Sunday, January 3, 2010

Taisir Musthalah Hadits (6): Idroj, Ziyadah, Meringkas Hadits dan Meriwayatkan Dengan Makna

Taisir Musthalah Hadits (6): Idroj, Ziyadah, Meringkas Hadits dan Meriwayatkan Dengan Makna

Idroj dalam matan

  1. Definisinya
  2. Kedudukannya dan contoh
  3. Kapan dinilai itu sebagai hadits sisipan

1. Idroj (sisipan) dalam matan (الإدراج في المتن) : Salah seorang rowi memasukkan kata-kata yang berasal dari dirinya sendiri tanpa dia jelaskan bahwa itu adalah kata-katanya sendiri. Dia melakukan itu bisa jadi untuk menjelaskan kata-kata yang asing dalam hadits tersebut, istinbath hukum (mengambil kesimpulan hukum) atau untuk menjelaskan hikmah.

2. Idroj di awal hadits, tengah hadits atau akhir hadits.
Contoh idroj di awal matan:

Hadits dari Abu Huroiroh rodhiallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim.

Sempurnakanlah wudhu, celakalah tumit-tumit yang tidak terkena air, celakalah karena berada di neraka.” [1]

Kata-kata “sempurnakanlah wudhu” adalah sisipan yaitu ucapan Abu Hurioroh rodhiallahu ‘anhu. Hal ini diketahui berdasarkan satu riwayat dalam Shohih Bukhori. Dalam riwayat tersebut, Abu Huroiroh rodhiallahu ‘anhu mengatakan,

“Sempurnakanlah wudhu, karena Abul Qosim shollallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,’Celakalah tumit-tumit yang tidak terkena air.’”

Contoh sisipan di tengah matan:

Hadits dari ‘Aisyah rodhiallahu ‘anha tentang awal mula datangnya wahyu pada Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam. Dan hadits tersebut, Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam bersepi-sepi di Gua Hiro, lalu ber-tahanus (pada asalnya artinya adalah menjauhi dosa), namun di sini dijelaskan oleh rowi maksud dari tahanus yaitu beribadah selama beberapa malam yang bisa di hitung.

Kata-kata “tahanus adalah beribadah” adalah sisipan, tepatnya merupakan perkataan az-Zuhri. Hal ini dijelaskan satu riwayat dalam riwayat Bukhori dari jalurnya Zuhri, dengan lafadz bahwasannya Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam pergi ke Gua Hiro dan tahanus di dalamnya, Zuhri mengatakan, makna tahanus adalah beribadah. Kemudian Zuhri melanjutkan pada beberapa malam yang bisa dihitung.

Contoh idroj di akhir matan:

Hadits Abu Hurorioh rodhiallahu ‘anhu sesungguhnya Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Sesungguhnya umatku akan dipanggil pada hari kiamat dalam keadaan putih terang wajah, tangan dan kaki, karena bekas wudhu. Oleh karena itu siapa diantara kalian yang mampu memanjangkan cahaya putih terangnya maka hendaknya ia lakukan.

Diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim.

Kata-kata “Siapa diantara kalian yang mampu memanjangkan cahayanya maka lakukanlah”, adalah perkataaan Abu Huroiroh rodhiallahu ‘anhu yang menyebabkan perkataan Abu Huroiroh ini masuk ke hadits Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang rowi yang bernama Nu’aim ibn Mujmir[2].

Disebutkan dalam Musnad Imam Ahmad, dari Nu’aim ibn Mujmir, beliau mengatakan, “Saya tidak tahu apakah itu sabda Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam atau kata-kata Abu Huroiroh” [3]. Lebih dari satu pakar hadits yang menegaskan bahwa kata-kata tersebut adalah sisipan. Bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan itu tidak mungkin merupakan sabda Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam [4].

3. Tidak bisa dinilai sebagai sisipan sampai ada bukti.

Sehingga hukum asalnya adalah bagian dari hadits dan bisa diketahui:

  • Dengan ucapan rowi itu sendiri.
  • Ucapan Imam yang teranggap ucapannya.
  • Dari kata-kata yang disisipkan karena mustahil Nabi mengatakannya

Ziyadah Dalam Hadits

  1. Pengertiannya
  2. Pembagiannya, penjelasan hukum pada masing-masing pembagian beserta contohnya.

1. Ziyadah (tambahan) dalam hadits (الزيادة في الحديث):

Salah seorang rowi (periwayat hadits) menambahi redaksi (matan) hadits dengan sesuatu yang bukan merupakan bagian dari hadis tersebut.

2. Ziyadah terbagi menjadi dua macam:

1. Ziyadah yang sejenis dengan idroj.

Merupakan tambahan yang diberikan seorang rowi dari dirinya sendiri, tanpa bermaksud bahwa tambahan tersebut merupakan bagian dari hadits. Penjelasan hukumnya telah disampaikan di muka.

2. Ziyadah yang diberikan oleh sebagian rowi dengan maksud bahwa tambahan tersebut merupakan bagian dari hadits. Jenis ini terbagi menjadi dua:

  • Jika datang dari rowi yang tidak tsiqoh. Maka tidak diterima dikarenakan riwayat rowi tersebut jika sendirian itu tidak diterima, maka tambahan yang dia berikan pada riwayat orang lain lebih layak untuk ditolak.
  • Jika datang dari rowi yang tsiqoh: Jika bertentangan dengan riwayat lain yang jalannya lebih banyak atau periwayatannya lebih tsiqoh, maka tidak diterima dikarenakan riwayat ini termasuk hadits yang syadz. Misal:Hadis yang diriwayatkan oleh Malik dalam Al Muwattho bahwasannya Ibnu Umar radhiallahu ’anhuma jika memulai sholat, beliau mengangkat kedua tangannya sejajar dengan kedua pundaknya, dan jika mengangkat kepalanya dari ruku’, beliau mengangkat keduanya lebih rendah dari itu. Abu Daud berkata, “Tidak disebutkan ‘beliau mengangkat keduanya lebih rendah dari itu’ oleh seorang pun selain Malik menurut sepengetahuanku.”

    Dan riwayat yang shohih dari Ibnu Umar radhiallahu ’anhuma, marfu’ kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam, bahwasannya beliau mengangkat kedua tangannya sampai sejajar dengan pundaknya jika memulai sholat, dan ketika ruku’, ketika bangkit dari ruku’ tanpa dibeda-bedakan.

    Jika tidak bertentangan dengan rowi selainnya maka diterima, dikarenakan didalamnya terdapat tambahan ilmu. Misal:Hadis Umar radhiallahu ’anhu bahwasannya beliau mendengar Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

    “Tidaklah salah seorang dari kalian berwudhu sampai selesai dan sempurna kemudian mengucapkan:’ Asyhadu allaa ilaaha illallah , wa anna muhammadan ’abdullahi wa rasuuluh’ melainkan dibukakan baginya pintu syurga yang berjumlah delapan, dia boleh masuk dari pintu mana yang dia inginkan.”

    Hadits ini telah diriwayatkan oleh Muslim dari dua jalan periwayatan. Pada salah satu dari keduanya terdapat tambahan (وحده لا شريكله) setelah (إلاّ اللّه).

Meringkas Hadits

  1. Pengertiannya
  2. Hukumnya

1. Meringkas hadits (احتصار الحديث):

Seorang rowi atau penukil hadits membuang sebagian dari hadits.

2. Tidak diperbolehkan meringkas hadits kecuali dengan lima syarat:

1. Tidak merusak makna hadits. Seperti pengecualian, tujuan, keadaan/keterangan, syarat, dan selainnya. Misal, sabda Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam,

لا تبيعوا الذهب با الذهب إلاّ مثلا بمثل
“Jangan kalian menukar emas dengan emas kecuali semisal dengan semisal.”

لا فبيعوا الثمر حتى يبدو صلاحه
“Janganlah kalian menjual buah-buahan sampai tambak baiknya.”

لا يقضين حكم بين اثنين و هو غضبان
“Janganlah memutuskan hukum antara dua perkara sedangkan dia dalam keadaan emosi.”

نعم، اذا هي رأت الماء
“Iya, jika kalian melihat air.” Perkataan nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam sebagai jawaban kepada Ummu Sulaim tentang pertanyaannya, Apakah wanita wajib mandi jika bermimpi?

لا يقل أحد كم: اللهم اغفر لي إن شئت
“Jangan berkata salah seorang dari kalian: ya Allah, ampunilah aku jika Engkau menghendaki.”
الحج المبرور ليس له جزاء إلا الجنة
“Haji mabrur, tidak ada balasan baginya kecuali surga.”

Maka tidak boleh membuang perkataan
“kecuali semisal dengan semisal” (إلاّ مثلا بمثل)

“sampai tampak baiknya” (حتى يبدو صلاحه)

“sedangkan dia dalam keadaan emosi” (هو غضبان)

“jika kalian melihat air” (اذا هي رأت الماء)

“jika Engkau menghendaki” (إن شئت)

“mabrur” (المبرور)

Dikarenakan membuang kata-kata diatas merusak makna hadits

2. Tidak membuang redaksi hadits/matan yang hadits itu datang karenanya,

Misal:
أن رجلا سأل النبي صلى الله عليه و سلم فقال: إنا نركب الرحر و نحمل معنا القليل من الماء، فإن توضأنا به: عطشنا، أفنتوضأ بماء البحر. فقال النبي: ((هو الطهور ماؤه، الحل ميتته))
Hadits Abu Huroiroh radhiallahu ‘anhu: seseorang bertanya pada Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam “Sesungguhnya kami menaiki perahu di laut dan kami membawa sedikit air. Jika kami berwudhu dengannya, kami akan kehausan. Apakah kami boleh berwudhu dengan air laut? Maka Nabi bersabda: “Laut itu suci airnya dan halah bangkainya.”

Maka tidak boleh menghapus sabda beliau shollallahu ‘alaihi wa sallam, “Laut itu suci airnya dan halal bangkainya” (هو الطهور ماؤه، الحل ميتته) karena hadits ini datang karenanya, maka dia adalah maksud pokok dari hadits tersebut.

