<br />#06-05<br />Singapore 417938<br />Tel No. +65 8311 7517<br />Fax No.: +65 6392 7476<br />Email: zmplc@yahoo.com.sg<br /><br />Sarawak<br /><br />Konsortium IGMS Harmoni Sdn Bhd<br />Lot 10527, Block 11, MTLD<br />3rd Floor, Stutong Indah<br />Commercial Centre<br />Jalan Setia Raja, 93350 Kuching<br />Sarawak<br />No Tel: 082-367037<br />No Fax: 082-366137<br />HP: 012-8877990Nor Baizura bt Zulkiflihttp://www.blogger.com/profile/03309953886503563441noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3016061427110327614.post-87160107082083267322010-02-06T05:58:00.000-08:002010-02-06T05:59:32.865-08:00Jangan Sekadar Syurga Dunia“Saya perlu bernikah, ustaz. Sangat perlu” ujar seorang anak muda.<br /><br />“Mungkin tidak patut ustaz menyoal, tetapi KENAPA?” soalan saya ajukan kepadanya.<br /><br />Bukan kenapa nikah, tetapi mengapa begitu terdesak.<br /><br />“Tidak tenteram. Ada gelodak jiwa” katanya.<br /><br />“Justeru selepas nikah nanti, kalau sudah tenteram dan jiwa kembali tenang, apa seterusnya?” saya menyambung pertanyaan.<br /><br />“Tenteram itu bukankah sentiasa perlu? Jadi perlukah ada ’seterusnya’, ustaz? Saya keliru,” katanya jujur.<br /><br /><br />“Izinkan ustaz berterus terang. Jika tenang dan tenteram yang anta maksudkan itu adalah pada nikmat beristeri dan menikmati isteri, hati-hati dengan tabiat nikmat dunia,” saya tidak mahu berbunga kata.<br /><br />“Tabiat yang bagaimana?” beliau agak kabur dengan perbualan kami.<br /><br />“Kalau ustaz pakar sambal sotong, ustaz hidangkan kepada anta buat kali pertama, Alhamdulillah. Tengah hari nanti sambal sotong juga, Alhamdulillah. Makan malam nanti sambal sotong lagi, Alhamdulillah. Bagaimana jika sarapan pagi esoknya juga sambal sotong dan tengah hari itu juga berlaukkan sambal sotong. Kamu mampu menjamahnya lagi?” saya beranalogi.<br /><br />“Aduh, boleh muntah dibuatnya. Jangan, ustaz!” katanya sambil ketawa.<br /><br />“Benar. Segala nikmat di dunia, biar sesedap mana pun ia, sedapnya semasa lapar, semasa bujang, semasa belum merasa. Tetapi kalau sudah dirasa, diulang rasa, berterusan merasa, bisa sahaja yang sedap menjadi hambar” saya menyambung kalam.<br /><br />“Jadi, apa yang cuba ustaz beritahu saya?” soal beliau.<br /><br />“Pernikahan, jangan sekadar satu penyelesaian. Ia harus lebih besar dari itu” saya memberikan kesimpulan.<br /><br />NIKAH UNTUK SELESAI<br /><br />Tidak salah untuk percaya bahawa pernikahan boleh menyelesaikan banyak masalah. Itulah hikmahnya pada Sunnah bernikah.<br /><br />Tetapi kekhuatiran yang timbul, ialah apabila sebuah ikatan perkahwinan mahu dilangsungkan hanya untuk menyelesaikan masalah tertentu, dan selepas masalah itu selesai, perkahwinan itu hilang tujuan! Menjadikan perkahwinan sebagai penyelesaian, hanyalah sebuah hasrat berupa perancangan jangka pendek. Sedangkan untuk sebuah rumahtangga terus membuka laluan sampai ke Syurga, ia perlu kepada perancangan jangka panjang.<br /><br />Sepanjang kehidupan.<br /><br />Kebelakangan ini saya dihimpit rasa bimbang.<br /><br />Tatkala hari demi hari didatangi pasangan yang berkahwin muda mengadu masalah, saya memaksa diri untuk berfikir dan mencari sudut-sudut tersembunyi (blind spot) di dalam tasawwur seorang anak muda semasa mahu bernikah.<br /><br />“Saya bosan tengok isteri saya ustaz. Salahkah saya berperasaan begitu?” tanya seorang anak muda.<br /><br />Jantung saya berdebar.<br /><br />Merenung matanya, saya dapat merasakan ada semacam satu kehampaan di dalam dirinya kerana terbeban oleh perasaan yang gagal disembunyikannya. Syukur, sekurang-kurangnya dia mahu bertanya. Di samping berusaha menemukan jawapan, saya juga dapat belajar sesuatu untuk diri dan dikongsi dengan yang lain.<br /><br />Bagaimana boleh bosan?<br /><br />Saya harus mencari jawapan pada titik mula dan titik tengah soalan itu.<br /><br />Justeru untuk mencari penjelasan pada titik mula, saya persoalkan tujuan perkahwinannya semasa di tahun 2 pengajian lebih setahun yang lalu.<br /><br />“Kami selalu berjumpa. Saya bimbang hati terus terfitnah memikirkan tentangnya. Alhamdulillah saya tidak bertepuk sebelah tangan. Biar pun ayah dan ibu kami agak berat untuk menyatakan persetujuan, tetapi syukur akhirnya mereka merestui,” cerita beliau.<br /><br />“Alhamdulillah.Jadi, sekarang ini, adakah anta sudah mendapat apa yang dicari?” saya bertanya.<br /><br />“Ya, cuma…” beliau teragak-agak menyebut.<br /><br />“”Cumanya sekarang anta sedang dilanda jemu, kan?” saya sambungkan ayatnya yang tidak langsai itu.<br /><br />Tatkala kita mengejar sebuah ikatan perkahwinan sebagai jalan keluar kepada apa-apa sahaja masalah yang sedang dihadapi, syukur jika masalah itu selesai, dan syukur juga jika masalah itu belum selesai. Sekurang-kurangnya dia masih punya sesuatu untuk diusahakan dalam sebuah perkahwinan. Namun bagi yang masalah sudah selesai di tahun satu pernikahannya, apa lagi cita-cita dan azam yang ada dalam visi dan misinya bagi melangsungkan usia perkahwinan?<br /><br />Daripada gelisah menjadi tenang dengan nikah.<br /><br />Timbul jemu, mahu mencari tenang dengan membatalkan nikah?<br /><br />Naudhubillah…<br /><br />Tidak sedikit air mata sang isteri tumpah semasa suami mereka berterus terang berkata, “mengahwinimu adalah suatu kesilapan!”<br /><br />Sepatutnya masalah seperti ini tidak timbul.<br /><br />Tetapi realiti sering meninggalkan banyak ’sepatutnya’ terkontang-kanting menjauhi kesempurnaan.<br /><br />Perkahwinan menyelesaikan.<br /><br />Tetapi ia bukan sekadar sebuah penyelesaian.<br /><br />Ia adalah sebuah gagasan.<br /><br />Impian yang memerlukan pandanganmu jauh sampai ke usia tua, sampai cangkul dan tanah memisahkan jiwa, sampai ke kubur, sampai kamu ke Syurga.<br /><br />Jadikanlah perkahwinan itu kenderaan yang membawa dirimu untuk ke Syurga Akhirat.<br /><br />Jangan sekadar syurga dunia.<br /><br /><br /><br />“Saling berpesan-pesanlah kamu tentang para isteri agar berlaku baik kepada mereka. Sesungguhnya kamu mengambil (menikahi) mereka dengan amanah daripada Allah dan dihalalkan untukmu kemaluan mereka adalah dengan Kalimah Allah” [Hadith riwayat al-Bukhari daripada Abu Hurairah]<br /><br />ABU SAIF @ www.saifulislam.com<br />68000 AMPANGNor Baizura bt Zulkiflihttp://www.blogger.com/profile/03309953886503563441noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3016061427110327614.post-34006192543679482292010-02-06T05:48:00.000-08:002010-02-06T05:55:20.580-08:00Wasiat Ibnu 'Umar: Membaca al-Qur'an Di Kubur???Wasiat Ibnu 'Umar: Membaca al-Qur'an Di Kubur???<br /><br />http://fiqh-sunnah.blogspot.com <br /><br />Disebutkan oleh Ibnu Qudamah rahimahullah di dalam al-Mughni:<br /><br /><br />فَرَوَى جَمَاعَةٌ أَنَّ أَحْمَدَ نَهَى ضَرِيرًا أَنْ يَقْرَأَ عِنْدَ الْقَبْرِ ، وَقَالَ لَهُ : إنَّ الْقِرَاءَةَ عِنْدَ الْقَبْرِ بِدْعَةٌ . فَقَالَ لَهُ مُحَمَّدُ بْنُ قُدَامَةَ الْجَوْهَرِيُّ : يَا أَبَا عَبْدِ اللَّهِ : مَا تَقُولُ فِي مُبَشِّرٍ الْحَلَبِيِّ ؟ قَالَ : ثِقَةٌ . قَالَ : فَأَخْبَرَنِي مُبَشِّرٌ ، عَنْ أَبِيهِ ، أَنَّهُ أَوْصَى إذَا دُفِنَ يُقْرَأُ عِنْدَهُ بِفَاتِحَةِ الْبَقَرَةِ وَخَاتِمَتِهَا ، وَقَالَ : سَمِعْت ابْنَ عُمَرَ يُوصِي بِذَلِكَ . قَالَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ : فَارْجِعْ فَقُلْ لِلرَّجُلِ يَقْرَأُ<br /><br /><br />Terjemahan: Diriwayatkan dari ramai orang bahawasanya Ahmad (Imam Ahmad) melarang orang buta membaca al-Qur'an di perkuburan, dan beliau berkata:<br /><br />Sesungguhnya membaca al-Qur'an di perkuburan adalah bid'ah.<br /><br />Lalu Muhammad B. Qudamah al-Jauhari berkata: Wahai Abu 'Abdillah (Imam Ahmad), bagaimana pendapatmu tentang Mubasysyir al-Halabi?<br /><br />Beliau menjawab: Tsiqah (Terpercaya). Ia berkata lagi: Mubasysyir mengkhabarkan kepadaku dari ayahnya, bahawa beliau berwasiat supaya setelah jenzahnya dikebumikan (dikuburkan), supaya dibacakan al-Fatihah dan ayat-ayat terakhir dari surah al-Baqarah di kuburnya di kuburnya, dan beliau berkata:<br /><br />Aku mendengar Ibnu 'Umar mewasiatkan perkara sedemikian.<br /><br />Ahmad B. Hanbal lalu berkata: Kembalilah, dan katakan kepada orang itu supaya membacanya. (Rujuk: Ibnu Qudamah, al-Mughni, 5/78)<br /><br />Disebutkan oleh Ibnul Qayyim di dalam ar-Ruuh (sebuah kitab yang masih menjadi perbahasan sama ada ianya benar tulisan Ibnul Qayyim atau pun bukan):<br /><br /><br />قال الخلال وأخبرني الحسن بن أحمد الوراق حدثنى على بن موسى الحداد وكان صدوقا قال كنت مع أحمد بن حنبل ومحمد بن قدامة الجوهرى في جنازة فلما دفن الميت جلس رجل ضرير يقرأ عند القبر فقال له أحمد يا هذا إن القراءة عند القبر بدعة فلما خرجنا من المقابر قال محمد بن قدامة لأحمد بن حنبل يا أبا عبد الله ما تقول في مبشر الحلبي قال ثقة قال كتبت عنه شيئا قال نعم فأخبرني مبشر عن عبد الرحمن بن العلاء اللجلاج عن أبيه أنه أوصى إذا دفن أن يقرأ عند رأسه بفاتحة البقرة وخاتمتها وقال سمعت ابن عمر يوصي بذلك فقال له أحمد فارجع وقل للرجل يقرأ<br /><br /><br />Terjemahan: al-Khalal berkata: al-Hasan B. Ahmad al-Warraq memberitahuku bahawa 'Ali B. Musa al-Haddad (seorang yang Shaduq) memberitahu kami, beliau berkata:<br /><br />Aku pernah bersama Ahmad B. Hanbal dan Muhammad B. Qudamah al-Jauhari ketika menghadiri seorang jenazah. Setelah jenazah itu selesai dimakamkan, ada seorang buta yang duduk dan membaca al-Qur'an di kuburan tersebut. Maka Ahmab pun berkata kepadanya:<br /><br />Wahai saudara, sesungguhnya membaca al-Qur'an di perkuburan adalah bid'ah.<br /><br />Setelah kami keluar dari perkuburan, Muhammad B. Qudamah berkata kepada Ahmad B. Hanbal:<br /><br />Wahai Abu 'Abdillah, bagaimana pendapatmu tentang Mubasysyir al-Halabi? Ahmad menjawab: Tsiqah (Terpercaya). Beliau bertanya lagi: Adakah engkau menulis berita darinya? Ahmad menjawab: Ya. Maka Muhammad B. Qudamah al-Jauhari pun berkata:<br /><br />Mubasysyir telah mengkhabarkan kepadaku dari 'Abdurrahman B. Al-Ala' B. Lajlaj dari ayahnya bahawa dia pernah berwasiat supaya setelah jenazahnya dikebumikan (dikuburkan), supaya dibacakan al-Fatihah dan ayat-ayat akhir surah al-Baqarah di kepalanya, dan beliau berkata:<br /><br />Aku mendengar Ibnu 'Umar mewasiatkan perkara sedemikian.<br /><br />Ahmad B. Hanbal lalu berkata: Kembalilah, dan katakan kepada orang itu supaya membacanya. (Ibnul Qayyim, ar-Ruuh, 1/10)<br /><br />Penjelasan:<br /><br />Syaikh al-Albani rahimahullah:<br /><br /><br /><br />الاول: إن في ثبوت هذه القصة عن أحمد نظر، لان شيخ الحلال الحسن بن أحمد الوراق لم أجد ترجمة فيما عندي الان من كتب الرجال، وكذلك شيخه علي بن موسى الحداد لم أعرفه، وإن قيل في هذا السند أنه كان صدوقا، فإن الظاهر أن القائل هو الوارق هذا، وقد عرفت حاله<br /><br /><br />1 – Berkenaan penisbahan dan kebenaran kisah ini berasal daripada Imam Ahmad masih perlu dikaji semula kerana Syaikh al-Khallal al-Hasan B. Ahmad al-Warraq tidak pernah aku temui biografinya dalam manuskrip yang aku miliki sekarang ini dari kitab-kitab berkenaan perawi hadis. Demikian juga dengan Syaikhnya, 'Ali B. Musa al-Haddad, juga tidak aku kenali. Jika di dalam sanad ini beliau disebut sebagai seorang yang Shaduq, maka secara lahiriyah yang dapat dilihat adalah bahawa yang mengatakan adalah al-Warraq. Kita sendiri telah mengetahui keadaannya.<br /><br /><br />الثاني، إنه إن ثبت ذلك عنه فإنه أخص مما رواه أبو داود عنه، وينتج من الجمع بين الروايتين عنه أن مذهبه كراهة القراءة عند القبر إلا عند الدفن<br /><br /><br />2 – Sekiranya perkara tersebut ditegaskan oleh Imam Ahmad, maka perkara tersebut merupakan riwayat yang paling khusus dari apa-apa yang telah diriwayatkan oleh Abu Daud darinya. Dari penggabungan di antara dua riwayat darinya menghasilkan bahawa mazhabnya (pendapatnya) memakruhkan (membenci) perbuatan membaca al-Qur'an di perkuburan melainkan pada ketika pemakaman (pengkebumian).<br /><br /><br />الثالث: أن السند بهذا الاثر لا يصح عن ابن عمر، ولو فرض ثبوته عن أحمد، وذلك لان عبد الرحمن ابن العلاء بن اللجلاج معدود في المجهولين، كما يشعر بذلك قول الذهبي في ترجمته من (الميزان): (ما روي عنه سوى مبشر هذا)، ومن طريقة رواه ابن عساكر (13 / 399 / 2) وأما توثيق ابن حيان إياه فمما لا يعتد به لما اشهر به من التساهل في التوثيق، ولذلك لم يعرج عليه الحافظ في (التقريب) حين قال في المترجم: (مقبول) يعني عند المتابعة وإلا فلين الحديث كما نص عليه في المقدمة، ومما يؤيد ما ذكرنا أن الترمذي مع تساهله في التحسين لما أخرج له حديثا آخر (2 / 128) وليس له عنده سكت عليه ولم يحسنه<br /><br /><br />3 – Penyandaran atsar ini pada Ibnu 'Umar adalah tidak sahih walaupun sekiranya datangnya dari Imam Ahmad telah pasti. Kerana, 'Abdurrahman B. al-Ala' B. Lajlaj termasuk di dalam golongan orang-orang yang tidak dikenali, sebagaimana yang dapat dilihat dari pernyataan adz-Dzahabi di dalam kitab biografinya, al-Mizaan:<br /><br />Tidak ada yang meriwayatkan darinya ('Abdurrahman B. Al-Ala'), kecuali Mubasysyir al-Halabi. Dari jalannya diriwayatkan oleh Ibnu 'Asakir.<br /><br />Ada pun penilaian tsiqah yang diberikan oleh Ibnu Hibban kepadanya, ini merupakan suatu yang tidak boleh dijadikan sebagai pegangan, ini disebabkan Ibnu Hibban yang diketahui sikapnya yang suka secara mudah dalam meletakkan penilaian tsiqah. Oleh kerana itu, al-Hafiz Ibnu Hajar di dalam Kitab at-Taqrib tidak memihak kepadanya (Ibnu Hibban) di ketika beliau (Ibnu Hajar) menjelaskan tentang biografi 'Abdurrahman al-Ala'. Beliau menyatakan: Maqbul, iaitu sekiranya disertakan perawi lain dan jika tidak, maka ia berhadis layyin, sebagaimana yang telah disampaikan di dalam muqaddimah.<br /><br />Yang memperkuatkan apa yang kami sampaikan di atas adalah bahawa at-Tirmidzi dengan sikapnya yang terkenal meletakkan penilaian hasan, pada ketika beliau meriwayatkan satu hadis lain milik 'Abdurrahman al-Ala', yang beliau hanya memiliki satu hadis (darinya), beliau bersikap diam dan tidak menilainya sebagai hasan.