3. Yang dibuang bukan merupakan penjelasan tentang tata cara ibadah, baik berupa perkataan atau perbuatan.

Misal:
أن النبي صلى الله عليه و سلم قالك (( إذا جلس أحدكم في الصلاة فليقل: التحيات لله و الصلوات و الطيبات السلم عليك ايها النبي و رحمة الله و بركته السلم علينا و على عباد الله الصابحين أشهد أن لا إله لا الله و أشهد أن محمدا عبده و رسوله))

Hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu, Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika salah seorang dari kalian duduk dalam sholat, maka hendaknya dia membaca: ” Attahiyyaatu lillahi washolawaatu wathoyyibaat, Assalaamu ’alaika ayyuhannabiyu wa rahmatullahi wa barakaatuh, Assalamu ’alainaa wa ’ala ’ibaadillahishoolihiin, Asyhadu allaa ilaaha illallah, wa asyhadu anna muhammadan ’abduhu wa rasuuluh”

Maka tidak boleh menghapus satu bagian pun dari hadits ini karena akan merusak tata cara ibadah yang disyari’atkan, kecuali dengan menjelaskan bahwa ada bagian hadits yang dipotong atau dibuang.

4. Hendaknya yang membuang, mempunyai ilmu tentang kandungan lafadz.

Lafadz mana yang merusak makna jika dibuang dan mana yang tidak merusak, supaya tidak membuang lafadz yang merusak makna secara tidak sadar.

5. Rowi yang melakukan pengurangan hadits tidak akan menjadi sasaran tuduhan; karena dikira jelek hafalannya jika dia meringkasnya, atau dikira memberi tambahan jika dia menyempurnakannya, karena memeringkas pada keadaan ini menyebabkan orang akan ragu-ragu untuk menerima rowi tersebut sehingga hadits menjadi lemah karenanya. Persyaratan ke-lima ini untuk hadits yang tidak tercatat, karena jika hadits tersebut sudah tertulis maka dapat merujuk pada kitab yang mencatatnya dan hilanglah keraguan.

Jika semua syarat-syarat tersebut sudah dipenuhi, maka diperbolehkan meringkas hadits. Lebih-lebih memotong hadits untuk berdalil pada setiap potongan hadits pada tempat yang tepat. Banyak ulama’ dari kalangan ahlul hadits dan ahlul fikih yang melakukan hal ini. Lebih baik lagi pada saat meringkas hadits ditambahi penjelasan adanya peringkasan, dengan perkataan “hingga akhir hadits”, atau “sebagaimana yang disebutkan oleh suatu hadits” , dan selainnya.
Meriwayatkan Hadits dengan makna

  1. Pengertiannya
  2. Hukumnya

1. Meriwayatkan hadits dengan makna, yaitu menukilkan hadits dengan lafadz yang bukan lafadz asli yang diriwayatkan.

2. Tidak boleh meriwayatkan hadits dengan makna kecuali dengan tiga syarat:

1. Dilakukan oleh orang yang mengetahui maknanya dari sisi bahasa, dan dari sisi maksud teks yang diriwayatkan.

2. Terpaksa melakukannya, semisal karena rowi lupa dengan teks asli hadits tersebut tapi ingat maknanya. Jika teks hadits masih ingat, maka tidak boleh merubah kecuali jika dituntut kebutuhan untuk memahamkan orang yang diajak bicara dengan bahasa yang lebih mudah dipahami.

3. Lafadz hadits tersebut bukan merupakan lafadz yang digunakan untuk beribadah., seperti lafadz dzikir, dan selainnya.

Jika meriwayatkan hadits dengan makna, maka hendaknya disampaikan sesuatu yang menunjukkan hal itu, dengan mengatakan sesudah menyampaikan hadits:, “Atau semisal yang dikatakan oleh Nabi” (أو كما قال), atau “semisal itu” (أو نحوه).

Seperti yang ada dalam hadits dari Anas rodhiallahu ‘anhu tentang kisah orang Arab badui yang kencing di dalam masjid, kemudian Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam memanggilnya dan berkata padanya:

إن هذه المساجد لا تصلح لشيء من هذا البول و لا القذر؛ إنما هي الذكرالله – عز و جل - ، و الصلاةن و قراءة القران، أو كما قال صلى الله عليه و سلم

“Sesungguhnya masjid ini tidak sepantasnya terkena air kencing, tidak pula kotoran, sesungguhnya ia adalah untuk mengingat Allah ’Azza wa Jalla , sholat, dan membaca Al Quran”, atau semisal yang dikatakan Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam.

Juga seperti yang ada dalam hadits dari Mu’awiyah bin Hakam. Beliau berkata-kata ketika sholat karena tidak tahu kalau hal tersebut terlarang. Setelah selesai sholat, Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya:

إن هذه الصلاة لا يصلح فيها شيء كم كلام الناس؛ إنما هو : التسبيح، و تكبيرن ،و قراءة القران، أو كما قال صلى الله عليه و سلم

“Sesungguhnya sholat itu tidak sepantasnya di dalamnya terdapat perkataan orang. Sesungguhnya isi sholat adalah tasbih, takbir, dan membaca al quran”, atau semisal yang dikatakan Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam.

1. Artinya siksaan hanya mengenai sebagian badan. Siksa neraka ada dua macam, ada yang meliputi sebagian badan dan ada yang meliputi seluruh badan. Dan ini adalah contoh yang mengenai sebagian badan. Demikian juga orang yang isbal. Bagian badan yang terjeluri kainlah yang dapat siksa di neraka. Namun, jangan remehkan siksaan neraka walaupun sebagian badan saja. Sungguh, orang yang mendapat siksaan dengan terompah neraka di telapak kakinya, yang mendidih adalah otaknya. Jadi, jangan diremehkan.

2 . Jadi, aslinya adalah terpisah. Akan tetapi karena Nu’aim ibn Mujmir maka perkataan Abu Huroiroh tadi tergabung dengan hadits Nabi dari Abu Hurorioh.
3. Jadi dia lupa, dan hanya dia yang membawa riwayat dengan menggabungkan antara perkataan Abu Huroiroh dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

4. Karena Nabi adalah orang yang paling paham dan fasih bahasanya. Dan dalam bahasa Arab yang namanya ghurron adalah putih cemerlang di wajah. Dan wajah itu sudah ada batasannya mungkinkah dipanjangkan? Oleh karena ini jelas bahwa kata-kata tersebut adalah hadits mudroj, maka pendapat yang paling benar, tidak ada anjuran untuk melebihkan wudhu dari batasan yang telah ditetapkan oleh syari’at.

***

Artikel muslimah.or.id

Taisir Musthalah Hadits (5): Penjelasan untuk Sanad yang Terputus, Tadlis & Mudhthorib

Taisir Musthalah Hadits (5): Penjelasan untuk Sanad yang Terputus, Tadlis & Mudhthorib

Sanad yang Terputus1

  1. Penjelasannya
  2. Pembagiannya
  3. Hukumnya

1. Sanad yang terputus (منقطع السند) adalah yang tidak bersambung sanadnya, dan telah disebutkan bahwa di antara syarat hadits shohih yang berjumlah lima, salah satunya adalah bersambung sanadnya.

2. Sanad yang terputus terbagi menjadi empat: mursal, mu’alaq, mu’dhol dan munqothi’.

Mursal (المرسل)

Mursal adalah hadits yang dinisbatkan kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam oleh sahabat atau tabi’in yang tidak mendengar langsung dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam2.

Mu’alaq (المعلق)

Mu’allaq adalah hadits yang dihilangkan awal atau terkadang yang dimaksudkan adalah yang dibuang semua sanadnya, seperti perkataan Imam Bukhori, “Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam mengingat Allah di setiap keadaannya”3. Adapun hadits yang dinukil penulis kitab, misal Umdatul Ahkam yang dinisbatkan pada aslinya, maka tidak dinilai sebagai hadits mu’allaq karena orang yang menukil tidak menyandarkan hadits tersebut pada dirinya.Akan tetapi dinisbatkan, misal “Diriwayatkan oleh Abu Daud”.

Mu’dhol (المعضل)

Mu’dhol adalah hadits yang dibuang di tengah-tengah sanadnya, dua rowi secara berturut-turut.

Munqothi’4 (المنقطع)

Munqothi’ adalah hadits yang dibuang dari tengah sanadnya satu, dua atau lebih dan tidak berturut-turut. Terkadang maksudnya adalah hadits yang tidak bersambung sanadnya, maka termasuk di dalamnya hadits yang empat tadi, mursal, mu’allaq, mu’dhol dan munqothi’ itu sendiri5.

Misalnya hadits yang diriwayatkan Imam Bukhori, ia berkata, “Menceritakan pada kami Abdullah ibn Azzubair Al Humaidi6,ia berkata, telah menceritakan pada kami Sufyan, ia berkata, telah menceritakan pada kami Yahya ibn Sa’id Al Anshori, ia berkata,telah mengkhobarkanku Muhammad ibn Ibrohim At Taimi, bahwasannya ia mendengar dari Alqomah ibn Abi Waqosh Al Laitsi mengatakan, aku mendengar ‘Umar ibn Khottob rodhiallahu ‘anhu di atas mimbar berkata, “Aku mendengar Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya ‘hingga akhir hadits.

Maka jika dibuang dari sanad tersebut, ‘Umar ibn Khottob rodhiallahu ‘anhu, dinamakan hadits mursal.
Jikayang dibuang Al Humaidi dinamakan hadits mu’allaq.
Jika yang dibuang Sufyan dan Yahya dinamakan hadits mu’dhol.
Jika yang dibuang Sufyan saja atau bersama at-Taimi dinamakan hadits munqothi’.

3. Seluruh hadits munqothi’ ditolak dikarenakan ketidaktahuan keadaan rowi yang dibuang. Namun berikut ini adalah munqothi’ yang dikecualikan dari penolakan tersebut:

  1. Mursal sahabat7
  2. Mursal kibar tabi’in8. Menurut sebagian besar ahlu ‘ilmi adalah shohih jika dikuatkan oleh mursal yang lain atau diamalkan para sahabat atau dengan qiyas.
  3. Mu’alaq.Jika dengan bentuk kata yang tegas dalam kitab yang komitmen dengan hadits-hadits shohih, seperti Shohih Bukhori9.
  4. Hadits yang diriwayatkan dengan sanad yang bersambung dari jalan yang lain yang memenuhi semua persyaratan untuk diterimanya hadits10.

Tadlis

  1. Penjelasannya
  2. Pembagiannya
  3. Tingkatan mudallis
  4. Hukum perowi yang mudallis

1. Tadlis (التدليس) adalah membawakan hadits dengan satu sanad sehingga dipahami bahwa sanad tersebut lebih tinggi dari pada kualitas senyatanya.