<br /><br /><br />الرابع: أنه لو ثبت سنده كل عن ابن عمر، فهو موقوف لم يرفعه إلى النبي صلى الله عليه وسلم فلا حجة فيه أصلا<br /><br /><br />4 – Sekiranya sanadnya dinisbahkan dari Ibnu 'Umar, maka disini dapat kita fahami bahawa riwayat ini adalah mauquf (terhenti) dan tidak dimarfu'kan (tidak dapat disandarkan) kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam sehingga tidak dapat dijadikan sebagai hujjah.<br /><br /><br />ومثل هذا الاثر ما ذكره ابن القيم أيضا (ص 14): (وذكر الحلال عن الشعبي قال: كانت الانصار إذا مات لهم الميت اختلفوا إلى قبره يقرؤون القرآن). فنحن في شك من ثبوت ذلك عن الشعبي بهذا اللفظ خاصة، فقد رأيت السيوطي قد أورده في (شرح الصدور) (ص 15) بلفظ: (كانت الانصار يقرؤون عند الميت سورة البقرة). قال: (رواه ابن أبي شيبة والمروزي) أورده في (باب ما يقول الانسان في مرض الموت، وما يقرأ عنده). ثم رأيته في (المصنف) لابن أبى شيبة (4 / 74) وترجم له بقوله: (باب ما يقال عند المريض إذا حضر) ". فتبين أن في سنده مجالدا وهو ابن سعيد قال الحافظ في (التقريب): (ليس بالقوي، وقد تغيير في آخر عمره). فظهر بهذا أن الاثر ليس في القراءة عند القبر بل عند الاحتضار، ثم هو على ذلك ضعيف الاسناد<br /><br /><br />Atsar yang seumpama di atas adalah apa yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim di halaman seterusnya:<br /><br />Al-Khallal menyebutkan dari asy-Sya'bi, dia bercerita: Orang-orang Anshar, jika berlaku kematian di antara mereka, maka mereka pulang pergi ke perkuburan untuk membaca al-Qur'an.<br /><br />Mengenai atsar ini, kami masih benar-benar ragu mengenai kebenarannya dari asy-Sya'bi, khususnya dengan lafaz seperti ini, kerana aku pernah menyaksikan juga as-Suyuti telah menyebutkannya di dalam Kitab Syarhush Shuduur dengan lafaz:<br /><br />Kaum Anshar biasa membacakan surah al-Baqarah berdekatan jenazah. Beliau berkata:<br /><br />Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan al-Mawardzi. Atsar ini beliau sebutkan di dalam Bab: Maa Yaquulu al-Insaan fii Maradhi al-Maut wa Maa Yuqra'u Indahu (Apa yang diperkatakan oleh Manusia di ketika menghadapi Maut dan apa yang dibacakan ke atasnya).<br /><br />Kemudian, aku juga mendapatinya di dalam Kitab al-Mushannaf karya Ibnu Abi Syaibah. Di dalamnya tertulis biografinya melalui ucapannya Bab: Ma Yaquulu 'Inda al-Mariidh Idza Hadhara.<br /><br />Dengan demikian, dapat dilihat dengan jelas bahawa di dalam sanadnya terdapat (perawi bernama) Mujalid, iaitu Ibnu Sa'id, di mana al-Hafiz (Ibnu Hajar al-'Asqalani) di dalam kitab at-Taqrib berkata:<br /><br />Dia bukan seorang yang kuat (hafalan/ingatan), yang di akhir hayatnya dia mengalami nyanyuk.<br /><br />Dengan demikian, jelaslah bahawa atsar ini bukanlah berkenaan bacaan al-Qur'an di perkuburan, tetapi di ketika sakaratul maut. Lebih-lebih lagi, atsar ini bersanad dhaif (lemah). (Rujuk: Syaikh al-Albani, Ahkamul Jana'iz, m/s. 192-193)<br /><br />Imam al-Subki rahimahullah pula menjelaskan:<br /><br /><br />وَاَمَّا مَا يَرْوِيْ عَنِ بْنِ عُمَرَ اَنَّهُ اُوْصِيَ بِقِرَاءَ ةِ الْفَاتِحَةِ وَخَوَاتِمَ الْبَقَرَةِ عَلَى قَبْرِهِ فَهُوَ اَثَرٌ شَاذٌ لَمْ يَصِحْ سَنَدُهُ وَلَمْ يُوَافِقهُ عَلَيْهِ اَحَدٌ مِنَ الصَّحَابَةِ.<br /><br /><br />Terjemahan: Dan apa yang telah diriwayatkan dari Ibn 'Umar bahawasanya beliau mewasiatkan agar dibacakan al-Fatihah dan ayat-ayat terakhir dari surah al-Baqarah di atas kuburnya, maka itu adalah atsar yang Syadz (ganjil) dan tidak sahih pula sanadnya. Dan tidak pernah dipersetujui (diterima) walaupun oleh seorang sahabat. (Rujuk: Tajuddin al-Subki, Takmilah Syarah al-Muhazzab, 10/429)<br /><br />Seorang ulama Mesir, Syaikh Muhammad B. Ahmad Abdus Salam melalui tulisannya, beliau menyatakan:<br /><br />Dilarang membaca ayat-ayat al-Qur'an kepada ahli kubur. Sebuah khabar (atsar) yang diriwayatkan dari Ibnu 'Umar radhiyallahu 'anhu yang menceritakan bahawa beliau (Ibnu 'Umar) pernah berwasiat, sekiranya beliau telah meninggal dunia, supaya dibacakan Surah al-Fatihah dan beberapa ayat terakhir dari Surah al-Baqarah di atas kuburnya. (Bahawasanya) Atsar tersebut darjatnya adalah Syazd (ganjil), sanadnya tidak sahih. Dan tidak seorang pun di antara para sahabat yang mengakuinya.<br /><br />Begitu juga dengan riwayat-riwayat tentang membaca Surah al-Fatihah, surah al-Ikhlas, al-Falaq, an-Naas, at-Takatsur, al-Kafiruun, dan menghadiahkannya kepada ahli kubur adalah palsu. Ini adalah kerana ianya bertentangan dengan perkataan-perkataan Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam dan perbuatan para sahabatnya. (Rujuk: Muhammad B. Ahmad Abdus Salam, Hukumul Qiraati lil Amwati Hal Yashilu Tsawabuha Ilaihim (Edisi Terjemahan: Hukum Membaca al-Qur'an Untuk Orang Mati Sampaikah Pahalanya Kepada Mereka?) Tahqiq Syaikh Mahmud Mahdi al-Istabuli, m/s. 43, Media Da'wah)<br /><br />1 – Secara Ringkas Berkenaan Hukum Membaca al-Qur'an Di Kubur:<br /><br />Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani menjelaskan:<br /><br /><br />وأما قراءة القرآن عند زيارتها، فمما لا أصل له في السنة، بل الاحاديث المذكورة في المسألة السابقة تشعر بعدم مشروعيتها، إذ لو كانت مشروعة، لفعلها رسول الله (ص) وعلمها أصحابه، لا سيما وقد سألته عائشة رضي الله عنها - وهي من أحب الناس إليه (ص) - عما تقول إذا زارت القبور؟ فعلمها السلام والدعاء.<br />ولم يعلمها أن تقرأ الفاتحة أو غيرها من القرآن، فلو أن القراءة كانت مشروعة لما كتم ذلك عنها، كيف وتأخير البيان عن وقت الحاجة لا يجوز كما تقرر في علم الاصول، فكيف بالكتمان، ولو أنه (ص) علمهم شيئا من ذلك لنقل إلينا، فإذ لم ينقل بالسند الثابت دل على أنه لم يقع.<br /><br /><br />Terjemahan: Berkenaan perbuatan membaca al-Qur'an ketika menziarahi perkuburan, sama sekali tidak memiliki asas hukum daripada as-Sunnah, malah hadis-hadis yang disebutkan pada perbahasan terdahulu menunjukkan tidak adanya pensyari'atan perkara tersebut. Oleh sebab itu, jika bacaan al-Qur'an di perkuburan itu sememangnya disyari'atkan, sudah tentu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam mendatangi kuburan untuk mengamalkannya dan mengajarkan kepada para sahabatnya. Lebih-lebih lagi, beliau pernah ditanya oleh 'Aisyah radhiyallahu 'anha mengenai apa yang perlu diucapkan di ketika menziarahi kubur. Kemudian beliau (Shallallahu 'alaihi wa Sallam) mengajarkan kepadanya ('Aisyah) salam dan doa, dan tidak pula mengajarkan supaya membaca al-Fatihah atau surah-surah lain dari al-Qur'an. Sekiranya bacaan al-Qur'an di kubur itu disyari'atkan, sudah tentu beliau tidak akan pernah menyembunyikan perkara tersebut dari 'Aisyah. Tidak mungkin perkara tersebut berlaku, di mana Rasulullah tidak mungkin menyembunyikan ilmu. Dan perbuatan menangguhkan sesebuah penjelasan dari waktu yang diperlukan adalah suatu yang tidak diperbolehkan berdasarkan kaedah ilmu Ushul Fiqh. Sekiranya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam mengajarkan perkara tersebut (membaca al-Qur'an di kubur), nescaya ianya akan sampai kepada kita riwayatnya. Jika tidak ada sebarang nukilan kepada kita dengan sanad yang benar dan pasti, bererti di sini menunjukkan bahawa perkara tersebut tidak pernah terjadi. (Rujuk: al-Albani, Ahkamul Jana'iz, m/s. 191)<br /><br />2 – Dalil-dalilnya:<br /><br /><br />عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ<br />أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ مَقَابِرَ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنْ الْبَيْتِ الَّذِي تُقْرَأُ فِيهِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ<br /><br /><br />Terjemahan: Dari Abu Hurairah (radhiyallahu 'anhu): Janganlah kamu menjadikan rumah kamu sebagai perkuburan kerana sesungguhnya Syaitan akan lari dari rumah yang di dalamnya dibacakan surah al-Baqarah. (Hadis Riwayat Muslim, Shohih Muslim, 4/182, no. 1300)<br /><br /><br />عَنْ ابْنِ عُمَرَ<br />عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ صَلُّوا فِي بُيُوتِكُمْ وَلَا تَتَّخِذُوهَا قُبُورًا<br /><br /><br />Terjemahan: Dari Ibnu 'Umar (radhiyallahu 'anhu): Solatlah kamu dirumah kamu dan janganlah kamu menjadikannya sebagai perkuburan. (Hadis Riwayat Muslim, Shohih Muslim, 4/179, no. 1297)<br /><br /><br />عَنْ ابْنِ عُمَرَ<br />عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اجْعَلُوا فِي بُيُوتِكُمْ مِنْ صَلَاتِكُمْ وَلَا تَتَّخِذُوهَا قُبُورًا<br /><br /><br />Terjemahan: Dari Ibnu 'Umar (radhiyallahu 'anhu): Laksanakanlah solat-solat kamu di rumah-rumah kamu dan janganlah kamu menjadikannya seperti perkuburan. (Hadis Riwayat al-Bukhari, 2/210, no. 414)<br /><br />Imam al-Bukhari meletakkan di dalam:<br /><br />بَاب كَرَاهِيَةِ الصَّلَاةِ فِي الْمَقَابِرِ<br /><br /><br />Bab: Dibencinya solat di perkuburan.<br /><br /><br />عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: كُلُّ الْأَرْضِ مَسْجِدٌ وَطَهُورٌ إِلَّا الْمَقْبَرَةَ وَالْحَمَّامَ<br /><br /><br />Terjemahan: Dari Abi Sa'id (al-Khudri): Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda: Bumi ini seluruhnya adalah masjid, melainkan perkuburan dan tempat mandi (bilik air/tandas). (Hadis Riwayat Ahmad, Musnad Ahmad. Tahqiq Syaikh Shu'aib al-Arnauth, no. 11784: Hadis ini Sahih)<br /><br /><br />عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا: عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فِي مَرَضِهِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ لَعَنَ اللَّهُ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسْجِدًا قَالَتْ وَلَوْلَا ذَلِكَ لَأَبْرَزُوا قَبْرَهُ غَيْرَ أَنِّي أَخْشَى أَنْ يُتَّخَذَ مَسْجِدًا<br /><br /><br />Terjemahan: Dari 'Aisyah radhiyallahu 'anha beliau berkata: Berkata Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam ketika beliau dalam keadaan sakit sambil berbaring: Semoga laknat Allah ke atas orang-orang Yahudi dan Nashrani yang menjadikan perkuburan para Nabi mereka sebagai tempat beribadah. (Hadis Riwayat al-Bukhari, 5/99, no. 1244. Juga: 5/190, no. 1310)<br /><br /><br />عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ<br />قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَأَنْ يَجْلِسَ أَحَدُكُمْ عَلَى جَمْرَةٍ فَتُحْرِقَ ثِيَابَهُ فَتَخْلُصَ إِلَى جِلْدِهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَجْلِسَ عَلَى قَبْرٍ<br /><br /><br />Terjemahan: Dari Abi Hurairah radhiyallahu 'anhu, beliau berkata: Bahawa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda: Sesungguhnya jika salah seorang di antara kamu duduk di atas bara api sehingga terbakar pakaiannya lalu membusi kulitnya, sebenarnya itu adalah lebih baik baginya daripada dia duduk di atas kubur. (Hadis Riwayat Muslim, 5/93, no. 1612)<br /><br /><br />بَاب النَّهْيِ عَنْ الْجُلُوسِ عَلَى الْقَبْرِ وَالصَّلَاةِ عَلَيْهِ<br /><br /><br />Bab: Larangan duduk-duduk di atas kubur dan bersolat di atasnya.<br /><br />Demikian sebahagian dari dalil-dalil yang menunjukkan bahawa perkuburan bukanlah sebagai tempat untuk beribadah, tempat bersantai, dan bukan juga sebagai tempat yang tepat untuk membaca al-Qur'an. Tetapi sebaliknya, apa yang ditunjukkan dari dalil-dalil tersebut adalah supaya kita melaksanakan aktiviti ibadah seperti solat dan membaca al-Qur'an di masjid-masjid dan di rumah.<br /><br />3 – Pegangan Para Ulama Yang Menepati Sunnah Dalam Hal Ini:<br /><br /><br />ولذلك كان مذهب جمهور السلف كأبي حنيفة ومالك وغيرهم كراهة للقراءة عند القبور، وهو قول الامام أحمد فقال أبو داود في مسائله<br /><br /><br />(سمعت أحمد سئل عن القراءة عند القبر؟ فقال: لا)<br /><br /><br />Terjemahan: Dan dari itu, yang menjadi mazhab jumhur ulama Salaf (terdahulu), seperti Abu Hanifah, Malik, dan selainnya menunjukkan makruhnya (dibenci) membaca al-Qur'an di perkuburan.<br /><br />Begitu juga yang menjadi pegangan Imam Ahmad di dalam Kitab al-Masaa'il (m/s. 158) oleh Abu Daud: Aku pernah mendengar Ahmad ditanya berkenaan bacaan al-Qur'an di perkuburan, maka beliau menjawab: Tidak boleh. (Rujuk: al-Albani, Ahkamul Jana'iz, m/s. 191)<br /><br />Ibnu Hajar Al-Haitami rahimahullah berkata:<br /><br /><br />الْمَيِّتُ لَا يُقْرَأُ عليه مَبْنِيٌّ على ما أَطْلَقَهُ الْمُتَقَدِّمُونَ<br /><br /><br />Terjemahan: “Mayat tidak boleh dibacakan al-Qur’an ke atasnya sebagaimana keterangan yang ditetapkan oleh orang-orang terdahulu (mutaqoddimun). (Rujuk: Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah, 2/26.<br /><br />Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:<br /><br /><br />ولا يحفظ عن الشافعي نفسه في هذه المسألة كلام، وذلك لان ذلك كان عنده بدعة، وقال مالك: ما عملت أحدا يفعل ذلك، فعلم أن الصحابة، والتابعين ما كانوا يفعلونه<br /><br /><br />Terjemahan: Dan tidak ada daripada asy-Syafi’i sendiri perkataan beliau berkenaan masalah ini, yang demikian ini menunjukkan bahawa (membaca al-Qur'an di perkuburan) menurut beliau adalah bid'ah. Imam Malik berkata: Tidak aku dapati seorang pun daripada para sahabat dan tabi’in yang melakukan perkara tersebut. (Rujuk: Ibnu Taimiyah, Iqtidhaa ash-Shiratil Mustaqim Mukhaalafata ashabil Jahiim, m/s. 182)<br /><br /><br />والقراءة على الميت بعد موته بدعة<br /><br /><br />Terjemahan: Dan perbuatan membaca al-Qur'an disebabkan setelah kematian seseorang itu adalah bid'ah. (Ibnu Taimiyah, al-Ikihtiyaaraat al-'Ilmiyah, m/s. 53)<br /><br />Imam Ibnu Rejab al-Hanbali berkata:<br /><br /><br />قال ابن عَبْد البر : الوثن الصنم . يقول : لا تجعل قبري صنما يصلى إليه ، ويسجد نحوه ، ويعبد ، فقد اشتد غضب الله على من فعل ذلك ، وكان رسول الله ( يحذر أصحابه وسائر أمته من سوء صنيع الأمم قبلهم الذين صلوا في قبور أنبيائهم ، واتخذوها قبلة ومسجدا ، كما صنعت الوثنية بالأوثان التي كانوا يسجدون إليها ويعظمونها ، وذلك الشرك الأكبر ، وكان رسول الله ( يخبرهم بما في ذلك من سخط الله وغضبه ، وانه مما لا يرضاه ؛ خشية عليهم من امتثال طرقهم ، وكان رسول الله ( يحب مخالفة أهل الكتاب وسائر الكفار ، وكان يخاف على أمته اتباعهم ، ألا ترى إلى قوله ( على جهة التعيير والتوبيخ : ( ( لتتبعن سنن الذين كانوا قبلكم حذو النعل بالنعل ، حتى إن أحدهم لو دخل حجر ضب لدخلتموه ) )<br /><br /><br />Terjemahan: Berkata Ibnu 'Abdil Barr: al-Watsan itu maknanya patung. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Janganlah Engkau jadikan kuburku sebagai patung/berhala yang menjadi kiblat solat, tempat bersujud, juga tempat beribadah”. Dan Allah sangat murka kepada orang yang melakukan perkara tersebut. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sendiri telah memperingatkan para sahabat dan seluruh umatnya tentang perbuatan buruk umat-umat terdahulu, kerana mereka solat menghadap perkuburan para Nabi mereka serta menjadikannya sebagai kiblat dan masjid. Sebagaimana penyembah berhala yang menjadikan berhala sebagai objek sembahan yang diagungkan. Perbuatan tersebut merupakan syirik akhbar (besar). Dan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam telah memberitahu bahawa perbuatan tersebut mengundang kemurkaan dan kemarahan Allah Ta’ala dan Dia tidak akan pernah meredhainya. Perkara tersebut disampaikan oleh Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam disebabkan beliau bimbiang umatnya akan meniru perbuatan mereka. Dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam senantiasa memperingatkan umatnya agar tidak menyerupai Ahli Kitab dan orang-orang kafir. Dan beliau juga bimbang jika umatnya akan mengikuti jejak mereka. Tidakkah engkau mengetahui sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengungkapkan celaan dan kemarahan: “Sungguh kamu akan mengikuti jejak-jejak orang sebelum kamu selangkah demi selangkah; sehingga salah seorang daripada mereka masuk ke lubang biawak, nescaya kamu akan mengikutinya.” (Rujuk: Ibnu Rejab al-Hanbali, Fathul Bari, 2/441)<br /><br />Terdapat perkataan Seorang tokoh Nusantara:<br /><br />Allah Subhanahu wa Ta'ala menyatakan dengan tegas bahawa al-Qur’an ini menjadi peringatan untuk orang-orang yang hidup, dan ayat ini terdapat di dalam surah Yasin. Tetapi masih terdapat saudara-saudara kita membacakan surah Yasin ini di hadapan orang-orang yang mati. Subhanallah! Kejahilan apakah ini namanya? (Rujuk: Abdul Hakim B. Amir Abdat, al-Masaa-il: Masalah-Masalah Agama, jilid 1, m/s. 302)<br /><br />4 – Memahami tujuan sebenar ziarah Ke Kubur:<br /><br />Pertama:<br /><br /><br />انتفاع الزائر بذكر الموت والموتى، وأن مآلهم إما إلى جنة وإما إلى نار وهو الغرض الاول من الزيارة<br /><br /><br />Terjemahan: Orang yang berziarah dapat mengambil manfaat dengan mengingati kematian orang-orang yang telah meninggal dunia dan bahawasanya tempat kembali mereka hanya Syurga atau Neraka. Demikianlah tujuan pertama menziarahi kubur. (Rujuk: al-Albani, Ahkamul Jana'iz, m/s. 188, Maktabah Syamilah)<br /><br />Di antara lain, daripada hadis-hadis di atas (Sila merujuk ke artikel: Sunnah Di Dalam Persoalan Ziarah Kubur) dapat kita fahami bahawa menziarahi adalah bertujuan:<br /><br />1 - Mengingati akhirat,<br /><br />2 - di dalamnya terdapat 'ibrah (pelajaran), dan<br /><br />3 – dapat melembutkan hati.<br /><br />Kedua:<br /><br />نفع الميت والاحسان إليه بالسلام عليه، والدعاء والاستغفار له، وهذا خاص بالمسلم<br /><br /><br /><br />Terjemahan: Memberikan manfaat kepada si jenazah (si mati) sekaligus sebagai bentuk perbuatan baik kepadanya dengan memberi salam, mendoakannya, dan memohon keampunan baginya. Yang demikian itu khusus bagi Muslim sahaja. (Rujuk: al-Albani, Ahkamul Jana'iz, m/s. 189, Maktabah Syamilah)<br /><br />Demikianlah tujuan ziarah ke perkuburan. Bukannya untuk beribadah seperti solat, mengambil berkah, atau membacakan al-Qur'an.<br /><br />Wallahu a'lam...<br />Dicatat oleh Nawawi Bin Subandi di Jumaat, November 27, 2009 9 ulasan <br />Label: Jenazah, Kenduri Tahlil, Takhrij HadisNor Baizura bt Zulkiflihttp://www.blogger.com/profile/03309953886503563441noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3016061427110327614.post-26408361111264522222010-01-03T11:42:00.002-08:002010-01-03T11:43:18.792-08:00Taisir Musthalah Hadits (6): Idroj, Ziyadah, Meringkas Hadits dan Meriwayatkan Dengan Makna<h1>Taisir Musthalah Hadits (6): Idroj, Ziyadah, Meringkas Hadits dan Meriwayatkan Dengan Makna</h1> <img class="lead_image" src="http://muslimah.or.id/img/bunga87.jpg" alt="" width="300" height="225" /> <p><strong>Idroj dalam matan</strong></p> <ol><li> Definisinya</li><li> Kedudukannya dan contoh</li><li> Kapan dinilai itu sebagai hadits sisipan</li></ol> <p><strong> 1. Idroj (sisipan) dalam matan (الإدراج في المتن) : </strong>Salah seorang rowi memasukkan kata-kata yang berasal dari dirinya sendiri tanpa dia jelaskan bahwa itu adalah kata-katanya sendiri. Dia melakukan itu bisa jadi untuk menjelaskan kata-kata yang asing dalam hadits tersebut, istinbath hukum (mengambil kesimpulan hukum) atau untuk menjelaskan hikmah.</p> <p><span id="more-409"></span></p> <p><strong>2. Idroj di awal hadits, tengah hadits atau akhir hadits.<br />Contoh idroj di awal matan: </strong><br />Hadits dari Abu Huroiroh <em>rodhiallahu ‘anhu</em> yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim.<em></em></p> <p><em>“<span style="text-decoration: underline;">Sempurnakanlah wudhu</span>, celakalah tumit-tumit yang tidak terkena air, celakalah karena berada di neraka.”<sup> [1]</sup></em></p> <p>Kata-kata “sempurnakanlah wudhu” adalah sisipan yaitu ucapan Abu Hurioroh <em>rodhiallahu ‘anhu</em>. Hal ini diketahui berdasarkan satu riwayat dalam <em>Shohih Bukhori</em>. Dalam riwayat tersebut, Abu Huroiroh <em>rodhiallahu ‘anhu</em> mengatakan,<em></em></p> <p><em>“Sempurnakanlah wudhu, karena Abul Qosim shollallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,’Celakalah tumit-tumit yang tidak terkena air.’”</em></p> <p><strong>Contoh sisipan di tengah matan: </strong></p> <p>Hadits dari ‘Aisyah <em>rodhiallahu ‘anha</em> tentang awal mula datangnya wahyu pada Rosulullah <em>shollallahu ‘alaihi wa sallam</em>. Dan hadits tersebut, Nabi <em>shollallahu ‘alaihi wa salla</em>m bersepi-sepi di Gua Hiro, lalu ber-<em>tahanus </em>(pada asalnya artinya adalah menjauhi dosa), namun di sini dijelaskan oleh rowi maksud dari <em>tahanus </em>yaitu beribadah selama beberapa malam yang bisa di hitung.</p> <p>Kata-kata “tahanus adalah beribadah” adalah sisipan, tepatnya merupakan perkataan az-Zuhri. Hal ini dijelaskan satu riwayat dalam riwayat Bukhori dari jalurnya Zuhri, dengan lafadz bahwasannya Nabi <em>shollallahu ‘alaihi wa sallam</em> pergi ke Gua Hiro dan <em>tahanus </em>di dalamnya, Zuhri mengatakan, makna <em>tahanus </em>adalah beribadah. Kemudian Zuhri melanjutkan pada beberapa malam yang bisa dihitung.</p> <p><strong>Contoh idroj di akhir matan:</strong></p> <p>Hadits Abu Hurorioh <em>rodhiallahu ‘anhu</em> sesungguhnya Nabi <em>shollallahu ‘alaihi wa sallam</em> bersabda,</p> <p><em>“Sesungguhnya umatku akan dipanggil pada hari kiamat dalam keadaan putih terang wajah, tangan dan kaki, karena bekas wudhu. <span style="text-decoration: underline;">Oleh karena itu siapa diantara kalian yang mampu memanjangkan cahaya putih terangnya maka hendaknya ia lakukan.</span>“</em></p> <p>Diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim.</p> <p>Kata-kata “Siapa diantara kalian yang mampu memanjangkan cahayanya maka lakukanlah”, adalah perkataaan Abu Huroiroh <em>rodhiallahu ‘anhu</em> yang menyebabkan perkataan Abu Huroiroh ini masuk ke hadits Nabi<em> shollallahu ‘alaihi wa sallam</em> adalah seorang rowi yang bernama Nu’aim ibn Mujmir[<sup>2]</sup>.</p> <p>Disebutkan dalam Musnad Imam Ahmad, dari Nu’aim ibn Mujmir, beliau mengatakan, “Saya tidak tahu apakah itu sabda Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam atau kata-kata Abu Huroiroh” [<sup>3]</sup>. Lebih dari satu pakar hadits yang menegaskan bahwa kata-kata tersebut adalah sisipan. Bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan itu tidak mungkin merupakan sabda Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam [<sup>4]</sup>. <strong> </strong></p> <p><strong>3. Tidak bisa dinilai sebagai sisipan sampai ada bukti. </strong></p> <p>Sehingga hukum asalnya adalah bagian dari hadits dan bisa diketahui:</p> <ul><li>Dengan ucapan rowi itu sendiri.</li><li>Ucapan Imam yang teranggap ucapannya.</li><li>Dari kata-kata yang disisipkan karena mustahil Nabi mengatakannya</li></ul> <p><strong>Ziyadah Dalam Hadits<br /></strong></p> <ol><li> Pengertiannya</li><li>Pembagiannya, penjelasan hukum pada masing-masing pembagian beserta contohnya.</li></ol> <p><strong>1. Ziyadah (tambahan) dalam hadits (</strong><strong>الزيادة في الحديث</strong><strong>):</strong></p> <p>Salah seorang rowi (periwayat hadits) menambahi redaksi (matan) hadits dengan sesuatu yang bukan merupakan bagian dari hadis tersebut. <strong></strong></p> <p><strong>2. Ziyadah terbagi menjadi dua macam:</strong></p> <p>1. Ziyadah yang sejenis dengan idroj.</p> <p>Merupakan tambahan yang diberikan seorang rowi dari dirinya sendiri, tanpa bermaksud bahwa tambahan tersebut merupakan bagian dari hadits. Penjelasan hukumnya telah disampaikan di muka.</p> <p>2. Ziyadah yang diberikan oleh sebagian rowi dengan maksud bahwa tambahan tersebut merupakan bagian dari hadits. Jenis ini terbagi menjadi dua:</p> <ul><li> <strong>Jika datang dari rowi yang tidak tsiqoh. </strong>Maka tidak diterima dikarenakan riwayat rowi tersebut jika sendirian itu tidak diterima, maka tambahan yang dia berikan pada riwayat orang lain lebih layak untuk ditolak.</li><li> <strong>Jika datang dari rowi yang tsiqoh: </strong>Jika bertentangan dengan riwayat lain yang jalannya lebih banyak atau periwayatannya lebih tsiqoh, maka tidak diterima dikarenakan riwayat ini termasuk hadits yang <em>syadz</em>. Misal:Hadis yang diriwayatkan oleh Malik dalam <em>Al Muwattho</em> bahwasannya Ibnu Umar <em>radhiallahu ’anhuma </em>jika memulai sholat, beliau mengangkat kedua tangannya sejajar dengan kedua pundaknya, dan jika mengangkat kepalanya dari ruku’, beliau mengangkat keduanya lebih rendah dari itu. Abu Daud berkata, “Tidak disebutkan ‘beliau mengangkat keduanya lebih rendah dari itu’ oleh seorang pun selain Malik menurut sepengetahuanku.” <p>Dan riwayat yang <strong>shohih </strong>dari Ibnu Umar <em>radhiallahu ’anhum</em>a, marfu’ kepada Nabi<em> shollallahu ‘alaihi wa sallam</em>, bahwasannya beliau mengangkat kedua tangannya sampai sejajar dengan pundaknya jika memulai sholat, dan ketika ruku’, ketika bangkit dari ruku’ tanpa dibeda-bedakan.</p> <p>Jika tidak bertentangan dengan rowi selainnya maka diterima, dikarenakan didalamnya terdapat tambahan ilmu. Misal:Hadis Umar<em> radhiallahu ’anhu </em>bahwasannya beliau mendengar Nabi<em> shollallahu ‘alaihi wa sallam</em> bersabda, <em></em></p> <p><em>“Tidaklah salah seorang dari kalian berwudhu sampai selesai dan sempurna kemudian mengucapkan:’ Asyhadu allaa ilaaha illallah , wa anna muhammadan ’abdullahi wa rasuuluh’ melainkan dibukakan baginya pintu syurga yang berjumlah delapan, dia boleh masuk dari pintu mana yang dia inginkan.” </em></p> <p>Hadits ini telah diriwayatkan oleh Muslim dari dua jalan periwayatan. Pada salah satu dari keduanya terdapat tambahan (وحده لا شريكله) setelah (إلاّ اللّه<strong>)</strong>. </p></li></ul> <p><strong>Meringkas Hadits<br /></strong></p> <ol><li> Pengertiannya</li><li>Hukumnya</li></ol> <p><strong>1. Meringkas hadits (</strong><strong>احتصار الحديث</strong><strong>):</strong></p> <p>Seorang rowi atau penukil hadits membuang sebagian dari hadits.</p> <p><strong>2. Tidak diperbolehkan meringkas hadits kecuali dengan lima syarat:</strong></p> <p>1. Tidak merusak makna hadits. Seperti pengecualian, tujuan, keadaan/keterangan, syarat, dan selainnya. Misal, sabda Nabi <em>shollallahu ‘alaihi wa sallam</em>,</p> <p style="text-align: right;"><strong>لا تبيعوا الذهب با الذهب إلاّ مثلا بمثل</strong><br />“Jangan kalian menukar emas dengan emas kecuali semisal dengan semisal.”</p> <p style="text-align: right;"><strong>لا فبيعوا الثمر حتى يبدو صلاحه</strong><br />“Janganlah kalian menjual buah-buahan sampai tambak baiknya.”</p> <p style="text-align: right;"><strong>لا يقضين حكم بين اثنين و هو غضبان</strong><br />“Janganlah memutuskan hukum antara dua perkara sedangkan dia dalam keadaan emosi.”</p> <p style="text-align: right;"><strong>نعم، اذا هي رأت الماء</strong><br />“Iya, jika kalian melihat air.” Perkataan nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam sebagai jawaban kepada Ummu Sulaim tentang pertanyaannya, Apakah wanita wajib mandi jika bermimpi?</p> <p style="text-align: right;"><strong>لا يقل أحد كم</strong><strong>: </strong><strong>اللهم اغفر لي إن شئت</strong><br />“Jangan berkata salah seorang dari kalian: ya Allah, ampunilah aku jika Engkau menghendaki.”<br /><strong>الحج المبرور ليس له جزاء إلا الجنة</strong><br />“Haji mabrur, tidak ada balasan baginya kecuali surga.”</p> <p>Maka tidak boleh membuang perkataan<br />“kecuali semisal dengan semisal” (إلاّ مثلا بمثل)</p> <p>“sampai tampak baiknya” (حتى يبدو صلاحه)</p> <p>“sedangkan dia dalam keadaan emosi” (هو غضبان)</p> <p>“jika kalian melihat air” (اذا هي رأت الماء)</p> <p>“jika Engkau menghendaki” (إن شئت)</p> <p>“mabrur” (المبرور)</p> <p>Dikarenakan membuang kata-kata diatas merusak makna hadits</p> <p>2. Tidak membuang redaksi hadits/matan yang hadits itu datang karenanya,</p> <p>Misal:<br /><strong>أن رجلا سأل النبي صلى الله عليه و سلم فقال</strong><strong>: </strong><strong>إنا نركب الرحر و نحمل معنا القليل من الماء، فإن توضأنا به</strong><strong>: </strong><strong>عطشنا، أفنتوضأ بماء البحر</strong><strong>. </strong><strong>فقال النبي</strong><strong>: ((</strong><strong>هو الطهور ماؤه، الحل ميتته</strong><strong>))</strong><br />Hadits Abu Huroiroh radhiallahu ‘anhu: seseorang bertanya pada Nabi<em> shollallahu ‘alaihi wa sallam</em> “Sesungguhnya kami menaiki perahu di laut dan kami membawa sedikit air. Jika kami berwudhu dengannya, kami akan kehausan. Apakah kami boleh berwudhu dengan air laut? Maka Nabi bersabda: <em>“Laut itu suci airnya dan halah bangkainya.”</em></p> <p>Maka tidak boleh menghapus sabda beliau <em>shollallahu ‘alaihi wa sallam</em>, “Laut itu suci airnya dan halal bangkainya” (هو الطهور ماؤه، الحل ميتته) karena hadits ini datang karenanya, maka dia adalah maksud pokok dari hadits tersebut.</p> <p>3. Yang dibuang bukan merupakan penjelasan tentang tata cara ibadah, baik berupa perkataan atau perbuatan.</p> <p>Misal:<br /><strong>أن النبي صلى الله عليه و سلم قالك </strong><strong>(( </strong><strong>إذا جلس أحدكم في الصلاة فليقل</strong><strong>: </strong><strong>التحيات لله و الصلوات و الطيبات السلم عليك ايها النبي و رحمة الله و بركته السلم علينا و على عباد الله الصابحين أشهد أن لا إله لا الله و أشهد أن محمدا عبده و رسوله</strong><strong>))</strong></p> <p>Hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu, Nabi <em>shollallahu ‘alaihi wa sallam</em> bersabda, “<em>Jika salah seorang dari kalian duduk dalam sholat, maka hendaknya dia membaca: ” Attahiyyaatu lillahi washolawaatu wathoyyibaat, Assalaamu ’alaika ayyuhannabiyu wa rahmatullahi wa barakaatuh, Assalamu ’alainaa wa ’ala ’ibaadillahishoolihiin, Asyhadu allaa ilaaha illallah, wa asyhadu anna muhammadan ’abduhu wa rasuuluh”</em></p> <p>Maka tidak boleh menghapus satu bagian pun dari hadits ini karena akan merusak tata cara ibadah yang disyari’atkan, kecuali dengan menjelaskan bahwa ada bagian hadits yang dipotong atau dibuang.</p> <p>4. Hendaknya yang membuang, mempunyai ilmu tentang kandungan lafadz.</p> <p>Lafadz mana yang merusak makna jika dibuang dan mana yang tidak merusak, supaya tidak membuang lafadz yang merusak makna secara tidak sadar.</p> <p>5. Rowi yang melakukan pengurangan hadits tidak akan menjadi sasaran tuduhan; karena dikira jelek hafalannya jika dia meringkasnya, atau dikira memberi tambahan jika dia menyempurnakannya, karena memeringkas pada keadaan ini menyebabkan orang akan ragu-ragu untuk menerima rowi tersebut sehingga hadits menjadi lemah karenanya. Persyaratan ke-lima ini untuk hadits yang tidak tercatat, karena jika hadits tersebut sudah tertulis maka dapat merujuk pada kitab yang mencatatnya dan hilanglah keraguan.</p> <p>Jika semua syarat-syarat tersebut sudah dipenuhi, maka diperbolehkan meringkas hadits. Lebih-lebih memotong hadits untuk berdalil pada setiap potongan hadits pada tempat yang tepat. Banyak ulama’ dari kalangan ahlul hadits dan ahlul fikih yang melakukan hal ini. Lebih baik lagi pada saat meringkas hadits ditambahi penjelasan adanya peringkasan, dengan perkataan “hingga akhir hadits”, atau “sebagaimana yang disebutkan oleh suatu hadits” , dan selainnya.<br /><strong>Meriwayatkan Hadits dengan makna<br /></strong></p> <ol><li> Pengertiannya</li><li>Hukumnya</li></ol> <p><strong>1. Meriwayatkan hadits dengan makna, yaitu </strong>menukilkan hadits dengan lafadz yang bukan lafadz asli yang diriwayatkan.</p> <p><strong>2. Tidak boleh meriwayatkan hadits dengan makna kecuali dengan tiga syarat:</strong></p> <p>1. Dilakukan oleh orang yang mengetahui maknanya dari sisi bahasa, dan dari sisi maksud teks yang diriwayatkan.</p> <p>2. Terpaksa melakukannya, semisal karena rowi lupa dengan teks asli hadits tersebut tapi ingat maknanya. Jika teks hadits masih ingat, maka tidak boleh merubah kecuali jika dituntut kebutuhan untuk memahamkan orang yang diajak bicara dengan bahasa yang lebih mudah dipahami.</p> <p>3. Lafadz hadits tersebut bukan merupakan lafadz yang digunakan untuk beribadah., seperti lafadz dzikir, dan selainnya.</p> <p>Jika meriwayatkan hadits dengan makna, maka hendaknya disampaikan sesuatu yang menunjukkan hal itu, dengan mengatakan sesudah menyampaikan hadits:, “Atau semisal yang dikatakan oleh Nabi” (أو كما قال), atau “semisal itu” (أو نحوه).</p> <p>Seperti yang ada dalam hadits dari Anas<em> rodhiallahu ‘anhu</em> tentang kisah orang Arab badui yang kencing di dalam masjid, kemudian Rosulullah <em>shollallahu ‘alaihi wa sallam</em> memanggilnya dan berkata padanya:</p> <p><strong>إن هذه المساجد لا تصلح لشيء من هذا البول و لا القذر؛ إنما هي الذكرالله – عز و جل </strong><strong>- </strong><strong>، و الصلاةن و قراءة القران، أو كما قال صلى الله عليه و سلم</strong></p> <p><em>“Sesungguhnya masjid ini tidak sepantasnya terkena air kencing, tidak pula kotoran, sesungguhnya ia adalah untuk mengingat Allah ’Azza wa Jalla , sholat, dan membaca Al Quran”, </em>atau semisal yang dikatakan Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam.</p> <p>Juga seperti yang ada dalam hadits dari Mu’awiyah bin Hakam. Beliau berkata-kata ketika sholat karena tidak tahu kalau hal tersebut terlarang. Setelah selesai sholat, Nabi <em>shollallahu ‘alaihi wa sallam</em> berkata kepadanya:</p> <p><strong>إن هذه الصلاة لا يصلح فيها شيء كم كلام الناس؛ إنما هو </strong><strong>: </strong><strong>التسبيح، و تكبيرن ،و قراءة القران، أو كما قال صلى الله عليه و سلم</strong></p> <p><em>“Sesungguhnya sholat itu tidak sepantasnya di dalamnya terdapat perkataan orang. Sesungguhnya isi sholat adalah tasbih, takbir, dan membaca al quran”,</em> atau semisal yang dikatakan Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam.</p> <p>1. Artinya siksaan hanya mengenai sebagian badan. Siksa neraka ada dua macam, ada yang meliputi sebagian badan dan ada yang meliputi seluruh badan. Dan ini adalah contoh yang mengenai sebagian badan. Demikian juga orang yang isbal. Bagian badan yang terjeluri kainlah yang dapat siksa di neraka. Namun, jangan remehkan siksaan neraka walaupun sebagian badan saja. Sungguh, orang yang mendapat siksaan dengan terompah neraka di telapak kakinya, yang mendidih adalah otaknya. Jadi, jangan diremehkan.</p> <p>2 . Jadi, aslinya adalah terpisah. Akan tetapi karena Nu’aim ibn Mujmir maka perkataan Abu Huroiroh tadi tergabung dengan hadits Nabi dari Abu Hurorioh.<br /><span>3. Jadi dia lupa, dan hanya dia yang membawa riwayat dengan menggabungkan antara perkataan Abu Huroiroh dengan hadits Nabi<em> shallallahu ‘alaihi wa sallam</em>.</span></p> <p><span>4. Karena Nabi adalah orang yang paling paham dan fasih bahasanya. Dan dalam bahasa Arab yang namanya <em>ghurron</em> adalah putih cemerlang di wajah. Dan wajah itu sudah ada batasannya mungkinkah dipanjangkan? Oleh karena ini jelas bahwa kata-kata tersebut adalah hadits <em>mudroj</em>, maka pendapat yang paling benar, <span style="text-decoration: underline;">tidak ada anjuran untuk melebihkan wudhu dari batasan yang telah ditetapkan oleh syari’at.</span></span></p> <p><span>***</span></p> <span>Artikel <a title="Taisir Mustholah Hadits 6" href="http://muslimah.or.id/hadits/irdoj-ziyadah-ringkas-hadits.html">muslimah.or.id</a></span>Nor Baizura bt Zulkiflihttp://www.blogger.com/profile/03309953886503563441noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3016061427110327614.post-19592972880532880652010-01-03T11:42:00.001-08:002010-01-03T11:42:33.930-08:00Taisir Musthalah Hadits (5): Penjelasan untuk Sanad yang Terputus, Tadlis & Mudhthorib<h1>Taisir Musthalah Hadits (5): Penjelasan untuk Sanad yang Terputus, Tadlis & Mudhthorib</h1> <img class="lead_image" src="http://muslimah.or.id/img/bunga47.jpg" alt="" width="300" height="225" /> <p style="text-align: center;"><strong> Sanad yang Terputus<a class="sdfootnoteanc" name="sdfootnote1anc" href="http://muslimah.or.id/hadits/taisir-musthalah-hadits-5-penjelasan-untuk-sanad-yang-terputus-tadlis-mudhthorib.html#sdfootnote1sym"><sup>1</sup></a></strong></p> <ol><li> Penjelasannya</li><li>Pembagiannya</li><li>Hukumnya</li></ol> <p><strong>1. Sanad yang terputus (<span class="arab">منقطع السند</span>) </strong>adalah yang tidak bersambung sanadnya, dan telah disebutkan bahwa di antara syarat hadits shohih yang berjumlah lima, salah satunya adalah bersambung sanadnya.</p> <p>2. Sanad yang terputus terbagi menjadi empat: mursal, mu’alaq, mu’dhol dan munqothi’.</p> <p><span id="more-350"></span></p> <p><strong>Mursal (<span class="arab">المرسل)</span></strong></p> <p>Mursal adalah hadits yang dinisbatkan kepada Nabi <em>shollallahu ‘alaihi wa sallam</em> oleh sahabat atau tabi’in yang tidak mendengar langsung dari Nabi <em>shollallahu ‘alaihi wa sallam</em><a class="sdfootnoteanc" name="sdfootnote2anc" href="http://muslimah.or.id/hadits/taisir-musthalah-hadits-5-penjelasan-untuk-sanad-yang-terputus-tadlis-mudhthorib.html#sdfootnote2sym"><sup>2</sup></a>.</p> <p><strong>Mu’alaq (<span class="arab">المعلق</span>)</strong></p> <p>Mu’allaq adalah hadits yang dihilangkan awal atau terkadang yang dimaksudkan adalah yang dibuang semua sanadnya, seperti perkataan Imam Bukhori, “Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam mengingat Allah di setiap keadaannya”<a class="sdfootnoteanc" name="sdfootnote3anc" href="http://muslimah.or.id/hadits/taisir-musthalah-hadits-5-penjelasan-untuk-sanad-yang-terputus-tadlis-mudhthorib.html#sdfootnote3sym"><sup>3</sup></a>. Adapun hadits yang dinukil penulis kitab, misal Umdatul Ahkam yang dinisbatkan pada aslinya, maka tidak dinilai sebagai hadits mu’allaq karena orang yang menukil tidak menyandarkan hadits tersebut pada dirinya.Akan tetapi dinisbatkan, misal “Diriwayatkan oleh Abu Daud”.</p> <p><strong>Mu’dhol (<span class="arab">المعضل</span>)</strong></p> <p>Mu’dhol adalah hadits yang dibuang di tengah-tengah sanadnya, dua rowi secara berturut-turut.</p> <p><strong>Munqothi’<a class="sdfootnoteanc" name="sdfootnote4anc" href="http://muslimah.or.id/hadits/taisir-musthalah-hadits-5-penjelasan-untuk-sanad-yang-terputus-tadlis-mudhthorib.html#sdfootnote4sym"><sup>4</sup></a> (<span class="arab">المنقطع)</span></strong></p> <p>Munqothi’ adalah hadits yang dibuang dari tengah sanadnya satu, dua atau lebih dan tidak berturut-turut. Terkadang maksudnya adalah hadits yang tidak bersambung sanadnya, maka termasuk di dalamnya hadits yang empat tadi, mursal, mu’allaq, mu’dhol dan munqothi’ itu sendiri<a class="sdfootnoteanc" name="sdfootnote5anc" href="http://muslimah.or.id/hadits/taisir-musthalah-hadits-5-penjelasan-untuk-sanad-yang-terputus-tadlis-mudhthorib.html#sdfootnote5sym"><sup>5</sup></a>.</p> <p>Misalnya hadits yang diriwayatkan Imam Bukhori, ia berkata, “Menceritakan pada kami Abdullah ibn Azzubair Al Humaidi<a class="sdfootnoteanc" name="sdfootnote6anc" href="http://muslimah.or.id/hadits/taisir-musthalah-hadits-5-penjelasan-untuk-sanad-yang-terputus-tadlis-mudhthorib.html#sdfootnote6sym"><sup>6</sup></a>,ia berkata, telah menceritakan pada kami Sufyan, ia berkata, telah menceritakan pada kami Yahya ibn Sa’id Al Anshori, ia berkata,telah mengkhobarkanku Muhammad ibn Ibrohim At Taimi, bahwasannya ia mendengar dari Alqomah ibn Abi Waqosh Al Laitsi mengatakan, aku mendengar ‘Umar ibn Khottob rodhiallahu ‘anhu di atas mimbar berkata, “Aku mendengar Rosulullah<em> shollallahu ‘alaihi wa sallam</em> bersabda, <em>‘Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya</em> ‘hingga akhir hadits.</p> <p>Maka jika dibuang dari sanad tersebut, ‘Umar ibn Khottob<em> rodhiallahu ‘anhu</em>, dinamakan hadits mursal.<br />Jikayang dibuang Al Humaidi dinamakan hadits mu’allaq.<br />Jika yang dibuang Sufyan dan Yahya dinamakan hadits mu’dhol.<br />Jika yang dibuang Sufyan saja atau bersama at-Taimi dinamakan hadits munqothi’.</p> <p>3. Seluruh hadits munqothi’ <strong>ditolak </strong>dikarenakan ketidaktahuan keadaan rowi yang dibuang. Namun berikut ini adalah munqothi’ yang <strong>dikecualikan </strong>dari penolakan tersebut:</p> <ol><li>Mursal sahabat<a class="sdfootnoteanc" name="sdfootnote7anc" href="http://muslimah.or.id/hadits/taisir-musthalah-hadits-5-penjelasan-untuk-sanad-yang-terputus-tadlis-mudhthorib.html#sdfootnote7sym"><sup>7</sup></a></li><li>Mursal kibar tabi’in<a class="sdfootnoteanc" name="sdfootnote8anc" href="http://muslimah.or.id/hadits/taisir-musthalah-hadits-5-penjelasan-untuk-sanad-yang-terputus-tadlis-mudhthorib.html#sdfootnote8sym"><sup>8</sup></a>. Menurut sebagian besar ahlu ‘ilmi adalah shohih jika dikuatkan oleh mursal yang lain atau diamalkan para sahabat atau dengan qiyas.</li><li>Mu’alaq.Jika dengan bentuk kata yang tegas dalam kitab yang komitmen dengan hadits-hadits shohih, seperti <em>Shohih Bukhori</em><a class="sdfootnoteanc" name="sdfootnote9anc" href="http://muslimah.or.id/hadits/taisir-musthalah-hadits-5-penjelasan-untuk-sanad-yang-terputus-tadlis-mudhthorib.html#sdfootnote9sym"><sup>9</sup></a>.</li><li>Hadits yang diriwayatkan dengan sanad yang bersambung dari jalan yang lain yang memenuhi semua persyaratan untuk diterimanya hadits<a class="sdfootnoteanc" name="sdfootnote10anc" href="http://muslimah.or.id/hadits/taisir-musthalah-hadits-5-penjelasan-untuk-sanad-yang-terputus-tadlis-mudhthorib.html#sdfootnote10sym"><sup>10</sup></a>.</li></ol> <p style="text-align: center;"><strong>Tadlis</strong></p> <ol><li>Penjelasannya</li><li>Pembagiannya</li><li>Tingkatan mudallis</li><li>Hukum perowi yang mudallis</li></ol> <p><strong>1. Tadlis (<span class="arab">التدليس</span>)</strong> adalah membawakan hadits dengan satu sanad sehingga dipahami bahwa sanad tersebut lebih tinggi dari pada kualitas senyatanya.</p> <p><strong>2. Tadlis terbagi menjadi dua: tadlis isnad dan tadlis guru.