2. Tadlis terbagi menjadi dua: tadlis isnad dan tadlis guru.

Tadlis isnad (تدليس الإسناد)

Tadlis isnad adalah seorang rowi meriwayatkan dari orang yang dijumpainya, hadits yang tidak dia dengar atau tidak dia lihat perbuatannya dengan kata-kata yang bisa dipahami bahwa orang tersebut mendengar atau melihatnya secara langsung. Contohnya: “Ia berkata” (قال), “ia melakukan” (فعل), “dari fulan” (عن فلان), “fulan berkata” ((قال فلان,”fulan melakukan” (فلانفعل) dan yang semisal itu.

Tadlis guru (تدليس الشيوخ)
Tadlis guru adalah seorang rowi menamakan gurunya, atau mensifatinya dengan nama atau sifat yang tidak terkenal sehingga gurunya tidak dikenal. Hal ini disebabkan mungkin karena gurunya lebih muda darinya, dan ia tidak suka jika diketahui meriwayatkan dari yang lebih muda, atau agar orang mengira gurunya banyak, atau maksud-maksud lainnya.

3. Rowi mudallis ada banyak; ada yang dho’if dan ada yang tsiqoh seperti Hasan Al Bashri, Humaid At Tuwaili, Sulaiman ibn Mahron Al ‘Amasy, Muhammad ibn Ishaq dan Walid ibn Muslim. Al Hafidz Ibnu Hajar mengklasifikasikan rowi mudallis menjadi lima tingkatan:

  1. Rowi yang tidak divonis melakukan tadlis kecuali langka. Seperti Yahya ibn Sa’id.
  2. Rowi yang para imam masih berlapang dada terhadap tadlisnya (masih dimaafkan). Oleh karena itulah para ulama masih memakai riwayatnya dalam kitab shohih karena dia adalah seorang Imam dan sedikitnya tadlis yang dia lakukan jika dibandingkan dengan riwayat yang dia sampaikan, semacam tadlisnya Imam Sufyan Atsauri. Atau karena rowi tersebut tidak melakukan tadlis kecuali dari seorang rowi yang tsiqoh, semacam Imam Sufyan ibn ‘Uyainah.
  3. Rowi yang sering melakukan tadlis tanpa membatasi diri dengan rowi-rowi yang tsiqoh. Sehingga yang tidak disebutkan boleh jadi rowi tsiqoh
    ataupun rowi yang dho’if. Semacam Abu Zubair Al Makiy.
  4. Rowi yang mayoritas tadlisnya adalah rowi yang dho’if dan tidak dikenal. Seperti Baqiyah ibn Al Walid.
  5. Orang yang disamping melakukan tadlis, memiliki kelemahan karena faktor lain. Misal, ‘Abdulah ibn Luhai’ah11.

4. Hadits mudallis tidak diterima kecuali mudallisnya adalah orang yang tsiqoh (terpercaya), dan dia menegaskan bahwa ia mengambilnya secara langsung dari gurunya dengan perkataan “aku
mendengar fulan berkata” (سمعت فلان), “aku melihat ia melakukan” (رأيته يفعل), “telah menceritakan padaku” (حدثني) dan yang semacam itu. Akan tetapi riwayat yang terdapat dalam Shohih Bukhori dan Shohih Muslim dengan bentuk tadlis dari rowi tsiqoh yang mudallis, maka haditsnya diterima karena umat Islam menerima semua riwayat dari kedua Imam tersebut dengan tanpa perincian

Mudhthorib

  1. Penjelasannya
  2. Hukumnya

1. Mudhthorib (المضطرب) adalah hadits yang para rowinya berselisih dalam sanad atau matannya yang tidak mungkin dikompromikan.

Contohnya, hadits yang diriwayatkan dari Abu Bakar rodhiallahu’anhu bahwasannya ia berkata pada Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam, “Aku melihat engkau beruban”. Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku beruban karena memikirkan yang Allah turunkan dalam surat Hud dan surat-surat sejenisnya.”

Hadits ini diperselisihkan dalam 10 masalah. Hadits ini ada yang diriwayatkan secara maushul dan mursal. Ada yang mengatakan dari Abu Bakar, ada yang dari ‘Aisyah atau Sa’ad dengan perselisihan yang tidak mungkin dikompromikan atau dirojihkan (dipilih yang lebih kuat).

  • Jika mungkin dikompromikan;
    Maka wajib dikompromikan dan hilanglah status idhthirob12.
    Contohnya:
    Perbedaan riwayat tentang jenis ihrom Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam pada haji wada’. Sebagian mengatakan Nabi haji ifrod saja, ada yang mengatakan haji tammatu ada juga yang mengatakan bahwa Nabi melakukan haji qiron13.

    Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Tidak ada kontradiksi dalam hal tersebut. Nabi melakukan tamatu’ tamatu’ qiron. Qiron bisa juga disebut tamatu’. Tamatu’ ada dua macam, yaitu tamatu’ dengan makna tamatu’ dan tamatu’ dengan makna qiron. Tamatu’ Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam adalah tamatu’ qiron. Dan nabi menyendirikan perbuatan manasik haji dan menggandengkan antara dua ibadah yaitu umroh dan haji. Maka haji itu adalah haji qiron dengan menyatukan manasik. Jadi, disebut haji ifrod dengan pertimbangan bahwa Nabi mencukupkan degan satu tawaf dan sa’i, dan disebut mutamatu’ dengan pertimbangan kesenangan yang beliau dapatkan dengan meninggalkan salah satu dari dua safar.”

  • Jika mungkin dirojihkan;
    Wajib mengamalkan yang dan hilanglah status idhthirob.
    Contohnya:
    Perselisihan pada riwayat hadits Barirah rodhiallahu ‘anha ketika dia dimerdekakan dari status budak. Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam memberinya pilihan antara tetap bersama suaminya atau berpisah dari suaminya14.

    Perselisihannya: Apakah suaminya adalah orang yang merdeka atau budak?

    Diriwayatkan dari Al Aswad dari ‘Aisyah15 rodhiallahu’anha bahwasannya suaminya adalah orang yang merdeka. Tapi riwayat dari ‘Urwah ibn Zubair16 dan Qosim ibn Muhammad ibn Abu Bakar bahwasannya suaminya adalah seorang budak.

    Yang dinilai rojih dari kedua riwayat tersebut riwayat ‘Urwah ibn Zubair dan Qosim ibn Muhammad ibn Abu Bakar dikarenakan kedekatan keduanya dengan ‘Aisyah. ‘Aisyah adaah bibi dari ‘Urwah dan bibi dari Qosim. Sedangkan Al Aswad tidak punya hubungan dengan ‘Aisyah ditambah ada keterputusan di dalam riwayatnya.

2. Hukum hadits mudhtorib adalah dho’if dan tidak dapat dijadikan hujjah. Karena idhthirobnya menunjukkan adanya rowi yang tidak kuat hafalannya. Akan tetapi jika idhthirob tersebut tidak berkaitan dengan pokok hadits, maka tidak mengapa.

Contohnya:
Perselisihan perowi dalam hadits dari Fadholah ibn ‘Ubaid rodhiallahu’anhu,bahwasannnya ia membeli kalung pada perang Haibar sebanyak 12 dinar.Pada kalung tersebut terdapat emas dan manik-manik. Ia berkata, “Maka aku memisahkannya dan aku mendapatkannya nilainya lebih dari 12 dinar. Lalu aku menceritakan kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam, beliau pun bersabda, “Kalung tersebut tidak boleh dijual sampai dipisah.”

Maka pada riwayat yang lain, Fadholahlah yang membeli kalung tersebut. Riwayat lainnya, ada orang lain selain Fadholah yang bertanya tentang hukum membeli kalung tersebut.
Dalam riwayat lain: Bahwasannya itu emas dan manik-manik.
Pada riwayat yang lain: Emas dan permata.
Riwayat yang lain: Manik-manik yang digantungi emas.
Riwayat yang lain: dengan nilai 11 dinar.
Riwayat yang lain: dengan nilai 9 dinar.
Riwayat yang lain: dengan nilai 7 dinar.

Al Hafidz Ibnu Hajar berkata, “Perselisihan ini tidaklah menyebabkan kelemahan hadits, karena maksud pokok dari berdalil dengan hadits tersebut tetap terjaga dan tidak ada perselisihan di dalamnya, yaitu pelarangan jual beli sesuatu yang belum terpisah. Adapun jenisnya atau kadar, ukuran harganya maka dalam hal ini tidak memiliki hubungan dengan menjadi idththirob atau tidak.”

Demikian pula bukan penyebab idhthirob, perbedaan tentang nama perowi, kunyahnya atau yang semacam itu, padahal yang dimaksudkan adalah sama sebagaimana didapatkan pada banyak hadits-hadits yang shohih.

1 Keterputusan sanad ada yang jelas dan tidak jelas. Yang tidak jelas akan dibahas di tadlis.
2 Maka nanti mursal ada dua.

3 Atau hadits yang dibuang di awal sanad. Awal sanad adalah orang yang berada di atas pencatat hadits. Orang setelah Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam adalah akhir sanad. Terkadang dibuang semua sanadnya oleh Imam Bukhori. Mu’allaq dalam Imam Bukhori disebutkan sanadnya oleh Ibnu Hajar dalam salah
satu kitabnya.

4 Munqothi’ ini memiliki dua pengertian.

5 Sebagaimana Islam itu punya tingkatan, yaitu Islam, Iman, Ihsan. Jadi, Islam itu ada di Islam itu sendiri.

6 Guru Imam Bukhori yang Imam Bukhori paling banyak meriwayatkan hadits darinya.

7 Semacam ucapan Ibnu Abbas tentang turunnya wahyu pertama kali. Ibnu Abbas lahir 3 tahun sebelum hijrah. Maka tentu dia tidak mengetahui dan tidak menyaksikan langsung kejadian di awal wahyu, sehingga tentu dia mendapatkan dari sahabat yang lain. Mursal shohabi tidak mempengaruhi keabsahan hadits. Karena meski kita tidak mengetahui sahabat yang dibuang, akan tetapi itu tidaklah masalah karena semua sahabat Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam adalah adil.