</strong></p> <p><strong>Tadlis isnad (<span class="arab">تدليس الإسناد)</span></strong></p> <p>Tadlis isnad adalah seorang rowi meriwayatkan dari orang yang dijumpainya, hadits yang tidak dia dengar atau tidak dia lihat perbuatannya dengan kata-kata yang bisa dipahami bahwa orang tersebut mendengar atau melihatnya secara langsung. Contohnya: “Ia berkata” (<span class="arab">قال</span>), “ia melakukan” (<span class="arab">فعل</span>), “dari fulan” (<span class="arab">عن فلان</span>), “fulan berkata” ((<span class="arab">قال فلان</span>,”fulan melakukan” (<span class="arab">فلانفعل</span>) dan yang semisal itu.</p> <p><strong>Tadlis guru (<span class="arab">تدليس الشيوخ</span>)</strong><br />Tadlis guru adalah seorang rowi menamakan gurunya, atau mensifatinya dengan nama atau sifat yang tidak terkenal sehingga gurunya tidak dikenal. Hal ini disebabkan mungkin karena gurunya lebih muda darinya, dan ia tidak suka jika diketahui meriwayatkan dari yang lebih muda, atau agar orang mengira gurunya banyak, atau maksud-maksud lainnya.</p> <p><strong>3. Rowi mudallis ada banyak; </strong> ada yang dho’if dan ada yang tsiqoh seperti Hasan Al Bashri, Humaid At Tuwaili, Sulaiman ibn Mahron Al ‘Amasy, Muhammad ibn Ishaq dan Walid ibn Muslim. Al Hafidz Ibnu Hajar mengklasifikasikan rowi mudallis menjadi lima tingkatan:</p> <ol><li>Rowi yang tidak divonis melakukan tadlis kecuali langka. Seperti Yahya ibn Sa’id.</li><li>Rowi yang para imam masih berlapang dada terhadap tadlisnya (masih dimaafkan). Oleh karena itulah para ulama masih memakai riwayatnya dalam kitab shohih karena dia adalah seorang Imam dan sedikitnya tadlis yang dia lakukan jika dibandingkan dengan riwayat yang dia sampaikan, semacam tadlisnya Imam Sufyan Atsauri. Atau karena rowi tersebut tidak melakukan tadlis kecuali dari seorang rowi yang tsiqoh, semacam Imam Sufyan ibn ‘Uyainah.</li><li>Rowi yang sering melakukan tadlis tanpa membatasi diri dengan rowi-rowi yang tsiqoh. Sehingga yang tidak disebutkan boleh jadi rowi tsiqoh<br />ataupun rowi yang dho’if. Semacam Abu Zubair Al Makiy.</li><li>Rowi yang mayoritas tadlisnya adalah rowi yang dho’if dan tidak dikenal. Seperti Baqiyah ibn Al Walid.</li><li>Orang yang disamping melakukan tadlis, memiliki kelemahan karena faktor lain. Misal, ‘Abdulah ibn Luhai’ah<a class="sdfootnoteanc" name="sdfootnote11anc" href="http://muslimah.or.id/hadits/taisir-musthalah-hadits-5-penjelasan-untuk-sanad-yang-terputus-tadlis-mudhthorib.html#sdfootnote11sym"><sup>11</sup></a>.</li></ol> <p><strong>4. Hadits mudallis tidak diterima kecuali m</strong>udallisnya adalah orang yang tsiqoh (terpercaya), dan dia menegaskan bahwa ia mengambilnya secara langsung dari gurunya dengan perkataan “aku<br />mendengar fulan berkata” (<span class="arab">سمعت فلان</span>), “aku melihat ia melakukan” (<span class="arab">رأيته يفعل</span>), “telah menceritakan padaku” (<span class="arab">حدثني</span>) dan yang semacam itu. Akan tetapi riwayat yang terdapat dalam<em> Shohih Bukhori</em> dan <em>Shohih Muslim</em> dengan bentuk tadlis dari rowi tsiqoh yang mudallis, maka haditsnya diterima karena umat Islam menerima semua riwayat dari kedua Imam tersebut dengan tanpa perincian</p> <p style="text-align: center;"><strong>Mudhthorib</strong></p> <ol><li>Penjelasannya</li><li>Hukumnya</li></ol> <p><strong>1. Mudhthorib (<span class="arab">المضطرب</span>) </strong>adalah hadits yang para rowinya berselisih dalam sanad atau matannya yang tidak mungkin dikompromikan.</p> <p>Contohnya, hadits yang diriwayatkan dari Abu Bakar <em>rodhiallahu’anhu </em>bahwasannya ia berkata pada Nabi <em>shollallahu ‘alaihi wa sallam</em>, “Aku melihat engkau beruban”. Nabi<em> shollallahu ‘alaihi wa sallam</em> bersabda, <em>“Aku beruban karena memikirkan yang Allah turunkan dalam surat Hud dan surat-surat sejenisnya.”</em></p> <p>Hadits ini diperselisihkan dalam 10 masalah. Hadits ini ada yang diriwayatkan secara maushul dan mursal. Ada yang mengatakan dari Abu Bakar, ada yang dari ‘Aisyah atau Sa’ad dengan perselisihan yang tidak mungkin dikompromikan atau dirojihkan (dipilih yang lebih kuat).</p> <ul><li>Jika mungkin dikompromikan;<br />Maka wajib dikompromikan dan hilanglah status idhthirob<a class="sdfootnoteanc" name="sdfootnote12anc" href="http://muslimah.or.id/hadits/taisir-musthalah-hadits-5-penjelasan-untuk-sanad-yang-terputus-tadlis-mudhthorib.html#sdfootnote12sym"><sup>12</sup></a>.<br />Contohnya:<br />Perbedaan riwayat tentang jenis ihrom Nabi <em>shollallahu ‘alaihi wa sallam</em> pada haji wada’. Sebagian mengatakan Nabi haji ifrod saja, ada yang mengatakan haji tammatu ada juga yang mengatakan bahwa Nabi melakukan haji qiron<a class="sdfootnoteanc" name="sdfootnote13anc" href="http://muslimah.or.id/hadits/taisir-musthalah-hadits-5-penjelasan-untuk-sanad-yang-terputus-tadlis-mudhthorib.html#sdfootnote13sym"><sup>13</sup></a>. <p>Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Tidak ada kontradiksi dalam hal tersebut. Nabi melakukan tamatu’ tamatu’ qiron. Qiron bisa juga disebut tamatu’. Tamatu’ ada dua macam, yaitu tamatu’ dengan makna tamatu’ dan tamatu’ dengan makna qiron. Tamatu’ Nabi <em>shollallahu ‘alaihi wa sallam</em> adalah tamatu’ qiron. Dan nabi menyendirikan perbuatan manasik haji dan menggandengkan antara dua ibadah yaitu umroh dan haji. Maka haji itu adalah haji qiron dengan menyatukan manasik. Jadi, disebut haji ifrod dengan pertimbangan bahwa Nabi mencukupkan degan satu tawaf dan sa’i, dan disebut mutamatu’ dengan pertimbangan kesenangan yang beliau dapatkan dengan meninggalkan salah satu dari dua safar.” </p></li><li>Jika mungkin dirojihkan;<br />Wajib mengamalkan yang dan hilanglah status idhthirob.<br />Contohnya:<br />Perselisihan pada riwayat hadits Barirah rodhiallahu ‘anha ketika dia dimerdekakan dari status budak. Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam memberinya pilihan antara tetap bersama suaminya atau berpisah dari suaminya<a class="sdfootnoteanc" name="sdfootnote14anc" href="http://muslimah.or.id/hadits/taisir-musthalah-hadits-5-penjelasan-untuk-sanad-yang-terputus-tadlis-mudhthorib.html#sdfootnote14sym"><sup>14</sup></a>. <p>Perselisihannya: Apakah suaminya adalah orang yang merdeka atau budak?</p> <p>Diriwayatkan dari Al Aswad dari ‘Aisyah<a class="sdfootnoteanc" name="sdfootnote15anc" href="http://muslimah.or.id/hadits/taisir-musthalah-hadits-5-penjelasan-untuk-sanad-yang-terputus-tadlis-mudhthorib.html#sdfootnote15sym"><sup>15</sup></a> <em>rodhiallahu’anha</em> bahwasannya suaminya adalah orang yang merdeka. Tapi riwayat dari ‘Urwah ibn Zubair<a class="sdfootnoteanc" name="sdfootnote16anc" href="http://muslimah.or.id/hadits/taisir-musthalah-hadits-5-penjelasan-untuk-sanad-yang-terputus-tadlis-mudhthorib.html#sdfootnote16sym"><sup>16</sup></a> dan Qosim ibn Muhammad ibn Abu Bakar bahwasannya suaminya adalah seorang budak.</p> <p>Yang dinilai rojih dari kedua riwayat tersebut riwayat ‘Urwah ibn Zubair dan Qosim ibn Muhammad ibn Abu Bakar dikarenakan kedekatan keduanya dengan ‘Aisyah. ‘Aisyah adaah bibi dari ‘Urwah dan bibi dari Qosim. Sedangkan Al Aswad tidak punya hubungan dengan ‘Aisyah ditambah ada keterputusan di dalam riwayatnya. </p></li></ul> <p><strong>2. Hukum hadits mudhtorib adalah dho’if dan tidak dapat dijadikan hujjah.</strong> Karena idhthirobnya menunjukkan adanya rowi yang tidak kuat hafalannya. Akan tetapi jika idhthirob tersebut tidak berkaitan dengan pokok hadits, maka tidak mengapa.</p> <p>Contohnya:<br />Perselisihan perowi dalam hadits dari Fadholah ibn ‘Ubaid <em>rodhiallahu’anhu</em>,bahwasannnya ia membeli kalung pada perang Haibar sebanyak 12 dinar.Pada kalung tersebut terdapat emas dan manik-manik. Ia berkata, “Maka aku memisahkannya dan aku mendapatkannya nilainya lebih dari 12 dinar. Lalu aku menceritakan kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam, beliau pun bersabda, <em>“Kalung tersebut tidak boleh dijual sampai dipisah.” </em></p> <p>Maka pada riwayat yang lain, Fadholahlah yang membeli kalung tersebut. Riwayat lainnya, ada orang lain selain Fadholah yang bertanya tentang hukum membeli kalung tersebut.<br />Dalam riwayat lain: Bahwasannya itu emas dan manik-manik.<br />Pada riwayat yang lain: Emas dan permata.<br />Riwayat yang lain: Manik-manik yang digantungi emas.<br />Riwayat yang lain: dengan nilai 11 dinar.<br />Riwayat yang lain: dengan nilai 9 dinar.<br />Riwayat yang lain: dengan nilai 7 dinar.</p> <p>Al Hafidz Ibnu Hajar berkata, “Perselisihan ini tidaklah menyebabkan kelemahan hadits, karena maksud pokok dari berdalil dengan hadits tersebut tetap terjaga dan tidak ada perselisihan di dalamnya, yaitu pelarangan jual beli sesuatu yang belum terpisah. Adapun jenisnya atau kadar, ukuran harganya maka dalam hal ini tidak memiliki hubungan dengan menjadi idththirob atau tidak.”</p> <p>Demikian pula bukan penyebab idhthirob, perbedaan tentang nama perowi, kunyahnya atau yang semacam itu, padahal yang dimaksudkan adalah sama sebagaimana didapatkan pada banyak hadits-hadits yang shohih.</p> <div id="sdfootnote1"><a class="sdfootnotesym" name="sdfootnote1sym" href="http://muslimah.or.id/hadits/taisir-musthalah-hadits-5-penjelasan-untuk-sanad-yang-terputus-tadlis-mudhthorib.html#sdfootnote1anc">1</a> Keterputusan sanad ada yang jelas dan tidak jelas. Yang tidak jelas akan dibahas di tadlis.</div> <div id="sdfootnote2"><a class="sdfootnotesym" name="sdfootnote2sym" href="http://muslimah.or.id/hadits/taisir-musthalah-hadits-5-penjelasan-untuk-sanad-yang-terputus-tadlis-mudhthorib.html#sdfootnote2anc">2</a> Maka nanti mursal ada dua.</div> <div id="sdfootnote3"> <p><a class="sdfootnotesym" name="sdfootnote3sym" href="http://muslimah.or.id/hadits/taisir-musthalah-hadits-5-penjelasan-untuk-sanad-yang-terputus-tadlis-mudhthorib.html#sdfootnote3anc">3</a> Atau hadits yang dibuang di awal sanad. Awal sanad adalah orang yang berada di atas pencatat hadits. Orang setelah Nabi <em>shollallahu ‘alaihi wa sallam</em> adalah akhir sanad. Terkadang dibuang semua sanadnya oleh Imam Bukhori. Mu’allaq dalam Imam Bukhori disebutkan sanadnya oleh Ibnu Hajar dalam salah<br />satu kitabnya.</p></div> <div id="sdfootnote4"><a class="sdfootnotesym" name="sdfootnote4sym" href="http://muslimah.or.id/hadits/taisir-musthalah-hadits-5-penjelasan-untuk-sanad-yang-terputus-tadlis-mudhthorib.html#sdfootnote4anc">4</a> Munqothi’ ini memiliki dua pengertian.</div> <div id="sdfootnote5"> <p><a class="sdfootnotesym" name="sdfootnote5sym" href="http://muslimah.or.id/hadits/taisir-musthalah-hadits-5-penjelasan-untuk-sanad-yang-terputus-tadlis-mudhthorib.html#sdfootnote5anc">5</a> Sebagaimana Islam itu punya tingkatan, yaitu Islam, Iman, Ihsan. Jadi, Islam itu ada di Islam itu sendiri.</p></div> <div id="sdfootnote6"><a class="sdfootnotesym" name="sdfootnote6sym" href="http://muslimah.or.id/hadits/taisir-musthalah-hadits-5-penjelasan-untuk-sanad-yang-terputus-tadlis-mudhthorib.html#sdfootnote6anc">6</a> Guru Imam Bukhori yang Imam Bukhori paling banyak meriwayatkan hadits darinya.</div> <div id="sdfootnote7"> <p><a class="sdfootnotesym" name="sdfootnote7sym" href="http://muslimah.or.id/hadits/taisir-musthalah-hadits-5-penjelasan-untuk-sanad-yang-terputus-tadlis-mudhthorib.html#sdfootnote7anc">7</a> Semacam ucapan Ibnu Abbas tentang turunnya wahyu pertama kali. Ibnu Abbas lahir 3 tahun sebelum hijrah. Maka tentu dia tidak mengetahui dan tidak menyaksikan langsung kejadian di awal wahyu, sehingga tentu dia mendapatkan dari sahabat yang lain. Mursal shohabi tidak mempengaruhi keabsahan hadits. Karena meski kita tidak mengetahui sahabat yang dibuang, akan tetapi itu tidaklah masalah karena semua sahabat Nabi <em>shollallahu ‘alaihi wa sallam </em>adalah adil.</p></div> <div id="sdfootnote8"> <p><a class="sdfootnotesym" name="sdfootnote8sym" href="http://muslimah.or.id/hadits/taisir-musthalah-hadits-5-penjelasan-untuk-sanad-yang-terputus-tadlis-mudhthorib.html#sdfootnote8anc">8</a> Kibar tabi’in : mereka yang mayoritas riwayatnya berasal dari para sahabat, seperti Sa’id ibn Musayyib, ‘Urwah ibn Zubair. Jadi, mereka sedikit meriwayatkan dari sesama tabi’in.</p></div> <div id="sdfootnote9"> <p><a class="sdfootnotesym" name="sdfootnote9sym" href="http://muslimah.or.id/hadits/taisir-musthalah-hadits-5-penjelasan-untuk-sanad-yang-terputus-tadlis-mudhthorib.html#sdfootnote9anc">9</a> Akan tetapi, hadits mu’alaq dalam <em>Shohih Bukhori</em> bukanlah sebagai bagian dari <em>Shohih Bukhori</em> meskipun ia tercantum dalam kitab <em>Shohih Bukhori</em>. Oleh karena itu ketika orang menyampaikan hadits mu’alaq Imam Bukhori dalam <em>Shohih Bukhori</em> harus disebutkan, “Diriwayatkan oleh Imam Bukhori secara mu’alaq” karena mu’alaq tersebut bukan bagian dari <em>Shohih Bukhori</em>. Karena judul asli kitab shohih Bukhori adalah <em>Al</em> <em>Jam’i As Shohih Al Musnad</em>. <strong>Al<em> </em>Jami’</strong> yaitu kitab hadits yang mengumpulkan hadits dalam banyak bab, baik fiqh dan selainnya. Kalau hanya dalam bab fiqh saja disebut <strong>Sunan</strong>. Mu’alaq dalam <em>Shohih Bukhori</em>ada kata-kata yang tegas ada yang tidak tegas. Jika yang tidak tegas maka Imam Bukhori tidak menjamin keshohihan hadits ini. Sedangkan <strong>Al Musnad</strong> adalah yang bersanad.</p></div> <div id="sdfootnote10"> <p><a class="sdfootnotesym" name="sdfootnote10sym" href="http://muslimah.or.id/hadits/taisir-musthalah-hadits-5-penjelasan-untuk-sanad-yang-terputus-tadlis-mudhthorib.html#sdfootnote10anc">10</a> Ada pertanyaan, “Apakah semua hadits yang shohih diamalkan?” Belum tentu. Dilihat dulu, apakah hadits tersebut mansukh. Jadi masih harus melihat hal yang lainnya. Misalnya Nabi <em>shollallahu ‘alaihi wa sallam </em>berdiri ketika ada jenazah lewat. Hadits ini shohih. Tapi kemudian mansukh. Karena setelah itu nabi <em>shollallahu ‘alaihi wa sallam </em>melarang untuk berdiri ketika jenazah lewat. Dan juga tidak setiap hadits dho’if ditinggalkan. Jika bisa naik menjadi hadits hasan lighoiri, maka hadits dho’if tersebut bisa diamalkan.</p></div> <div id="sdfootnote12"><a class="sdfootnotesym" name="sdfootnote11sym" href="http://muslimah.or.id/hadits/taisir-musthalah-hadits-5-penjelasan-untuk-sanad-yang-terputus-tadlis-mudhthorib.html#sdfootnote11anc">11</a> Ia mulai kacau hafalannya setelah kitab-kitabnya terbakar. Namun, ia memiliki empat murid yang bernama ‘Abdulah yang belajar padanya sebelum kitab-kitabnya terbakar. Sehingga riwayatnya dapat diterima melalui empat murid tersebut.</div> <div id="sdfootnote13"><a class="sdfootnotesym" name="sdfootnote12sym" href="http://muslimah.or.id/hadits/taisir-musthalah-hadits-5-penjelasan-untuk-sanad-yang-terputus-tadlis-mudhthorib.html#sdfootnote12anc">12</a>Dan tidak lagi isebut hadits mudhtorib.</div> <div><a class="sdfootnotesym" name="sdfootnote13sym" href="http://muslimah.or.id/hadits/taisir-musthalah-hadits-5-penjelasan-untuk-sanad-yang-terputus-tadlis-mudhthorib.html#sdfootnote13anc">13</a> Berihrom untuk menjalankan haji dan umroh sekaligus dan tidak tahallulkecuali tanggal 10 dzulhijjaah.</div> <div id="sdfootnote15"><a class="sdfootnotesym" name="sdfootnote14sym" href="http://muslimah.or.id/hadits/taisir-musthalah-hadits-5-penjelasan-untuk-sanad-yang-terputus-tadlis-mudhthorib.html#sdfootnote14anc">14</a> Suami Barirah bernama Mughits.</div> <div><a class="sdfootnotesym" name="sdfootnote15sym" href="http://muslimah.or.id/hadits/taisir-musthalah-hadits-5-penjelasan-untuk-sanad-yang-terputus-tadlis-mudhthorib.html#sdfootnote15anc">15</a> Dan ‘Aisyah inilah yang membeli Bariroh kemudian memerdekakannya.</div> <div id="sdfootnote16"><span style="font-size: small;"><a class="sdfootnotesym" name="sdfootnote16sym" href="http://muslimah.or.id/hadits/taisir-musthalah-hadits-5-penjelasan-untuk-sanad-yang-terputus-tadlis-mudhthorib.html#sdfootnote16anc">16</a> Anak dari Asma binti Abu Bakar. </span></div> <div><span style="font-size: small;">***</span></div> <span style="font-size: small;">Artikel <a title="Taisir Musthalah Hadits (5): Penjelasan untuk Sanad yang Terputus, Tadlis & Mudhthorib" href="http://muslimah.or.id/aqidah/sanad-yang-terputus.html">muslimah.or.id</a></span>Nor Baizura bt Zulkiflihttp://www.blogger.com/profile/03309953886503563441noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3016061427110327614.post-87158936938043785592010-01-03T11:41:00.001-08:002010-01-03T11:41:42.974-08:00Taisir Musthalah Hadits (4): Penjelasan Untuk Shohih Lidzatihi<div class="post-single"> <h1>Taisir Musthalah Hadits (4): Penjelasan Untuk Shohih Lidzatihi</h1> <p>Telah lewat (pada penjelasan yang lalu) bahwasannya definisi hadits shohih lidzatihi adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang rowi yang adil*, hafalannya sempurna, sanadnya bersambung dan terbebas dari syadz dan terbebas daru ‘illat (penyakit yang membuat cacat).<br />—<br />* Yang dimaksud dengan adil yaitu memiliki ‘adalah.</p> <p><span id="more-244"></span><br /><strong>‘Adalah (<span class="arab">عدالة</span>)</strong> adalah istiqomah pada din dan istiqomah pada muru-ah.</p> <p>Istiqomah din adalah melaksanakan kewajiban dan menjauhi segala yang haram yang menyebabkan kefasikan. Istiqomah muru-ah adalah melakukan segala sesuatu yang dipuji masyarakat berupa etika dan akhlak dan meninggalkan segala adab dan akhlak yang dicela masyarakat*.</p> <p>—</p> <p><span style="color: rgb(0, 0, 128);">* Pandangan masyarakat adalah yang tidak bertentangan dengan aturan syari’at. Boleh jadi itu merusak muru-ah di masa silam, tapi tidak di masa sekarang. Misalnya, dahulu, jika seorang ulama makan di warung maka ini menurunkan muru-ah. Kalau sekarang mungkin jika makan di restoran besar malah naik muru-ahnya. Maka muru-ah ini berbeda-beda dan berubah sesuai zaman dan tempat. Maka, ini berarti seorang muslim memperhatikan adat masyarakat.</span></p> <p>Keadilan rowi diketahui dengan dua cara, yaitu dengan kemasyhuran yaitu sudah terkenal sebagai seorang rowi yang adil, semacam para imam yang terkenal. Misalnya Imam Malik, Imam Ahmad dan Bukhori dan yang selain mereka. Kemudian dengan tazkiyah, yaitu dengan penegasan dari orang yang teranggap ucapannya dalam masalah ini*.</p> <p>—<br /><span style="color: rgb(0, 0, 128);">* Yaitu ulama jarh dan ta’dil</span></p> <p><strong>Sempurna hafalannya (<span class="arab">تمام الضبت</span>)</strong> adalah ia bisa menyampaikan riwayat yang dia miliki, baik didapatkan melalui mendengar atau melihat dalam bentuk sebagaimana dia dapatkan tanpa ditambah atau dikurangi. Akan tetapi kesalahan yang sedikit dinilai tidak mengapa, karena manusia tidak dapat terbebas dari kesalahan menambah atau mengurangi*.</p> <p>—</p> <p><span style="color: rgb(0, 0, 128);">* Dia bisa menceritakan apa yang ada dalam dirinya baik dia dapatkan dari pendengaran atau penglihatan dan dia menceritakan kepada orang lain tanpa kesalahan atau dengan sedikit kesalahan.</span></p> <p>Diketahui dobt (kesempurnaan hafalan) seorang rowi dengan dua hal; <strong>keselarasannya</strong>, yaitu selaras dengan rowi-rowi yang terkenal tsiqoh dan orang yang kuat hafalannya meskipun hanya sesuai dengan mereka secara umum. Kemudian mendapat <strong>tazkiyah/penegasan</strong>, yaitu dengan penegasan dari orang yang teranggap ucapannya dalam masalah ini.</p> <p><strong>Bersambung sanadnya (<span class="arab">اتصال السند</span>)</strong> yaitu setiap rowi berjumpa dengan gurunya atau dari orang yang dia mengambil riwayat darinya baik secara langsung atau statusnya berjumpa.</p> <p>Adapun berjumpa secara langsung maksudnya adalah berjumpa dengan gurunya dan mendengar dari gurunya atau melihat gurunya dan dia mengatakan, “Telah menceritakan padaku.” (<span class="arab">حدثني</span>), “Aku mendengar” (<span class="arab">سمعت</span>), “Aku melihat fulan” (<span class="arab">رأيت فلان</span>), dan kalimat semacamnya.</p> <p>Sedangkan statusnya berjumpa maksudnya adalah seorang rowi meriwayatkan dari orang yang sezaman dengannya dengan menggunakan kata-kata yang mengandung kemungkinan dia melihat atau mendengar gurunya. Misalnya dengan kata-kata, “Fulan berkata” (<span class="arab">قال فلان</span>), “Dari fulan” (<span class="arab">عن فلان</span>), “Fulan melakukan” (<span class="arab">فعل فلان</span>) dan yang semacam itu.</p> <p>Terdapat dua pendapat:</p> <ol><li> Harus ada bukti, ini adalah pendapat Imam Bukhori.</li><li> Cukup dengan mungkin dia bertemu, ini adalah pendapat Imam Muslim*.</li></ol> <p>—<br /><span style="color: rgb(0, 0, 128);">* Oleh karena itulah kualitas <em>Shohih Bukhori</em> dinilai lebih tinggi dari <em>Shohih Muslim</em>.</span></p> <p>Imam Nawawi <em>rohimahullah </em>berkata tentang pendapat Imam Muslim di <em>Syaroh Shohih Muslim</em>, “Pendapat Imam Muslim diingkari banyak pakar, meskipun kami tidak menilai Imam Muslim melakukan perbuatan tersebut dalam <em>Shohih</em>-nya sejalan dengan pendapat beliau ini, karena Imam Muslim mengumpulkan banyak jalur yang tidak mungkin terwujud hukum yang dia bolehkan. Wallahu a’lam.”</p> <p>Perbedaaan ini berlaku untuk rowi yang bukan <em>mudallis </em>(akan datang penjelasannya, insya Allah-ed). Adapun <em>mudallis </em>tidaklah divonis haditsnya bersambung kecuali jika dia menegaskan bahwa dia mendengar atau melihat secara langsung.</p> <p>Tidak bersambungnya suatu sanad diketahui dengan dua cara:</p> <ol><li> Tarikh (sejarah), yaitu mengetahui bahwasannya guru atau orang yang diambil riwayat darinya sudah meninggal ketika dia belum mencapai usia tamyiz yaitu usia 7 tahun*.<br />—<br /><span style="color: rgb(0, 0, 128);">* Misalnya gurunya sudah meninggal ketika ia masih berumur 3 tahun, maka ini jelas tidak bersambung.</span></li><li>Dengan penegasan seorang rowi atau salah satu dari ulama pakar hadits menegaskan bahwasannya rowinya tidak bersambung atau fulan ini tidak mendengar ataumelihat dari gurunya apa yang dia ceritakan.</li></ol> <p><strong>Keganjilan (<span class="arab">الشذوذ</span>)</strong> yaitu seorang rowi yang tsiqoh menyelisihi rowi yang lebih kuat darinya, bisa dengan lebih sempurna keadilannya atau hafalannya, atau lebih jumlahnya atau lebih bermulazamah dengan gurunya atau yang semacam itu*.<br />—</p> <p><span style="color: rgb(0, 0, 128);">* Misalnya seorang guru memiliki dua murid. Murid yang pertama sudah mulazamah dalam waktu berpuluh-puluh tahun. Murid yang kedua hanya lima tahun. Kemudian murid yang kedua memberikan khobar dari gurunya yang menyelisihi murid yang pertama. Maka yang lebih tahu maksud gurunya adalah murid yang pertama. Maka boleh jadi murid yang kedua mendengar dari gurunya akan tetapi ia tidak paham. Maka yang lebih tsiqoh adalah murid yang pertama.</span></p> <p>Misalnya, hadits ‘Abdullah ibn Zaid tentang tata cara wudhu Nabi <em>shollallahu ‘alaihi wa sallam</em> bahwasannnya Nabi mengusap kepalanya dengan air yang bukan sisa dari tangannya*.<br />—<br /><span style="color: rgb(0, 0, 128);">* Artinya mengambil air baru untuk mengusap kepala, bukan air yang sebelumnya digunakani untuk membasuh tangan.</span></p> <p>Hadits ini diriwayatkan Imam Muslim dengan lafadz ini dari jalur Ibn Wahab. Dan Imam Baihaqi meriwayatkan dari jalan Ibn Wahab juga dengan lafadz yang berbeda, yaitu bahwasannya Nabi <em>shollallahu ‘alaihi wa sallam</em> mengambil untuk kedua telinganya air yang bukan air yang beliau ambil untuk kepalanya*.<br />—<br /><span style="color: rgb(0, 0, 128);">* Artinya mengambil air baru untuk mengusap telinga.</span></p> <p>Maka hadits Baihaqi adalah riwayat yang ganjil (<em>syadz</em>) karena rowi dari Ibn Wahab memang tsiqoh*, tapi rowi ini menyelisihi para rowi yang lebih banyak jumlahnya dari dia. Karena hadits ini diriwayatkan sejumlah orang dari Ibnu Wahab namun dengan menggunakan lafadz Muslim. Maka berdasar hal tersebut, riwayat Baihaqi tidak shohih meskipun perowinya tsiqoh, yaitu karena tidak terbebas dari <em>syadz</em>.</p> <p><span style="color: rgb(0, 0, 128);">—<br />* Rowi yang dipakai oleh Baihaqi yang merupakan muridnya Ibnu Wahab memang tsiqoh. Akan tetapi rowi ini menyelisihi para rowi yang lebih banyak jumlahnya daripada dia.</span></p> <p><strong>‘Illat (penyakit yang membuat cacat) (<span class="arab">العلة القادحة</span>)</strong>, yaitu setelah diteliti ternyata jelas diketahui ada sebab yang membuat cacat untuk diterima suatu hadits karena diketahui ternyata hadits tersebut munqothi’ (terputus), mauquf (perkataan sahabat), atau rowinya adalah orang fasiq, jelek hafalannya, atau ahli bid’ah* dan haditsnya mendukung kebid’ahannya dan semacam itu.<br />—<br /><span style="color: rgb(0, 0, 128);">* Ada beberapa pendapat berkaitan dengan riwayat dari ahlu bid’ah:<br /></span></p> <ol><li><span style="color: rgb(0, 0, 128);"> Ditolak secara mutlak</span></li><li><span style="color: rgb(0, 0, 128);"> Diterima secara mutlak.</span></li><li><span style="color: rgb(0, 0, 128);"> Diperinci (tafshil). Merinci dengan melihat dia mendakwahkan bid’ahnya atau tidak. Jika jawabannya ya, maka riwayatnya tidak bisa diterima.</span></li><li><span style="color: rgb(0, 0, 128);"> Diperinci. Melihat hadits yang diriwayatkanya. Menguatkan kebid’ahannya atau tidak, baik dia da’i atau bukan.</span></li></ol> <p><span style="color: rgb(0, 0, 128);"> Ringkasnya penjelasan di Taisir Mustholah Mahmud Thohan, persyaratan riwayat dari ahlu bid’ah adalah :<br /></span></p> <ol><li><span style="color: rgb(0, 0, 128);"> Bukan da’i</span></li><li><span style="color: rgb(0, 0, 128);"> Bukan hadits yang mendukung bid’ah yang dia miliki.</span></li></ol> <p>Maka, hadits tersebut tidak dihukumi sebagai shohih karena tidak selamat dari penyakit yang membuat cacat1*. Contohnya hadits Ibnu ‘Umar rodhiallahu’anhu dari Nabi <em>shollallahu ‘alaihi wa sallam</em> bersabda,</p> <p><em>“Perempuan yang haidh dan orang yang junub tidak boleh membaca sedikitpun ayat Al Qur’an.”</em></p> <p>—<br /><span style="color: rgb(0, 0, 128);">* Ini adalah termasuk ilmu hadits yang berat, yaitu tentang masalah ilmu al illal. Terutama jika illalnya adalah masalah yang samar.</span></p> <p>Hadits ini diriwayatkan Tirmidzi, dan Imam Tirmidizi mengatakan kami tidak mengenal hadits ini kecuali dari hadits Isma’il ibn ‘Iyas dari Musa ibn ‘Uqbah*.</p> <p>—<br /><span style="color: rgb(0, 0, 128);">* Artinya hadits ini termasuk hadits ghorib (yaitu punya satu jalur saja).</span></p> <p>Maka dari sanad yang tampak adalah shohih, akan tetapi hadits ini memiliki cacat, riwayat Isma’il ibn ‘Iyas dari orang-orang Hijaz adalah dho’if. Jika gurunya adalah orang Hijaz maka haditsnya adalah dho’if dan hadits ini adalah yang termasuk dia dapatkan dari Hijaz**. Maka hadits ini tidak shohih karena tidak terbebas dari penyakit yang membuat cacat.</p> <p>—<br /><span style="color: rgb(0, 0, 128);">** Artinya Musa ibn ‘Uqbah adalah dari Hijaz.</span></p> <p>Jika penyakitnya tidak membuat cacat, maka tidak menghalangi hadits tersebut untuk dinilai shohih atau hasan. Contohnya hadits dari sahabat Abu Ayyub Al Anshori <em>rodhiallahu’anhu</em> dari Nabi <em>shollallahu ‘alaihi wa sallam</em> bersabda,</p> <p><span class="arab">من صام رمضان، ثم أتبعه ستا من شوال كان كصيام الدهر</span></p> <p><em>“Barangsiapa berpuasa Romadhon, kemudian diikuti dengan 6 hari di bulan Syawal, maka ia seakan-akan puasa dahr (puasa setiap hari, seandainya puasa dahr itu dibolehkan).