8 Kibar tabi’in : mereka yang mayoritas riwayatnya berasal dari para sahabat, seperti Sa’id ibn Musayyib, ‘Urwah ibn Zubair. Jadi, mereka sedikit meriwayatkan dari sesama tabi’in.

9 Akan tetapi, hadits mu’alaq dalam Shohih Bukhori bukanlah sebagai bagian dari Shohih Bukhori meskipun ia tercantum dalam kitab Shohih Bukhori. Oleh karena itu ketika orang menyampaikan hadits mu’alaq Imam Bukhori dalam Shohih Bukhori harus disebutkan, “Diriwayatkan oleh Imam Bukhori secara mu’alaq” karena mu’alaq tersebut bukan bagian dari Shohih Bukhori. Karena judul asli kitab shohih Bukhori adalah Al Jam’i As Shohih Al Musnad. Al Jami’ yaitu kitab hadits yang mengumpulkan hadits dalam banyak bab, baik fiqh dan selainnya. Kalau hanya dalam bab fiqh saja disebut Sunan. Mu’alaq dalam Shohih Bukhoriada kata-kata yang tegas ada yang tidak tegas. Jika yang tidak tegas maka Imam Bukhori tidak menjamin keshohihan hadits ini. Sedangkan Al Musnad adalah yang bersanad.

10 Ada pertanyaan, “Apakah semua hadits yang shohih diamalkan?” Belum tentu. Dilihat dulu, apakah hadits tersebut mansukh. Jadi masih harus melihat hal yang lainnya. Misalnya Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam berdiri ketika ada jenazah lewat. Hadits ini shohih. Tapi kemudian mansukh. Karena setelah itu nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk berdiri ketika jenazah lewat. Dan juga tidak setiap hadits dho’if ditinggalkan. Jika bisa naik menjadi hadits hasan lighoiri, maka hadits dho’if tersebut bisa diamalkan.

11 Ia mulai kacau hafalannya setelah kitab-kitabnya terbakar. Namun, ia memiliki empat murid yang bernama ‘Abdulah yang belajar padanya sebelum kitab-kitabnya terbakar. Sehingga riwayatnya dapat diterima melalui empat murid tersebut.
12Dan tidak lagi isebut hadits mudhtorib.
13 Berihrom untuk menjalankan haji dan umroh sekaligus dan tidak tahallulkecuali tanggal 10 dzulhijjaah.
14 Suami Barirah bernama Mughits.
15 Dan ‘Aisyah inilah yang membeli Bariroh kemudian memerdekakannya.
16 Anak dari Asma binti Abu Bakar.
***
Artikel muslimah.or.id

Taisir Musthalah Hadits (4): Penjelasan Untuk Shohih Lidzatihi

Taisir Musthalah Hadits (4): Penjelasan Untuk Shohih Lidzatihi

Telah lewat (pada penjelasan yang lalu) bahwasannya definisi hadits shohih lidzatihi adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang rowi yang adil*, hafalannya sempurna, sanadnya bersambung dan terbebas dari syadz dan terbebas daru ‘illat (penyakit yang membuat cacat).

* Yang dimaksud dengan adil yaitu memiliki ‘adalah.


‘Adalah (عدالة) adalah istiqomah pada din dan istiqomah pada muru-ah.

Istiqomah din adalah melaksanakan kewajiban dan menjauhi segala yang haram yang menyebabkan kefasikan. Istiqomah muru-ah adalah melakukan segala sesuatu yang dipuji masyarakat berupa etika dan akhlak dan meninggalkan segala adab dan akhlak yang dicela masyarakat*.

* Pandangan masyarakat adalah yang tidak bertentangan dengan aturan syari’at. Boleh jadi itu merusak muru-ah di masa silam, tapi tidak di masa sekarang. Misalnya, dahulu, jika seorang ulama makan di warung maka ini menurunkan muru-ah. Kalau sekarang mungkin jika makan di restoran besar malah naik muru-ahnya. Maka muru-ah ini berbeda-beda dan berubah sesuai zaman dan tempat. Maka, ini berarti seorang muslim memperhatikan adat masyarakat.

Keadilan rowi diketahui dengan dua cara, yaitu dengan kemasyhuran yaitu sudah terkenal sebagai seorang rowi yang adil, semacam para imam yang terkenal. Misalnya Imam Malik, Imam Ahmad dan Bukhori dan yang selain mereka. Kemudian dengan tazkiyah, yaitu dengan penegasan dari orang yang teranggap ucapannya dalam masalah ini*.


* Yaitu ulama jarh dan ta’dil

Sempurna hafalannya (تمام الضبت) adalah ia bisa menyampaikan riwayat yang dia miliki, baik didapatkan melalui mendengar atau melihat dalam bentuk sebagaimana dia dapatkan tanpa ditambah atau dikurangi. Akan tetapi kesalahan yang sedikit dinilai tidak mengapa, karena manusia tidak dapat terbebas dari kesalahan menambah atau mengurangi*.

* Dia bisa menceritakan apa yang ada dalam dirinya baik dia dapatkan dari pendengaran atau penglihatan dan dia menceritakan kepada orang lain tanpa kesalahan atau dengan sedikit kesalahan.

Diketahui dobt (kesempurnaan hafalan) seorang rowi dengan dua hal; keselarasannya, yaitu selaras dengan rowi-rowi yang terkenal tsiqoh dan orang yang kuat hafalannya meskipun hanya sesuai dengan mereka secara umum. Kemudian mendapat tazkiyah/penegasan, yaitu dengan penegasan dari orang yang teranggap ucapannya dalam masalah ini.

Bersambung sanadnya (اتصال السند) yaitu setiap rowi berjumpa dengan gurunya atau dari orang yang dia mengambil riwayat darinya baik secara langsung atau statusnya berjumpa.

Adapun berjumpa secara langsung maksudnya adalah berjumpa dengan gurunya dan mendengar dari gurunya atau melihat gurunya dan dia mengatakan, “Telah menceritakan padaku.” (حدثني), “Aku mendengar” (سمعت), “Aku melihat fulan” (رأيت فلان), dan kalimat semacamnya.

Sedangkan statusnya berjumpa maksudnya adalah seorang rowi meriwayatkan dari orang yang sezaman dengannya dengan menggunakan kata-kata yang mengandung kemungkinan dia melihat atau mendengar gurunya. Misalnya dengan kata-kata, “Fulan berkata” (قال فلان), “Dari fulan” (عن فلان), “Fulan melakukan” (فعل فلان) dan yang semacam itu.

Terdapat dua pendapat:

  1. Harus ada bukti, ini adalah pendapat Imam Bukhori.
  2. Cukup dengan mungkin dia bertemu, ini adalah pendapat Imam Muslim*.


* Oleh karena itulah kualitas Shohih Bukhori dinilai lebih tinggi dari Shohih Muslim.

Imam Nawawi rohimahullah berkata tentang pendapat Imam Muslim di Syaroh Shohih Muslim, “Pendapat Imam Muslim diingkari banyak pakar, meskipun kami tidak menilai Imam Muslim melakukan perbuatan tersebut dalam Shohih-nya sejalan dengan pendapat beliau ini, karena Imam Muslim mengumpulkan banyak jalur yang tidak mungkin terwujud hukum yang dia bolehkan. Wallahu a’lam.”

Perbedaaan ini berlaku untuk rowi yang bukan mudallis (akan datang penjelasannya, insya Allah-ed). Adapun mudallis tidaklah divonis haditsnya bersambung kecuali jika dia menegaskan bahwa dia mendengar atau melihat secara langsung.

Tidak bersambungnya suatu sanad diketahui dengan dua cara:

  1. Tarikh (sejarah), yaitu mengetahui bahwasannya guru atau orang yang diambil riwayat darinya sudah meninggal ketika dia belum mencapai usia tamyiz yaitu usia 7 tahun*.

    * Misalnya gurunya sudah meninggal ketika ia masih berumur 3 tahun, maka ini jelas tidak bersambung.
  2. Dengan penegasan seorang rowi atau salah satu dari ulama pakar hadits menegaskan bahwasannya rowinya tidak bersambung atau fulan ini tidak mendengar ataumelihat dari gurunya apa yang dia ceritakan.

Keganjilan (الشذوذ) yaitu seorang rowi yang tsiqoh menyelisihi rowi yang lebih kuat darinya, bisa dengan lebih sempurna keadilannya atau hafalannya, atau lebih jumlahnya atau lebih bermulazamah dengan gurunya atau yang semacam itu*.

* Misalnya seorang guru memiliki dua murid. Murid yang pertama sudah mulazamah dalam waktu berpuluh-puluh tahun. Murid yang kedua hanya lima tahun. Kemudian murid yang kedua memberikan khobar dari gurunya yang menyelisihi murid yang pertama. Maka yang lebih tahu maksud gurunya adalah murid yang pertama. Maka boleh jadi murid yang kedua mendengar dari gurunya akan tetapi ia tidak paham. Maka yang lebih tsiqoh adalah murid yang pertama.

Misalnya, hadits ‘Abdullah ibn Zaid tentang tata cara wudhu Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam bahwasannnya Nabi mengusap kepalanya dengan air yang bukan sisa dari tangannya*.

* Artinya mengambil air baru untuk mengusap kepala, bukan air yang sebelumnya digunakani untuk membasuh tangan.

Hadits ini diriwayatkan Imam Muslim dengan lafadz ini dari jalur Ibn Wahab. Dan Imam Baihaqi meriwayatkan dari jalan Ibn Wahab juga dengan lafadz yang berbeda, yaitu bahwasannya Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam mengambil untuk kedua telinganya air yang bukan air yang beliau ambil untuk kepalanya*.

* Artinya mengambil air baru untuk mengusap telinga.

Maka hadits Baihaqi adalah riwayat yang ganjil (syadz) karena rowi dari Ibn Wahab memang tsiqoh*, tapi rowi ini menyelisihi para rowi yang lebih banyak jumlahnya dari dia. Karena hadits ini diriwayatkan sejumlah orang dari Ibnu Wahab namun dengan menggunakan lafadz Muslim. Maka berdasar hal tersebut, riwayat Baihaqi tidak shohih meskipun perowinya tsiqoh, yaitu karena tidak terbebas dari syadz.


* Rowi yang dipakai oleh Baihaqi yang merupakan muridnya Ibnu Wahab memang tsiqoh. Akan tetapi rowi ini menyelisihi para rowi yang lebih banyak jumlahnya daripada dia.

‘Illat (penyakit yang membuat cacat) (العلة القادحة), yaitu setelah diteliti ternyata jelas diketahui ada sebab yang membuat cacat untuk diterima suatu hadits karena diketahui ternyata hadits tersebut munqothi’ (terputus), mauquf (perkataan sahabat), atau rowinya adalah orang fasiq, jelek hafalannya, atau ahli bid’ah* dan haditsnya mendukung kebid’ahannya dan semacam itu.

* Ada beberapa pendapat berkaitan dengan riwayat dari ahlu bid’ah:

  1. Ditolak secara mutlak
  2. Diterima secara mutlak.
  3. Diperinci (tafshil). Merinci dengan melihat dia mendakwahkan bid’ahnya atau tidak. Jika jawabannya ya, maka riwayatnya tidak bisa diterima.
  4. Diperinci. Melihat hadits yang diriwayatkanya. Menguatkan kebid’ahannya atau tidak, baik dia da’i atau bukan.

Ringkasnya penjelasan di Taisir Mustholah Mahmud Thohan, persyaratan riwayat dari ahlu bid’ah adalah :

  1. Bukan da’i
  2. Bukan hadits yang mendukung bid’ah yang dia miliki.

Maka, hadits tersebut tidak dihukumi sebagai shohih karena tidak selamat dari penyakit yang membuat cacat1*. Contohnya hadits Ibnu ‘Umar rodhiallahu’anhu dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Perempuan yang haidh dan orang yang junub tidak boleh membaca sedikitpun ayat Al Qur’an.”


* Ini adalah termasuk ilmu hadits yang berat, yaitu tentang masalah ilmu al illal. Terutama jika illalnya adalah masalah yang samar.

Hadits ini diriwayatkan Tirmidzi, dan Imam Tirmidizi mengatakan kami tidak mengenal hadits ini kecuali dari hadits Isma’il ibn ‘Iyas dari Musa ibn ‘Uqbah*.


* Artinya hadits ini termasuk hadits ghorib (yaitu punya satu jalur saja).

Maka dari sanad yang tampak adalah shohih, akan tetapi hadits ini memiliki cacat, riwayat Isma’il ibn ‘Iyas dari orang-orang Hijaz adalah dho’if. Jika gurunya adalah orang Hijaz maka haditsnya adalah dho’if dan hadits ini adalah yang termasuk dia dapatkan dari Hijaz**. Maka hadits ini tidak shohih karena tidak terbebas dari penyakit yang membuat cacat.


** Artinya Musa ibn ‘Uqbah adalah dari Hijaz.

Jika penyakitnya tidak membuat cacat, maka tidak menghalangi hadits tersebut untuk dinilai shohih atau hasan. Contohnya hadits dari sahabat Abu Ayyub Al Anshori rodhiallahu’anhu dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

من صام رمضان، ثم أتبعه ستا من شوال كان كصيام الدهر

“Barangsiapa berpuasa Romadhon, kemudian diikuti dengan 6 hari di bulan Syawal, maka ia seakan-akan puasa dahr (puasa setiap hari, seandainya puasa dahr itu dibolehkan).*”

* Ini adalah termasuk pengandaian. Karena ulama berselisih pendapat tentang puasa dahr. Sebagian ulama melarangnya. Dan itulah pendapat yang lebih rojih karena ada hadits tentang hal ini,“Siapa yang puasa setiap hari tidak akan dinilai orang yang berpuasa dan juga tidak dinilai sebagai orang yang tidak puasa”. Jadi, dari hadits tersebut tidak menunjukkan bolehnya puasa dahr, namun hanya sebagai pengandaian.

Hadits ini diriwayatkan Imam Muslim dari jalan Sa’ad ibn Sa’id, dan pada hadits ini terdapat ‘illat dengan sebab rowi ini, yaitu Sa’ad ibn Sa’id karena Imam Ahmad mendho’ifkannya. ‘Illat ini tidak membuat cacat, karena sebagian ulama menshohihkannya, dan dia memiliki hadits penguat (muttabi‘)*. Imam Muslim menyampaikan hadits ini dalam Shohih-nya menunjukkan keshohihan menurut Muslim, dan ‘illatnya tidak membuat cacat.

* Hadits muttabi’ (penguat) adalah jika rowi hadits tersebut dari sahabat yang sama. Sedangkan hadits syawahid, jika sumbernya beda.

Dikumpulkannya Dua Hukum, yaitu Penilaian Shohih dan Hasan dalam Satu Hadits

Di depan telah kita bahas bahwa hadits shohih adalah satu bagian dari hadits yang berbeda dengan hadits hasan. Maka keduanya adalah dua hal yang berbeda.

Akan tetapi sering kita dapatkan, terkadang suatu hadits diberi nilai hadits hasan shohih. Maka bagaimana menyesuaikan dua penilaian ini padahal ada perbedaan di antara keduanya?

Kami katakan (penulis kitab ed), “Jika hadits tersebut memiliki dua jalur, maka maksud hadits tersebut bahwa salah satu jalannya shohih dan jalur yang kedua adalah hasan. Maka dikumpulkan antara dua sifat ini dengan melihat jalurnya*. Adapun jika hadits tersebut hanya memiliki satu jalan, maka maknanya adalah ulama tersebut ragu-ragu, apakah sudah mencapai derajat shohih atau derajat hasan**.”


* Dimaknai hadits shohih wa hasan (shohih dan hasan). Artinya, hasan untuk jalur ini dan shohih untuk hadits yang satunya lagi.

** Dimaknai hadits shohih aw hasan (shohih atau hasan). Misalnya dalam hadits ghorib. Jadi ragu-ragu antara hadits ini hasan atau shohih. Adapun kalimat (لأصح قى هذا الباب) “Hadits ini adalah hadits yang paling shohih dalam bab ini”, maka ini bukanlah menilai bahwa hadits tersebut shohih tapi maksudnya hadits tersebut yang paling sedikit cacatnya. Bisa jadi haditsnya dho’if. Namun hadits dho’if lainnya banyak dan yang paling ringan cacatnya adalah hadits tersebut.

***

Artikel muslimah.or.id

Taisir Musthalah Hadits (3): Hadits Ahad

Taisir Musthalah Hadits (3): Hadits Ahad

Hadits Ahad

a. Pengertian
b. Macam-macamnya berdasarkan jalan periwayatan beserta contoh-contohnya.
c. Macam-macamnya berdasarkan derajatnya beserta contoh-contohnya.
d. Faedah-faedahnya.

a. Ahad (الاحاد).

Ahad adalah hadits selain yang muttawattir.

b. Macam-macam hadits ahad berdasarkan jalan periwayatan itu ada 3 macam, yaitu masyhur, ‘aziz, dan ghorib.

  1. Masyhur (المشهور) adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga rowi disetiap tingkatan, tapi belum sampai pada derajat muttawattir.Contohnya perkataan Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam,المسام من سلم المسلمون من لسانه و يده

    Muslim sejati adalah muslim yang saudaranya terbebas dari gangguan lisan dan tangannya.”

  2. ‘Aziz (العزيز) adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua rowi saja dimasing-masing tingkatan. Contohnya perkataaan Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam,لا يؤمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من ولده و الناس أجمعين

    “Tidak sempurna iman kalian hingga Aku lebih dia cintai dari orang tua, anaknya bahkan manusia seluruhnya.”
  3. Ghorib (الغريب) adalah hadits yang diriwayatkan oleh satu orang saja. Contohnya perkataan Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam,إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى“Sesungguhnya setiap amal perbuatan itu hanyalah dinilai bila disertai dengan niat, dan sesungguhnya setiap orang hanya memperoleh sesuai apa yang diniatkannya…(hingga akhir hadits)” (HR. Bukhori dan Muslim)

    Hadits ini dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam hanya diriwayatkan oleh Umar bin Khotob rodhiallahu ‘anhu dan yang meriwayatkan dari Umar hanya ‘Alqomah ibn Abi Waqosh dan yang meriwayatkan dari ‘Alqomah hanya Muhammad ibn ibrohim Attaimi, dan yang meriwayatkan dari Muhammad hanya Yahya ibn Sa’id al Anshori. Kesemuanya adalah tabi’in, kemudian diriwayatkan dari Yahya oleh banyak orang.

c. Macam-macam hadits ahad berdasar derajatnya, yaitu shohih lidzatihi, shohih lighoirihi, hasan lidzatihi, hasan lighoirihi dan dho’if.

  1. Shohih lidzatihi (shohih dengan sendirinya) (الصحيح لذاته). Shohih lidzatihi adalah hadits yang rowinya:
    • Adil (عدل),
    • Hafalannya kuat (تام الضبط),
    • Sanadnya bersambung (بسند متصل),
    • Terbebas dari kejanggalan dan kecacatan (سلم من الشذوذ و العلة القادحة).

    Contohnya sabda Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam,

    من يرد اللّه به خيرا يفقهه في الدين

    “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan maka akan difahamkan ilmu agama.” (HR. Bukhori dan Muslim)

    Cara mengetahui keshohihan suatu hadits itu dengan 3 perkara:

    • Jika diketahui penulis buku hadits tersebut hanya mencantumkan hadits-hadits yang shohih saja dengan syarat penulis tersebut bisa dipercaya dalam melakukan penshohihan seperti Shohih Bukhori dan Muslim.
    • Hadits tersebut dinilai shohih oleh imam yang penilaiannya dalam penshohihan itu bisa dipercaya, dan dia bukan termasuk orang yang terkenal mudah dalam memberikan nilai shohih.
    • Meneliti sendiri rowinya dan bagaimana cara periwayatan rowi tersebut terhadap hadits.

    Jika semua kriteria shohih lengkap, maka hadits tersebut dinilai sebagai hadits yang shohih.

  2. Shohih lighoirihi (shohih dengan bantuan) (الصحيح لغيره).
    Shohih lighoirihi adalah hadits hasan dengan sendirinya (hasan lidzatihi) apabila memiliki beberapa jalur periwayatan yang berbeda-beda. Misalnya,

    Dari ‘Abdillah Ibn ‘Amr bin ‘Ash rodhiallahu ‘anhu, Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk menyiapkan pasukan dan ternyata kekurangan unta.

    Maka Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Belikan untuk kita unta perang dengan unta-unta yang masih muda.” Maka ia mengambil 2-3 unta muda dan mendapat 1 unta perang.