*”</em></p> <p>—</p> <p><span style="color: rgb(0, 0, 128);"> * Ini adalah termasuk pengandaian. Karena ulama berselisih pendapat tentang puasa dahr. Sebagian ulama melarangnya. Dan itulah pendapat yang lebih rojih karena ada hadits tentang hal ini,<em>“Siapa yang puasa setiap hari tidak akan dinilai orang yang berpuasa dan juga tidak dinilai sebagai orang yang tidak puasa”. </em>Jadi, dari hadits tersebut tidak menunjukkan bolehnya puasa dahr, namun hanya sebagai pengandaian.</span></p> <p>Hadits ini diriwayatkan Imam Muslim dari jalan Sa’ad ibn Sa’id, dan pada hadits ini terdapat ‘illat dengan sebab rowi ini, yaitu Sa’ad ibn Sa’id karena Imam Ahmad mendho’ifkannya. ‘Illat ini tidak membuat cacat, karena sebagian ulama menshohihkannya, dan dia memiliki hadits penguat (<em>muttabi</em>‘)*. Imam Muslim menyampaikan hadits ini dalam <em>Shohih</em>-nya menunjukkan keshohihan menurut Muslim, dan ‘illatnya tidak membuat cacat.<br />—<br /><span style="color: rgb(0, 0, 128);">* Hadits <em>muttabi’ </em>(penguat) adalah jika rowi hadits tersebut dari sahabat yang <strong>sama</strong>. Sedangkan hadits syawahid, jika sumbernya <strong>beda</strong>.</span></p> <p><strong>Dikumpulkannya Dua Hukum, yaitu Penilaian Shohih dan Hasan dalam Satu Hadits</strong></p> <p>Di depan telah kita bahas bahwa hadits shohih adalah satu bagian dari hadits yang berbeda dengan hadits hasan. Maka keduanya adalah dua hal yang berbeda.</p> <p>Akan tetapi sering kita dapatkan, terkadang suatu hadits diberi nilai hadits hasan shohih. Maka bagaimana menyesuaikan dua penilaian ini padahal ada perbedaan di antara keduanya?</p> <p>Kami katakan (penulis kitab ed), “Jika hadits tersebut memiliki dua jalur, maka maksud hadits tersebut bahwa salah satu jalannya shohih dan jalur yang kedua adalah hasan. Maka dikumpulkan antara dua sifat ini dengan melihat jalurnya*. Adapun jika hadits tersebut hanya memiliki satu jalan, maka maknanya adalah ulama tersebut ragu-ragu, apakah sudah mencapai derajat shohih atau derajat hasan**.”</p> <p>—<br /><span style="color: rgb(0, 0, 128);">* Dimaknai hadits shohih wa hasan (shohih dan hasan). Artinya, hasan untuk jalur ini dan shohih untuk hadits yang satunya lagi.</span></p> <p><span style="color: rgb(0, 0, 128);"> ** Dimaknai hadits shohih aw hasan (shohih atau hasan). Misalnya dalam hadits ghorib. Jadi ragu-ragu antara hadits ini hasan atau shohih. Adapun kalimat (<span class="arab">لأصح قى هذا الباب</span>) “Hadits ini adalah hadits yang paling shohih dalam bab ini”, maka ini bukanlah menilai bahwa hadits tersebut shohih tapi maksudnya hadits tersebut yang paling sedikit cacatnya. Bisa jadi haditsnya dho’if. Namun hadits dho’if lainnya banyak dan yang paling ringan cacatnya adalah hadits tersebut.</span></p> <p>***</p> <p>Artikel <a title="Taisir Musthalah Hadits (4): Penjelasan Untuk Shohih Lidzatihi" href="http://muslimah.or.id/hadits/penjelasan-untuk-shohih-lidzatihi.html">muslimah.or.id</a></p> </div>Nor Baizura bt Zulkiflihttp://www.blogger.com/profile/03309953886503563441noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3016061427110327614.post-9852945536549023592010-01-03T11:40:00.001-08:002010-01-03T11:41:02.741-08:00Taisir Musthalah Hadits (3): Hadits Ahad<div class="post-single"> <h1>Taisir Musthalah Hadits (3): Hadits Ahad</h1> <p><a title="Taisir Musthalah Hadits-3-Hadits Ahad" href="http://muslimah.or.id/hadits/taisir-musthalah-hadits-3-hadits-ahad.html"><strong>Hadits Ahad</strong></a></p> <p>a. Pengertian<br />b. Macam-macamnya berdasarkan jalan periwayatan beserta contoh-contohnya.<br />c. Macam-macamnya berdasarkan derajatnya beserta contoh-contohnya.<br />d. Faedah-faedahnya.</p> <p>a. Ahad (<span class="arab">الاحاد</span>).</p> <p>Ahad adalah hadits selain yang muttawattir.</p> <p><span id="more-223"></span></p> <p>b. Macam-macam hadits ahad <strong>berdasarkan jalan periwayatan</strong> itu ada 3 macam, yaitu masyhur, ‘aziz, dan ghorib.</p> <ol><li>Masyhur (<span class="arab">المشهور</span>) adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga rowi disetiap tingkatan, tapi belum sampai pada derajat muttawattir.Contohnya perkataan Nabi <em>shollallahu ‘alaihi wa sallam</em>,<span class="arab">المسام من سلم المسلمون من لسانه و يده</span><em>“</em> <p><em></em><em>Muslim sejati adalah muslim yang saudaranya terbebas dari gangguan lisan dan tangannya.”</em><em></em> </p></li><li>‘Aziz (<span class="arab">العزيز</span>) adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua rowi saja dimasing-masing tingkatan. Contohnya perkataaan Nabi <em>shollallahu ‘alaihi wa sallam</em>,<span class="arab">لا يؤمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من ولده و الناس أجمعين</span><br /><em><br />“Tidak sempurna iman kalian hingga Aku lebih dia cintai dari orang tua, anaknya bahkan manusia seluruhnya.”</em><em></em></li><li>Ghorib (<span class="arab">الغريب</span>) adalah hadits yang diriwayatkan oleh satu orang saja. Contohnya perkataan Nabi <em>shollallahu ‘alaihi wa </em><em>sallam</em>,<span class="arab">إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى</span>…<em>“Sesungguhnya setiap amal perbuatan itu hanyalah dinilai bila disertai dengan niat, dan sesungguhnya setiap orang hanya memperoleh sesuai apa yang diniatkannya…</em>(hingga akhir hadits)” (HR. Bukhori dan Muslim) <p>Hadits ini dari Nabi <em>shollallahu ‘alaihi wa sallam</em> hanya diriwayatkan oleh Umar bin Khotob <em>rodhiallahu ‘anhu</em> dan yang meriwayatkan dari Umar hanya ‘Alqomah ibn Abi Waqosh dan yang meriwayatkan dari ‘Alqomah hanya Muhammad ibn ibrohim Attaimi, dan yang meriwayatkan dari Muhammad hanya Yahya ibn Sa’id al Anshori. Kesemuanya adalah tabi’in, kemudian diriwayatkan dari Yahya oleh banyak orang. </p></li></ol> <p>c. Macam-macam hadits ahad <strong>berdasar derajatnya</strong>, yaitu shohih lidzatihi, shohih lighoirihi, hasan lidzatihi, hasan lighoirihi dan dho’if.</p> <ol><li> Shohih lidzatihi (shohih dengan sendirinya) (<span class="arab">الصحيح لذاته</span>). Shohih lidzatihi adalah hadits yang rowinya: <ul><li>Adil (<span class="arab">عدل</span>),</li><li>Hafalannya kuat (<span class="arab">تام الضبط</span>),</li><li>Sanadnya bersambung (<span class="arab">بسند متصل</span>),</li><li>Terbebas dari kejanggalan dan kecacatan (<span class="arab">سلم من الشذوذ و العلة القادحة</span>).</li></ul> <p>Contohnya sabda Nabi <em>shollallahu ‘alaihi wa sallam</em>,</p> <p><span class="arab">من يرد اللّه به خيرا يفقهه في الدين</span></p> <p><em>“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan maka akan difahamkan ilmu agama.”</em> (HR. Bukhori dan Muslim)</p> <p>Cara mengetahui keshohihan suatu hadits itu dengan 3 perkara:</p> <ul><li>Jika diketahui penulis buku hadits tersebut hanya mencantumkan hadits-hadits yang shohih saja dengan syarat penulis tersebut bisa dipercaya dalam melakukan penshohihan seperti <em>Shohih Bukhori</em> dan <em>Muslim</em>.</li><li>Hadits tersebut dinilai shohih oleh imam yang penilaiannya dalam penshohihan itu bisa dipercaya, dan dia bukan termasuk orang yang terkenal mudah dalam memberikan nilai shohih.</li><li>Meneliti sendiri rowinya dan bagaimana cara periwayatan rowi tersebut terhadap hadits.</li></ul> <p>Jika semua kriteria shohih lengkap, maka hadits tersebut dinilai sebagai hadits yang shohih. </p></li><li>Shohih lighoirihi (shohih dengan bantuan) (<span class="arab">الصحيح لغيره</span>).<br />Shohih lighoirihi adalah hadits hasan dengan sendirinya (hasan lidzatihi) apabila memiliki beberapa jalur periwayatan yang berbeda-beda. Misalnya, <p>Dari ‘Abdillah Ibn ‘Amr bin ‘Ash <em>rodhiallahu ‘anhu</em>, Nabi <em>shollallahu ‘alaihi wa sallam</em> memerintahkannya untuk menyiapkan pasukan dan ternyata kekurangan unta.</p> <p>Maka Nabi <em>shollallahu ‘alaihi wa sallam</em> bersabda, <em>“Belikan untuk kita unta perang dengan unta-unta yang masih muda.”</em> Maka ia mengambil 2-3 unta muda dan mendapat 1 unta perang.</p> <p>Hadits Ini diriwayatkan Ahmad dari jalan Muhammad bin Ishaq dan diriwayatkan Baihaqi dari jalan ‘Amr bin Syu’aib. Setiap jalan ini jika dilihat secara bersendirian tidak bisa sampai derajat shohih, hanya sampai hasan. Tapi jika dilihat secara total, maka jadilah hadits shohih lighoiri. Hadits ini dinamakan shohih lighoiri, walaupun nilai masing-masing jalan secara bersendirian tidak sampai derajat shohih, namun karena bila dinilai secara total bisa saling menguatkan hingga mencapai derajat shohih. </p></li><li>Hasan lidzatihi ( hasan dengan sendirinya) (<span class="arab">الحسن لذاته</span>).<br />Hasan lidzatihi adalah hadits yang diriwayatkan oleh rowi yang adil tapi hafalannya kurang sempurna dengan sanad bersambung dan selamat dari keganjilan dan kecacatan. Jadi, tidak ada perbedaan antara hadits ini dengan hadits shohih lidzatihi kecuali dalam satu persyaratan, yaitu hadits hasan lidzatihi itu kalah dalam sisi hafalan. <p>Misalnya perkataan Nabi <em>shollallahu ‘alaihi wa sallam,</em></p> <p><em></em><span class="arab">مفتاح الضلاة الطهور، و تحريمها التكبير، و تحليلها التسليم</span><br /><em><br />“Sholat itu dibuka dengan bersuci, diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam.”</em><</p> <p>Hadits-hadits yang dimungkinkan hadits hasan adalah hadits yang diriwayatkan Abu Daud secara sendirian, demikian keterangan dari Ibnu Sholah. </p></li><li>Hasan lighoirihi (hasan dengan bantuan) (<span class="arab">الحسن لغيره</span>).<br />Hasan lighoirihi adalah hadits yang dho’ifnya ringan dan memiliki beberapa jalan yang bisa saling menguatkan satu dengan yang lainnya karena menimbang didalamnya tidak ada pendusta atau rowi yang pernah tertuduh membuat hadits palsu. Misalnya,Hadits dari Umar ibn Khatthab <em>rodhiallahu’anhu </em>berkata bahwasannya Nabi <em>shollallahu ‘alaihi wa sallam</em> jika mengangkat kedua tangannya dalam do’a maka beliau tidak menurunkannya hingga mengusapkan kedua tangan ke wajahnya. (HR. Tirmidzi) <p>Ibnu Hajar dalam Bulughul Marom berkata, “Hadits ini memiliki banyak hadits penguat dari riwayat Abu Daud dan yang selainnya. Gabungan hadits-hadits tersebut menuntut agar hadits tersebut dinilai sebagai hadits hasan.</p> <p>Dan dinamakan hasan lighoirihi karena jika hanya melihat masing-masing sanadnya secara bersendirian maka hadits tersebut tidak mencapai derajat hasan. Namun, bila dilihat keseluruhan jalur periwayatan maka hadits tersebut menjadi kuat hingga mencapai derajat hasan. </p></li><li>Hadits dho’if (<span class="arab">الضعيف</span>)<br />Hadits dho’if adalah hadits yang tidak memenuhi persyaratan shohih dan hasan. Misalnya,”Jagalah diri-diri kalian dari gangguan orang lain dengan buruk sangka.” <p>Dan yang kemungkinan besar merupakan hadits dho’if adalah hadits yang diriwayatkan secara bersendirian oleh ‘Uqaili, Ibn ‘Adi, Khatib Al Baghdadi, Ibnu ‘Asakir dalam <em>Tarikh</em>-nya, Adailami dalam <em>Musnad Firdaus</em>, atau Tirmidzi Al Hakim dalam <em>Nawadirul Ushul</em> dan beliau bukanlah Tirmidzi penulis kitab <em>Sunan </em>atau Hakim dan Ibnu Jarud dalam <em>Tarikh </em>keduanya. </p></li></ol> <p>d. Hadits-hadits ahad (selain hadits dho’if) memberi dua faedah:</p> <ol><li> Dzon, yaitu sangkaan kuat tentang sahnya penyandaran penukilan hadits dari seseorang. Dan hal ini bertingkat-tingkat sesuai tingkatnya masing-masing yang telah disebutkan. Terkadang hadits ahad memberi faedah ilmu jika ditemukan banyak indikator dan dikuatkan oleh ushul (kaedah pokok dalam syari’at)<span style="color: rgb(0, 0, 128);">*</span>.<br />—<br /><span style="color: rgb(0, 0, 128);"> * Misalnya dengan indikator (qorinah), hadits tersebut diterima oleh seluruh umat. Tidak ada yang menolaknya misal hadits innamal ‘amalu biniyat. Ini termasuk hadits ghorib, akan tetapi karena seluruh ulama menerimanya, maka ini adalah qorinah yang menunjukkan bahwa hadits ini adalah benar-benar dari Nabi <em>shollallahu ‘alaihi wa sallam</em>. Atau hadits tersebut didukung oleh ushul, yaitu didukung oleh kaedah pokok dalam syari’at. Ada banyak ayat yang menunjukkan. kebenaran maksud dari hadits tersebut. Maka ini merupakan indikasi kuat bahwa Nabi <em>shollallahu ‘alaihi wa sallam</em> mengucapkannya. Atau itu adalah hadits yang muttafaqun ‘alaih. Meskipun itu adalah hadits ahad atau ghorib. Namun itu menjadi qorinah yang kuat. Ini pendapat yang dirojihkan Syaikh Ibnu Utsaimin dalam masalah ini yaitu hadits ahad itu memberi faidah dzon kecuali ada qorinah. Jadi, hadits ahad itu memberi faidah ilmu (yakin) jika ada indikator-indikator pendukungnya. Dalam masalah ini ada 3 pendapat ulama, yaitu :</span><span style="color: rgb(0, 0, 128);">Jika itu adalah hadits yang shohih meskipun ahad maka memberi faidah ilmu. Memberi makna yakin bahwa Nabi <em>shollallahu ‘alaihi wa sallam</em> mengucapkannya. Ini adalah madzhabnya Imam Ibn Hazm.</span><span style="color: rgb(0, 0, 128);">Memberi faidah dzon.</span> <p><span style="color: rgb(0, 0, 128);">Memberi makna keyakinan (’ilmu) bahwa Nabi <em>shollallahu ‘alaihi wa sallam</em> mengucapkannya jika ada indikator penguat (maka jika tidak ada penguat maka memberi faedah dzon). Dan ini adalah pendapat yang dipilih Syaikh Islam Ibnu Taimiyah</span> </p></li><li> Mengamalkan kandungannya. Dengan mempercayainya jika berupa berita dan mempraktekkannya jika berupa tuntutan*. <p><span style="color: rgb(0, 0, 128);">* Baik tuntutan untuk mengerjakannya atau tuntutan untuk meninggalkannya. Jadi hadits ahad memberi faedah amal. Jika hadits itu berupa masalah aqidah berupa masalah khobar maka tetap wajib menjadikannya sebagai aqidah dan mempercayainya. Jadi ucapan ulama bahwa hadits ahad yang shahih itu memberi makna sangkaan kuat, itu sama sekali tidak ada hubungannya bahwa dalam masalah aqidah tidak diamalkan. </span><span style="color: rgb(0, 0, 128);">Meskipun ada tiga pendapat untuk masalah ini, meskipun ulama yang memilih dzon secara mutlak sekalipun, namun mereka tetap beramal dengan hadits ahad dalam masalah aqidah dalam masalah khobar dengan mempercayai dan mengimaninya sebagai bagian dari aqidah. Inilah curangnya Hizbut Tahrir.