    Hadits Ini diriwayatkan Ahmad dari jalan Muhammad bin Ishaq dan diriwayatkan Baihaqi dari jalan ‘Amr bin Syu’aib. Setiap jalan ini jika dilihat secara bersendirian tidak bisa sampai derajat shohih, hanya sampai hasan. Tapi jika dilihat secara total, maka jadilah hadits shohih lighoiri. Hadits ini dinamakan shohih lighoiri, walaupun nilai masing-masing jalan secara bersendirian tidak sampai derajat shohih, namun karena bila dinilai secara total bisa saling menguatkan hingga mencapai derajat shohih.

  3. Hasan lidzatihi ( hasan dengan sendirinya) (الحسن لذاته).
    Hasan lidzatihi adalah hadits yang diriwayatkan oleh rowi yang adil tapi hafalannya kurang sempurna dengan sanad bersambung dan selamat dari keganjilan dan kecacatan. Jadi, tidak ada perbedaan antara hadits ini dengan hadits shohih lidzatihi kecuali dalam satu persyaratan, yaitu hadits hasan lidzatihi itu kalah dalam sisi hafalan.

    Misalnya perkataan Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam,

    مفتاح الضلاة الطهور، و تحريمها التكبير، و تحليلها التسليم

    “Sholat itu dibuka dengan bersuci, diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam.”
    <

    Hadits-hadits yang dimungkinkan hadits hasan adalah hadits yang diriwayatkan Abu Daud secara sendirian, demikian keterangan dari Ibnu Sholah.

  4. Hasan lighoirihi (hasan dengan bantuan) (الحسن لغيره).
    Hasan lighoirihi adalah hadits yang dho’ifnya ringan dan memiliki beberapa jalan yang bisa saling menguatkan satu dengan yang lainnya karena menimbang didalamnya tidak ada pendusta atau rowi yang pernah tertuduh membuat hadits palsu. Misalnya,Hadits dari Umar ibn Khatthab rodhiallahu’anhu berkata bahwasannya Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam jika mengangkat kedua tangannya dalam do’a maka beliau tidak menurunkannya hingga mengusapkan kedua tangan ke wajahnya. (HR. Tirmidzi)

    Ibnu Hajar dalam Bulughul Marom berkata, “Hadits ini memiliki banyak hadits penguat dari riwayat Abu Daud dan yang selainnya. Gabungan hadits-hadits tersebut menuntut agar hadits tersebut dinilai sebagai hadits hasan.

    Dan dinamakan hasan lighoirihi karena jika hanya melihat masing-masing sanadnya secara bersendirian maka hadits tersebut tidak mencapai derajat hasan. Namun, bila dilihat keseluruhan jalur periwayatan maka hadits tersebut menjadi kuat hingga mencapai derajat hasan.

  5. Hadits dho’if (الضعيف)
    Hadits dho’if adalah hadits yang tidak memenuhi persyaratan shohih dan hasan. Misalnya,”Jagalah diri-diri kalian dari gangguan orang lain dengan buruk sangka.”

    Dan yang kemungkinan besar merupakan hadits dho’if adalah hadits yang diriwayatkan secara bersendirian oleh ‘Uqaili, Ibn ‘Adi, Khatib Al Baghdadi, Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh-nya, Adailami dalam Musnad Firdaus, atau Tirmidzi Al Hakim dalam Nawadirul Ushul dan beliau bukanlah Tirmidzi penulis kitab Sunan atau Hakim dan Ibnu Jarud dalam Tarikh keduanya.

d. Hadits-hadits ahad (selain hadits dho’if) memberi dua faedah:

  1. Dzon, yaitu sangkaan kuat tentang sahnya penyandaran penukilan hadits dari seseorang. Dan hal ini bertingkat-tingkat sesuai tingkatnya masing-masing yang telah disebutkan. Terkadang hadits ahad memberi faedah ilmu jika ditemukan banyak indikator dan dikuatkan oleh ushul (kaedah pokok dalam syari’at)*.

    * Misalnya dengan indikator (qorinah), hadits tersebut diterima oleh seluruh umat. Tidak ada yang menolaknya misal hadits innamal ‘amalu biniyat. Ini termasuk hadits ghorib, akan tetapi karena seluruh ulama menerimanya, maka ini adalah qorinah yang menunjukkan bahwa hadits ini adalah benar-benar dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam. Atau hadits tersebut didukung oleh ushul, yaitu didukung oleh kaedah pokok dalam syari’at. Ada banyak ayat yang menunjukkan. kebenaran maksud dari hadits tersebut. Maka ini merupakan indikasi kuat bahwa Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkannya. Atau itu adalah hadits yang muttafaqun ‘alaih. Meskipun itu adalah hadits ahad atau ghorib. Namun itu menjadi qorinah yang kuat. Ini pendapat yang dirojihkan Syaikh Ibnu Utsaimin dalam masalah ini yaitu hadits ahad itu memberi faidah dzon kecuali ada qorinah. Jadi, hadits ahad itu memberi faidah ilmu (yakin) jika ada indikator-indikator pendukungnya. Dalam masalah ini ada 3 pendapat ulama, yaitu :Jika itu adalah hadits yang shohih meskipun ahad maka memberi faidah ilmu. Memberi makna yakin bahwa Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkannya. Ini adalah madzhabnya Imam Ibn Hazm.Memberi faidah dzon.

    Memberi makna keyakinan (’ilmu) bahwa Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkannya jika ada indikator penguat (maka jika tidak ada penguat maka memberi faedah dzon). Dan ini adalah pendapat yang dipilih Syaikh Islam Ibnu Taimiyah

  2. Mengamalkan kandungannya. Dengan mempercayainya jika berupa berita dan mempraktekkannya jika berupa tuntutan*.

    * Baik tuntutan untuk mengerjakannya atau tuntutan untuk meninggalkannya. Jadi hadits ahad memberi faedah amal. Jika hadits itu berupa masalah aqidah berupa masalah khobar maka tetap wajib menjadikannya sebagai aqidah dan mempercayainya. Jadi ucapan ulama bahwa hadits ahad yang shahih itu memberi makna sangkaan kuat, itu sama sekali tidak ada hubungannya bahwa dalam masalah aqidah tidak diamalkan. Meskipun ada tiga pendapat untuk masalah ini, meskipun ulama yang memilih dzon secara mutlak sekalipun, namun mereka tetap beramal dengan hadits ahad dalam masalah aqidah dalam masalah khobar dengan mempercayai dan mengimaninya sebagai bagian dari aqidah. Inilah curangnya Hizbut Tahrir.

    Ketika mereka mengatakannya bahwasannya mereka tidak mau menerima hadits ahad dalam masalah aqidah. Lalu mereka mengatakan yang mendukung kami adalah ulama ini, disebutkan satu dua tiga dst disebutkan. Padahal apa yang disebutkan oleh ulama tersebut bahwa hadits ahad memberi makna (dzon) sangkaan. Dan sangkaan yang dimaksudkan adalah sangkaan yang kuat bukan sekedar sangkaan. Sama sekali mereka tidak bermaksud dikarenakan itu memberi makna dzon kemudian tidak dipakai dalam masalah aqidah. Namun Hizbut Tahrir curang. Mereka katakan yang mendukung kami adalah ulama ini dan itu. Padahal ulama tersebut membicarakan dari segi itu memberi makna dzon atau tidak dan beliau merojihkan memberi makna dzon. Lalu apakah beliau mengatakan itu tidak diterima sebagai dalil dalam masalah aqidah? Tidak. Beliau tetap menerimanya sebagai dalil dalam masalah aqidah. Hanya saja ulama tersebut memilih memberi makna dzon. Karena mengamalkan hadits ahad dalam masalah aqidah adalah ijma ulama salaf. Sebagaimana dinukil oleh banyak ulama. Meskipun itu adalah hadits ahad, maka itu adalah memberi faidah amal dengan dijadikannya sebagai aqidah jika berisi masalah-masalah aqidah.

Adapun hadits yang dho’if, tidak memberi faedah dzon dan amal. Dan tidak boleh menganggapnya sebagai dalil. Tidak boleh pula menyebutkan hadits dho’if tanpa diiringi dengan penjelasan tentang dho’ifnya. Kecuali untuk masalah motivasi dan menakuti-nakuti (targhib wa tarhib). Maka diperbolehkan menyebutkan hadits dho’if dengan beberapa persyaratan menurut sebagian ulama. Sejumlah ulama memberi kemudahan untuk menyebutkan hadits dho’if dengan tiga syarat* .

*** Tiga syarat ini berasal dari Ibnu Hajar Al Asqolani. Kalau dalam masalah hukum, Imam Nawawi mengatakan bahwa ulama ijma tidak boleh berdalil dengan hadits dho’if dalam masalah hukum. Dan ada perselisihan dalam masalah fadhoil amal/masalah targhib dan tarhib. Ada ulama yang menolak hadits yang dho’if untuk targhib dan tarhib sebagai dalil secara mutlak. Ini adalah pendapat Imam Ibnu Hazm dan Imam Muslim. Inilah pendapat yang dirojihkan Syaikh Al Imam Al bani di Muqodimmah Shohih Jami Shogir. Namun ada ulama yang membolehkan dengan persyaratan. Semacam Ibnu Hajar Al Asqolani. membolehkan dengan tiga persyaratan ini.

  1. Dho’ifnya bukan dho’if yang sangat*.

    * Dho’ifnya tidak sangat, mungkin karena mursal atau ada rowi yang majhul.
  2. Hendaknya pokok amal yang disebutkan di dalamnya motivasi dan menakuti-nakuti ada berdasarkan hadits yang shohih*.

    * Misalnya, sholat dhuha adalah sholat yang disyariatkan berdasar hadits yang shohih. Kemudian ada hadits dho’if yang dho’ifnya ringan berkenaan keutamaan sholat dhuha. Artinya sholat dhuhanya sudah masru’ (disyari’atkan) berdasar hadits yang shohih. Tsabit berdasar hadits yang shohih. Misalnya juga tentang sholat malam. Tentang sholat malam haditsnya shohih kemudian ada hadits yang dho’ifnya ringan menceritakan tentang keutamaan orang yang melaksanakan sholat malam. Namun amalnya sudah masru berdasar hadits yang shohih.

    Jika amalnya belum jelas dalilnya, maka tidak boleh. Karena syaratnya ashlul amal (landasan beramal) terdapat dalil yang shohih. Misalnya ada satu hadis menyatakan keutamaan suatu amal dan tidak ada hadits shohih yang menyatakan disyariatkannya amalan ini maka tidak boleh menyebutkan hadits dho’if ini. Karena asal muasal amal yaitu ibadah yang hendak dimotivasi itu tidak disyariatkan sebab dasarnya adalah hadits yang shohih.


  3. Tidak diyakini bahwa Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkannya*.

    * Imam Albani rohimahullah mengatakan, “Jika tiga persyaratan ini diperhatikan oleh orang yang membolehkan hadits dho’if dalam fadhoilul a’mal maka selesai masalah”. Karena ketika menyampaikan dia tahu, misalnya ini adalah hadits mursal. Maka dia bisa memenuhi persyaratan ketiga karena tahu.Namun jika orangnya tidak mengetahui, ini lemahnya seberapa atau bahkan palsu bagaimana melakukan poin yang ketiga. Yang menjadi masalah ketika berdalil dengan hadits dho’if tentang suatu amal kemudian diingatkan mereka menyatakan, “Ini kan fadhoil amal/targhib dan tarhib. Kan boleh menurut sebagian ulama”.

    Namun ketika ditanya, bagaimana dengan persyaratannyat. Pertama dho’ifnya tidak sangat dan syarat ketiga tidak boleh yakin bahwa Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkannya, mereka bahkan tidak tahu Oleh karena itu jika tiga syarat ini diperhatikan, maka selesai masalah. Namun tiga persyaratan tersebut tidak bisa dipenuhi kecuali oleh pakar hadits. Sehingga dia tidak meyakini bahwa itu adalah bukan hadits dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam.

Berdasarkan keterangan di atas, maka faedah menyebutkan hadits dho’if ketika memotivasi suatu amal (targhib) adalah mendorong jiwa untuk melakukan amal yang dimotivasi untuk mengharapkan pahala itu. Kemudian jika mendapatkan pahala maka alhamdulillah dan jika tidak maka tidak menjadi masalah baginya kesungguhannya dalam beribadah. Karena ibadahnya disyari’atkan dan ada pahala di dalamnya. Karena orang tersebut masih mendapatkan pahala yang pokok, yaitu pahala asal amal yang berdasar hadits yang shohih yang merupakan konsekuensi melakukan suatu perkara yang diperintahkan. Sedangkan suatu perkara yang diperintahkan pasti ada pahalanya. Maka dia tidak kehilangan pahala yang asli.

Dan faidah menyebut hadits dho’if dalam tarhib adalah menakuti-nakuti jiwa untuk melakukan perkara yang ditakut-takutkan. Karena khawatir terjerumus dalam hukuman tersebut. Dan tidak masalah baginya jika dia menjauhinya dan tidak terjadi hukuman yang disebutkan.

***
Artikel muslimah.or.id

Taisir Musthalah Hadits (2): Pengertian Musthalah Hadits dan Pembagian Khabar Berdasarkan Jalan Periwayatan BAB I Mustholah hadits (مصطلح الجديث)

Taisir Musthalah Hadits (2): Pengertian Musthalah Hadits dan Pembagian Khabar Berdasarkan Jalan Periwayatan

BAB I

Mustholah hadits (مصطلح الجديث)

  1. Pengertian
  2. Faedah
  1. Mustholah hadits adalah ilmu yang menjadi alat untuk mengetahui kondisi seorang periwayat dan hadits yang diriwayatkan dari sisi diterima atau ditolak.
  2. Faedahnya adalah untuk mengetahui riwayat-riwayat yang diterima atau ditolak dari seorang periwayat dan hadits yang diriwayatkan.

Al Hadits, Al Khobar, Al Atsar, Al Hadits Qudsi

Al Hadits (الحديث)*:
Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam baik perbuatan, perkataan, persetujuan atau sifat** .

* Ini adalah pengertian hadtis secara istilah. Adapun pengertian secara bahasa bermakna “yang baru”.
** Ada 2 sifat : sifat jasmani dan sifat akhlak

Al Khobar (الخبر):
Semakna dengan hadits, maka definisinya sama dengan definisi al hadits. Ada yang berpendapat bahwa khobar adalah segala yang disandarkan kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam atau kepada selainnya, berdasarkan definisi ini maka khobar itu lebih umum dan lebih luas dari pada hadits.

Al Atsar (الأثر):
Segala yang disandarkan kepada para sahabat atau tabi’in, tapi terkadang juga digunakan untuk hadits yang disandarkan kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam, apabila berkait misal dikatakan atsar dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam.

Hadits Qudsi (الحديث القدسي):
Hadits yang diriwayatkan Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam dari Allah Ta’ala, juga dinamai juga hadits Rabbani dan hadits Ilahi. Misalnya perkataan Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam yang meriwayatkan dari Rabb Ta’ala, Dia berkata,

“Aku mengikuti persangkaan hamba-Ku, dan aku bersamanya ketika mengingat-Ku, jika dia meningat-Ku dalam dirinya: maka aku mengingatnya dalam diri-Ku, Jika dia mengingat-Ku dalam sekumpulan orang maka Aku mengingatnya dalam sekumpulan yang lebih baik dari sekumpulan orang tersebut.” *

* Di sini ada sifat an Nafs untuk Allah Ta’ala. Seperti dalam ayat 116 surat Al Maaidah, “Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau.”. Hadits Qudsi ini juga menjadi dalil bahwa malaikat lebih baik dari manusia. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memperinci, yaitu: jika melihat keadaan sekarang maka malaikat lebih mulia sedang jika melihat di akherat, maka manusia lebih mulia. Dan hadits ini bukan menjadi dalil untuk dzikir berjama’ah. “Jika dia mengingatku dalam sekumpulan orang” maksudnya orang-orang sekitarnya kemungkinan adalah orang yang lalai atau dia berada di majelis ilmu dan mengingat Allah.

Urutan Hadits Qudsi itu terletak antara Al Qur’an dan Hadits Nabi.

  • Al Qur’an Al Karim: Dinisbatkan kepada Allah Ta’ala baik lafadz maupun maknanya.
  • Hadits Nabi: Dinisbatkan kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam : lafadz dan maknanya.
  • Hadits Qudsi: Dinisbatkan kepada Allah Ta’ala maknanya tanpa lafadznya.

Maka, membaca hadits Qudsi tidak dinilai sebagi ibadah, tidak boleh dibaca dalam sholat, tidak terwujud dengannya tantangan* dan tidak dinukil secara mutawattir seperti Al Qur’an bahkan di dalamnya ada yang shohih, dho’if dan maudhu’.

* Mu’jizat adalah sesuatu yang diberikan Allah kepada Nabi dan Rasul untuk menerima tantangan. Jika itu benar mu’jizat, maka tidak akan ada yang berhasil menantangnya. Dan hal ini tidak berlaku untuk hadits qudsi.

Pembagian Khobar Berdasarkan Jalan Periwayatannya

Khobar terbagi menjadi dua berdasarkan jumlah jalan penukilannya sampai kita, yaitu mutawatir dan ahad.

Muttawatir

  1. Pengertian
  2. Macam-macamnya dan contohnya
  3. Faedahnya

1. Mutawattir (المتواتر):
Hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang yang secara ‘adat mereka mustahil bersepakat untuk berdusta dan mereka sandarkan pada sesuatu yang bisa diindra.

2. Mutawattir terbagi menjadi dua:
Muttawattir lafadz dan maknanya dan muttawattir maknanya saja.
Muttawattir lafadz dan maknanya (المتواتر لفظا و معنى) adalah hadits yang disepakati oleh para rowi lafadz dan maknanya. Misalnya sabda Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam,

من كذب عليّ معتمدا، فليتبوأ مقعده من النار

“Barangsiapa yang berdusta atasku maka bersiap-siaplah bertempat dineraka.”

Hadits ini diriwayatkan lebih dari 60 orang sahabat diantaranya 10 orang yang dijamin masuk surga dan dari mereka terdapat banyak orang yang meriwayatkan hadits tersebut.

Muttawattir makna (المتواتر معنى) adalah hadits yang disepakati maknanya walaupun lafadznya beda-beda. Semuanya bermuara pada satu poin yang sama. Misalnya hadits tentang syafaat dan hadits tentang mengusap kedua khuf. Terdapat syair yang berbunyi:

مما تواتر حديث من كذب و من بنى للّه بيتا زاحتسب
و رؤية شفاعة والحوض ومسح خفين و هذي بعض

Diantara hadits mutawatir adalah barangsiapa berdusta
dan barangsiapa membangun masjid dengan ikhlas
Juga hadits tentang syafaat melihat Allah diakherat, telaga
dan mengusap sepatu. Inipun baru sebagian.

c. Faedah dari dua jenis muttawattir ini:

  1. Ilmu, yaitu memastikan benarnya penisbatan hadits ini kepada yang dinukil darinya.
  2. Berkewajiban mengamalkan kandungan hadits dengan mempercayainya jika berupa khobar dan menerapkannya jika berupa tuntutan.

Insya Allah di edisi mendatang kita membahas Hadits Ahad.

***
Artikel muslimah.or.id

Taisir Musthalah Hadits (1): Pengantar

Taisir Musthalah Hadits (1): Pengantar

إن الحمد لله، نحمد ه، و نسفعينه، و نستغفره،و نعوذ باالله من شرور أنفسنا و من سئات أعمالنا. من يهد الله فلا مضل له و من يضلل فلا هادي له، و اشهد ان لا إله إلا الله و حده لا شريك له. و اشهد ان محمدا عبده و رسوله. صلى الله عليه و على اله و أصحابه، و من تبعهم بإحسان إلى يوم الدين. اما بعد

Tulisan ini disusun berdasarkan kajian kitab تيسير مصطلح الحديث (Taisir Musthalah Hadits) karya Syaikh Muhammad ibn Sholeh ibn ‘Utsaimin rohimahullah yang dibimbing oleh Al Ustadz Aris Munandar pada tanggal 23 Juli – 27 Juli 2006, bertepatan dengan Dauroh Nasional yang diadakan oleh Lembaga Bimbingan Islam Al-Atsary (LBIA – sekarang YPIA; Yayasan Pendidikan Islam Al Atsary) Yogyakarta di Masjid Pogung Raya Yogyakarta.