</span></p> <p><span style="color: rgb(0, 0, 128);">Ketika mereka mengatakannya bahwasannya mereka tidak mau menerima hadits ahad dalam masalah aqidah. Lalu mereka mengatakan yang mendukung kami adalah ulama ini, disebutkan satu dua tiga dst disebutkan. Padahal apa yang disebutkan oleh ulama tersebut bahwa hadits ahad memberi makna (dzon) sangkaan. Dan sangkaan yang dimaksudkan adalah sangkaan yang kuat bukan sekedar sangkaan. Sama sekali mereka tidak bermaksud dikarenakan itu memberi makna dzon kemudian tidak dipakai dalam masalah aqidah. Namun Hizbut Tahrir curang. Mereka katakan yang mendukung kami adalah ulama ini dan itu. Padahal ulama tersebut membicarakan dari segi itu memberi makna dzon atau tidak dan beliau merojihkan memberi makna dzon. Lalu apakah beliau mengatakan itu tidak diterima sebagai dalil dalam masalah aqidah? Tidak. Beliau tetap menerimanya sebagai dalil dalam masalah aqidah. Hanya saja ulama tersebut memilih memberi makna dzon. Karena mengamalkan hadits ahad dalam masalah aqidah adalah ijma ulama salaf. Sebagaimana dinukil oleh banyak ulama. Meskipun itu adalah hadits ahad, maka itu adalah memberi faidah amal dengan dijadikannya sebagai aqidah jika berisi masalah-masalah aqidah.</span> </p></li></ol> <p>Adapun hadits yang dho’if, tidak memberi faedah dzon dan amal. Dan tidak boleh menganggapnya sebagai dalil. Tidak boleh pula menyebutkan hadits dho’if tanpa diiringi dengan penjelasan tentang dho’ifnya. Kecuali untuk masalah motivasi dan menakuti-nakuti (targhib wa tarhib). Maka diperbolehkan menyebutkan hadits dho’if dengan beberapa persyaratan menurut sebagian ulama. Sejumlah ulama memberi kemudahan untuk menyebutkan hadits dho’if dengan tiga syarat<span style="color: rgb(0, 0, 255);">* </span>.</p> <p>—</p> <p><span style="color: rgb(0, 0, 128);">*** Tiga syarat ini berasal dari Ibnu Hajar Al Asqolani. Kalau dalam masalah hukum, Imam Nawawi mengatakan bahwa ulama ijma tidak boleh berdalil dengan hadits dho’if dalam masalah hukum. Dan ada perselisihan dalam masalah fadhoil amal/masalah targhib dan tarhib. Ada ulama yang menolak hadits yang dho’if untuk targhib dan tarhib sebagai dalil secara mutlak. Ini adalah pendapat Imam Ibnu Hazm dan Imam Muslim. Inilah pendapat yang dirojihkan Syaikh Al Imam Al bani di Muqodimmah Shohih Jami Shogir. Namun ada ulama yang membolehkan dengan persyaratan. Semacam Ibnu Hajar Al Asqolani. membolehkan dengan tiga persyaratan ini.</span></p> <ol><li>Dho’ifnya bukan dho’if yang sangat<span style="color: rgb(0, 0, 255);">*.<br />—<br /><span style="color: rgb(0, 0, 128);">* Dho’ifnya tidak sangat, mungkin karena mursal atau ada rowi yang majhul.</span><br /></span></li><li>Hendaknya pokok amal yang disebutkan di dalamnya motivasi dan menakuti-nakuti ada berdasarkan hadits yang shohih*.<br />—<br /><span style="color: rgb(0, 0, 128);">* </span><span style="color: rgb(0, 0, 255);"><span style="color: rgb(0, 0, 128);">Misalnya, sholat dhuha adalah sholat yang disyariatkan berdasar hadits yang shohih. Kemudian ada hadits dho’if yang dho’ifnya ringan berkenaan keutamaan sholat dhuha. Artinya sholat dhuhanya sudah masru’ (disyari’atkan) berdasar hadits yang shohih. Tsabit berdasar hadits yang shohih. Misalnya juga tentang sholat malam. Tentang sholat malam haditsnya shohih kemudian ada hadits yang dho’ifnya ringan menceritakan tentang keutamaan orang yang melaksanakan sholat malam. Namun amalnya sudah masru berdasar hadits yang shohih. <p>Jika amalnya belum jelas dalilnya, maka tidak boleh. Karena syaratnya ashlul amal (landasan beramal) terdapat dalil yang shohih. Misalnya ada satu hadis menyatakan keutamaan suatu amal dan tidak ada hadits shohih yang menyatakan disyariatkannya amalan ini maka tidak boleh menyebutkan hadits dho’if ini. Karena asal muasal amal yaitu ibadah yang hendak dimotivasi itu tidak disyariatkan sebab dasarnya adalah hadits yang shohih.</p></span><br /></span></li><li>Tidak diyakini bahwa Nabi <em>shollallahu ‘alaihi wa sallam</em> mengucapkannya*.<br />—<br /><span style="color: rgb(0, 0, 128);">* Imam Albani rohimahullah mengatakan, “Jika tiga persyaratan ini diperhatikan oleh orang yang membolehkan hadits dho’if dalam fadhoilul a’mal maka selesai masalah”. Karena ketika menyampaikan dia tahu, misalnya ini adalah hadits mursal. Maka dia bisa memenuhi persyaratan ketiga karena tahu.Namun jika orangnya tidak mengetahui, ini lemahnya seberapa atau bahkan palsu bagaimana melakukan poin yang ketiga. Yang menjadi masalah ketika berdalil dengan hadits dho’if tentang suatu amal kemudian diingatkan mereka menyatakan, “Ini kan fadhoil amal/targhib dan tarhib. Kan boleh menurut sebagian ulama”. <p>Namun ketika ditanya, bagaimana dengan persyaratannyat. Pertama dho’ifnya tidak sangat dan syarat ketiga tidak boleh yakin bahwa Nabi <em>shollallahu ‘alaihi wa sallam</em> mengucapkannya, mereka bahkan tidak tahu Oleh karena itu jika tiga syarat ini diperhatikan, maka selesai masalah. Namun tiga persyaratan tersebut tidak bisa dipenuhi kecuali oleh pakar hadits. Sehingga dia tidak meyakini bahwa itu adalah bukan hadits dari Nabi <em>shollallahu ‘alaihi wa sallam</em>.</p> </span></li></ol> <p>Berdasarkan keterangan di atas, maka faedah menyebutkan hadits dho’if ketika memotivasi suatu amal (<em>targhib</em>) adalah mendorong jiwa untuk melakukan amal yang dimotivasi untuk mengharapkan pahala itu. Kemudian jika mendapatkan pahala maka alhamdulillah dan jika tidak maka tidak menjadi masalah baginya kesungguhannya dalam beribadah. Karena ibadahnya disyari’atkan dan ada pahala di dalamnya. Karena orang tersebut masih mendapatkan pahala yang pokok, yaitu pahala asal amal yang berdasar hadits yang shohih yang merupakan konsekuensi melakukan suatu perkara yang diperintahkan. Sedangkan suatu perkara yang diperintahkan pasti ada pahalanya. Maka dia tidak kehilangan pahala yang asli.</p> <p>Dan faidah menyebut hadits dho’if dalam <em>tarhib </em>adalah menakuti-nakuti jiwa untuk melakukan perkara yang ditakut-takutkan. Karena khawatir terjerumus dalam hukuman tersebut. Dan tidak masalah baginya jika dia menjauhinya dan tidak terjadi hukuman yang disebutkan.</p> <p>***<br />Artikel <a title="Taisir Musthalah Hadits-3-Hadits Ahad" href="http://muslimah.or.id/hadits/taisir-musthalah-hadits-3-hadits-ahad.html">muslimah.or.id</a></p> </div>Nor Baizura bt Zulkiflihttp://www.blogger.com/profile/03309953886503563441noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3016061427110327614.post-84052346375346769292010-01-03T11:39:00.000-08:002010-01-03T11:40:21.863-08:00Taisir Musthalah Hadits (2): Pengertian Musthalah Hadits dan Pembagian Khabar Berdasarkan Jalan Periwayatan BAB I Mustholah hadits (مصطلح الجديث)<div class="post-single"> <h1>Taisir Musthalah Hadits (2): Pengertian Musthalah Hadits dan Pembagian Khabar Berdasarkan Jalan Periwayatan</h1> <p>BAB I</p> <p><a title="Taisir Musthalah Hadits" href="http://muslimah.or.id/hadits/taisir-musthalah-hadits-2.html"><strong>Mustholah hadits (مصطلح الجديث)</strong></a></p> <ol><li>Pengertian</li><li>Faedah</li></ol> <ol><li><strong>Mustholah hadits</strong> adalah ilmu yang menjadi alat untuk mengetahui kondisi seorang periwayat dan hadits yang diriwayatkan dari sisi diterima atau ditolak.</li><li>Faedahnya adalah untuk mengetahui riwayat-riwayat yang diterima atau ditolak dari seorang periwayat dan hadits yang diriwayatkan.</li></ol> <p><span id="more-213"></span></p> <p>Al Hadits, Al Khobar, Al Atsar, Al Hadits Qudsi</p> <p><strong>Al Hadits (الحديث<span style="color: rgb(0, 0, 255);">)*</span>: </strong><br />Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi <em>shollallahu ‘alaihi wa sallam</em> baik perbuatan, perkataan, persetujuan atau sifat<span style="color: rgb(0, 0, 255);">**</span> .</p> <p><span style="color: rgb(0, 0, 255);">* Ini adalah pengertian hadtis secara istilah. Adapun pengertian secara bahasa bermakna “yang baru”.</span><br /><span style="color: rgb(0, 0, 255);">** Ada 2 sifat : sifat jasmani dan sifat akhlak</span></p> <p><strong>Al Khobar (الخبر):</strong><br />Semakna dengan hadits, maka definisinya sama dengan definisi al hadits. Ada yang berpendapat bahwa khobar adalah segala yang disandarkan kepada Nabi <em>shollallahu ‘alaihi wa sallam</em> atau kepada selainnya, berdasarkan definisi ini maka khobar itu lebih umum dan lebih luas dari pada hadits.</p> <p><strong>Al Atsar (الأثر):</strong><br />Segala yang disandarkan kepada para sahabat atau tabi’in, tapi terkadang juga digunakan untuk hadits yang disandarkan kepada Nabi <em>shollallahu ‘alaihi wa sallam</em>, apabila berkait misal dikatakan atsar dari Nabi <em>shollallahu ‘alaihi wa sallam</em>.</p> <p><strong>Hadits Qudsi (الحديث القدسي):</strong><br />Hadits yang diriwayatkan Nabi <em>shollallahu ‘alaihi wa sallam</em> dari Allah Ta’ala, juga dinamai juga <strong>hadits Rabbani</strong> dan <strong>hadits Ilahi</strong>. Misalnya perkataan Nabi<em> shollallahu ‘alaihi wa sallam</em> yang meriwayatkan dari Rabb Ta’ala, Dia berkata,</p> <p>“Aku mengikuti persangkaan hamba-Ku, dan aku bersamanya ketika mengingat-Ku, jika dia meningat-Ku dalam dirinya: maka aku mengingatnya dalam diri-Ku, Jika dia mengingat-Ku dalam sekumpulan orang maka Aku mengingatnya dalam sekumpulan yang lebih baik dari sekumpulan orang tersebut.”<span style="color: rgb(0, 0, 255);"> * </span></p> <p><span style="color: rgb(0, 0, 255);">* Di sini ada sifat an Nafs untuk Allah Ta’ala. Seperti dalam ayat 116 surat Al Maaidah, <em>“Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau.”</em>. Hadits Qudsi ini juga menjadi dalil bahwa malaikat lebih baik dari manusia. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memperinci, yaitu: jika melihat keadaan sekarang maka malaikat lebih mulia sedang jika melihat di akherat, maka manusia lebih mulia. Dan hadits ini bukan menjadi dalil untuk dzikir berjama’ah. <em>“Jika dia mengingatku dalam sekumpulan orang”</em> maksudnya orang-orang sekitarnya kemungkinan adalah orang yang lalai atau dia berada di majelis ilmu dan mengingat Allah. </span></p> <p>Urutan Hadits Qudsi itu terletak antara Al Qur’an dan Hadits Nabi.</p> <ul><li> Al Qur’an Al Karim: Dinisbatkan kepada Allah Ta’ala baik lafadz maupun maknanya.</li><li> Hadits Nabi: Dinisbatkan kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam : lafadz dan maknanya.</li><li> Hadits Qudsi: Dinisbatkan kepada Allah Ta’ala maknanya tanpa lafadznya.</li></ul> <p>Maka, membaca hadits Qudsi tidak dinilai sebagi ibadah, tidak boleh dibaca dalam sholat, tidak terwujud dengannya tantangan<span style="color: rgb(0, 0, 255);">*</span> dan tidak dinukil secara mutawattir seperti Al Qur’an bahkan di dalamnya ada yang shohih, dho’if dan maudhu’.</p> <p><span style="color: rgb(0, 0, 255);">* Mu’jizat adalah sesuatu yang diberikan Allah kepada Nabi dan Rasul untuk menerima tantangan. Jika itu benar mu’jizat, maka tidak akan ada yang berhasil menantangnya. Dan hal ini tidak berlaku untuk hadits qudsi. </span></p> <p><strong>Pembagian Khobar Berdasarkan Jalan Periwayatannya</strong></p> <p>Khobar terbagi menjadi dua berdasarkan jumlah jalan penukilannya sampai kita, yaitu mutawatir dan ahad.</p> <p><strong>Muttawatir</strong></p> <ol><li>Pengertian</li><li>Macam-macamnya dan contohnya</li><li>Faedahnya</li></ol> <p>1. Mutawattir (المتواتر):<br />Hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang yang secara ‘adat mereka mustahil bersepakat untuk berdusta dan mereka sandarkan pada sesuatu yang bisa diindra.</p> <p>2. Mutawattir terbagi menjadi dua:<br />Muttawattir lafadz dan maknanya dan muttawattir maknanya saja.<br /><strong>Muttawattir lafadz dan maknanya (المتواتر لفظا و معنى)</strong> adalah hadits yang disepakati oleh para rowi lafadz dan maknanya. Misalnya sabda Nabi <em>shollallahu ‘alaihi wa sallam</em>,</p> <p>من كذب عليّ معتمدا، فليتبوأ مقعده من النار</p> <p><em>“Barangsiapa yang berdusta atasku maka bersiap-siaplah bertempat dineraka.” </em></p> <p>Hadits ini diriwayatkan lebih dari 60 orang sahabat diantaranya 10 orang yang dijamin masuk surga dan dari mereka terdapat banyak orang yang meriwayatkan hadits tersebut.</p> <p><span style="color: rgb(0, 0, 0);"><strong>Muttawattir makna (المتواتر معنى)</strong></span> adalah hadits yang disepakati maknanya walaupun lafadznya beda-beda. Semuanya bermuara pada satu poin yang sama. Misalnya hadits tentang syafaat dan hadits tentang mengusap kedua khuf. Terdapat syair yang berbunyi:</p> <p>مما تواتر حديث من كذب و من بنى للّه بيتا زاحتسب<br />و رؤية شفاعة والحوض ومسح خفين و هذي بعض</p> <p><em>Diantara hadits mutawatir adalah barangsiapa berdusta<br />dan barangsiapa membangun masjid dengan ikhlas<br />Juga hadits tentang syafaat melihat Allah diakherat, telaga<br />dan mengusap sepatu. Inipun baru sebagian.</em></p> <p>c. Faedah dari dua jenis muttawattir ini:</p> <ol><li>Ilmu, yaitu memastikan benarnya penisbatan hadits ini kepada yang dinukil darinya.</li><li>Berkewajiban mengamalkan kandungan hadits dengan mempercayainya jika berupa khobar dan menerapkannya jika berupa tuntutan.</li></ol> <p><em>Insya Allah di edisi mendatang kita membahas Hadits Ahad.</em></p> <p>***<br />Artikel <a title="Taisir Musthalah Hadits" href="http://muslimah.or.id/hadits/taisir-musthalah-hadits-2.html">muslimah.or.id</a></p> </div>Nor Baizura bt Zulkiflihttp://www.blogger.com/profile/03309953886503563441noreply@blogger.com0