Penyusunan ulang pada asalnya diambil dari rekaman kajian tersebut. Namun, dengan berbagai kendala yang dihadapi (seperti suara yang kurang jelas, dan rekaman yang kurang lengkap) maka terdapat beberapa bagian disusun ulang berdasarkan catatan tertulis ketika ustadz menjelaskan dan ada pula yang merupakan hasil terjemahan penyusun sehingga tidak dilengkapi dengan penjelasan dari ustadz. Alhamdulillah, semua hasil penyusunan ini telah dimuroja’ah kembali oleh Al Ustadz Aris Munandar. Jazakumullahu khoiron atas waktu dan kesediaan beliau untuk merevisi tulisan ini. Pada naskah asli, penjelasan tambahan dari ustadz kami tulis pada footnote. Namun, pada website ini, maka penjelasan tersebut kami letakkan langsung di bawah kata atau kalimat yang dijelaskan oleh ustadz agar memudahkan pemahaman dan proses membaca bagi ikhwah.

Tulisan diserahkan kepada muslim.or.id dan muslimah.or.id agar dapat dipergunakan oleh ikhwah. Sesungguhnya tidak ada yang sempurna dari manusia yang penuh kesalahan. Maka, kami mengharapkan agar ikhwah memberitahukan jika terdapat kesalahan yang ada pada tulisan ini sehingga dapat direvisi dan kami ucapkan jazaakumullahu khoiro.

Tulisan ini disusun ulang oleh Ummu Ziyad, Ummu Sa’id, dan Ummu Hamzah. Untuk memudahkan pertanggungjawaban dari masing-masing penyusunan, maka detail penyusunan ulang adalah sebagai berikut:

Hal 1 – 16: oleh Ummu Hamzah
Hal 18 – 38: oleh Ummu Ziyad
Hal 38 – 50: oleh Ummu Sa’id
Hal 50 – 94: oleh Ummu Ziyad
Hal 95 – 117: oleh Ummu Sa’id

(halaman di sini merupakan halaman dari kitab asli)

Semoga Allah mengaruniakan keikhlasan dan keberkahan dalam amalan kami. Kami juga memohon kepada Allah, agar penyusunan ini menjadi ilmu yang bermanfaat bagi kami dan bagi orang-orang yang membutuhkannya. Segala puji hanya milik Allah, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kepada keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang setia mengikuti beliau dengan baik hingga hari kiamat.

***

بسم الله الرحمن الرحيم

Segala puji bagi Allah, kami memujinya, meminta kepada-Nya dan memohon ampunan-Nya dan kami berlindung kepada-Nya dari keburukan diri kami dan kejelekan amalan kami. Barangsiapa yang Allah berikan petunjuk, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang disesatkan Allah maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk. Dan aku bersaksi bahwasannya tidak ada ilah yang berhak disembah selain Allah dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwasannya Muhammad adalah hamba-Nya dan rasul-Nya Shalawat, salam semoga engkau curahkan atas nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wa sallam, keluarganya, sahabatnya dan siapa saja yang mengikuti jejaknya hingga datangnya hari kiamat, dan berserah diri dengan sebenar-benarnya.

Sesungguhnya Allah mengutus Muhammad shollallahu ‘alaihi wa sallam dengan petunjuk dan agama yang haq, agar menang terhadap seluruh agama yang ada dan Allah menurunkan padanya al-kitab dan al-hikmah. Adapun kitab adalah Al Qur’an dan hikmah adalah Sunnah agar beliau menjelaskan kepada manusia segala yang diturunkan pada mereka dan agar mereka merenung sehingga mereka mendapat petunjuk dan termasukorang-orang yang beruntung.

Kitab dan Sunnah

Kedua-duanya adalah landasan untuk tegaknya hujjah atas hamba-Nya sehingga manusia tidak lagi punya alasan dihadapan Allah Ta’ala. Dan dengan keduanya terbentuklah hukum-hukum yang berkaitan dengan i’tiqodiyah (keyakinan) dan amaliyah (perbuatan) yang wajib atau terlarang. Adapun menjadikan Al Qur’an sebagai sandaran hanya membutuhkan satu pertimbangan, yaitu pertimbangan kandungan nash terhadap hukum dan tidak membutuhkan pertimbangan sandarannya (yaitu apakah itu firman Allah atau bukan, shohih atau bukan). Karena keotentikan Al Qur’an adalah sebuah keniscayaan dengan penukilan yang mutawatir baik lafadz ataupun makna.

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

Artinya: “Kamilah yang menurunkan Ad Dzikr dan Kami pula yang menjaganya.” (Qs. Al-Hijr [15]: 9)

Sedangkan berdalil dengan As Sunnah membutuhkan dua pertimbangan : Yang pertama: Meneliti kepastian bahwa hadits tersebut dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam. Ingat! bahwa tidak semua yang dinisbahkan pada Nabi adalah riwayat yang shohih. Yang kedua: Meneliti penunjukan nash pada hukum. Untuk pertimbangan yang pertama, kita membutuhkan kaidah untuk membedakan hadits yang diterima atau ditolak berkaitan dengan riwayat-riwayat yang dinisbahkan pada Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini telah dilaksanakan oleh para ulama – rohimahullah – dan mereka namai kaidah-kaidah tersebut dengan “̏̎Mustholah Hadits”.

***

Artikel muslimah.or.id

Wahai Anakku, Cintailah Al-Qur’an!

Wahai Anakku, Cintailah Al-Qur’an!

Mengajarkan Al-Qur’an kepada anak adalah hal yang paling pokok dalam Islam. Dengan hal tersebut, anak akan senantiasa dalam fitrahnya dan di dalam hatinya bersemayam cahaya-cahaya hikmah sebelum hawa nafsu dan maksiat mengeruhkan hati dan menyesatkannya dari jalan yang benar.

Para sahabat nabi benar-benar mengetahui pentingnya menghafal Al-Qur’an dan pengaruhnya yang nyata dalam diri anak. Mereka berusaha semaksimal mungkin untuk mengajarkan Al-Qur’an kepada anak-anaknya sebagai pelaksanaan atas saran yang diberikan Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dalam hadits yang diriwayatkan dari Mush’ab bin Sa’ad bin Abi Waqqash,

“Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari).

Sebelum kita memberi tugas kepada anak-anak kita untuk menghafal Al-Qur’an, maka terlebih dahulu kita harus menanamkan rasa cinta terhadap Al-Qur’an. Sebab, menghafal Al-Qur’an tanpa disertai rasa cinta tidak akan memberi faedah dan manfaat. Bahkan, mungkin jika kita memaksa anak untuk menghafal Al-Qur’an tanpa menanamkan rasa cinta terlebih dahulu, justru akan memberi dampak negatif bagi anak. Sedangkan mencintai Al-Qur’an disertai menghafal akan dapat menumbuhkan perilaku, akhlak, dan sifat mulia.

Menanamkan rasa cinta anak terhadap Al-Qur’an pertama kali harus dilakukan di dalam keluarga, yaitu dengan metode keteladanan. Karena itu, jika kita menginginkan anak mencintai Al-Qur’an, maka jadikanlah keluarga kita sebagai suri teladan yang baik dengan cara berinteraksi secara baik dengan Al-Qur’an. Hal tersebut bisa dilakukan dengan cara memuliakan kesucian Al-Qur’an, misalnya memilih tempat paling mulia dan paling tinggi untuk meletakkan mushaf Al-Qur’an, tidak menaruh barang apapun di atasnya dan tidak meletakkannya di tempat yang tidak layak, bahkan membawanya dengan penuh kehormatan dan rasa cinta, sehingga hal tersebut akan merasuk ke dalam alam bawah sadarnya bahwa mushaf Al-Qur’an adalah sesuatu yang agung, suci, mulia, dan harus dihormati, dicintai, dan disucikan.

Sering memperdengarkan Al-Qur’an di rumah dengan suara merdu dan syahdu, tidak memperdengarkan dengan suara keras agar tidak mengganggu pendengarannya. Memperlihatkan pada anak kecintaan kita pada Al-Qur’an, misalnya dengan cara rutin membacanya.

Adapun metode-metode yang bisa digunakan anak mencintai Al-Qur’an diantaranya adalah:

1. Bercerita kepada anak dengan kisah-kisah yang diambil dari Al-Qur’an.

Mempersiapkan cerita untuk anak yang bisa menjadikannya mencintai Allah Ta’ala dan Al-Qur’an Al-Karim, akan lebih bagus jika kisah-kisah itu diambil dari Al-Qur’an secara langsung, seperti kisah tentang tentara gajah yang menghancurkan Ka’bah, kisah perjalanan nabi Musa dan nabi Khidir, kisah Qarun, kisah nabi Sulaiman bersama ratu Bilqis dan burung Hud-hud, kisah tentang Ashabul Kahfi, dan lain-lain.

Sebelum kita mulai bercerita kita katakan pada anak, “Mari Sayangku, bersama-sama kita dengarkan salah satu kisah Al-Qur’an.”

Sehingga rasa cinta anak terhadap cerita-cerita itu dengan sendirinya akan terikat dengan rasa cintanya pada Al-Qur’an. Namun, dalam menyuguhkan cerita pada anak harus diperhatikan pemilihan waktu yang tepat, pemilihan bahasa yang cocok, dan kalimat yang terkesan, sehingga ia akan memberi pengaruh yang kuat pada jiwa dan akal anak.

2. Sabar dalam menghadapi anak.

Misalnya ketika anak belum bersedia menghafal pada usia ini, maka kita harus menangguhkannya sampai anak benar-benar siap. Namun kita harus selalu memperdengarkan bacaan Al-Qur’an kepadanya.

3. Menggunakan metode pemberian penghargaan untuk memotivasi anak.

Misalnya jika anak telah menyelesaikan satu surat kita ajak ia untuk jalan-jalan/rekreasi, atau dengan menggunakan lembaran prestasi/piagam penghargaan, sehingga anak akan semakin terdorong untuk mengahafal Al-Qur’an.

4. Menggunakan semboyan untuk mengarahkan anak mencintai Al-Qur’an.

Misalnya :
Saya mencintai Al-Qur’an.
Al-Qur’an Kalamullah.
Allah mencintai anak yang cinta Al-Qur’an.
Saya suka menghafal Al-Qur’an.
Atau sebelum menyuruh anak memulai menghafal Al-Quran, kita katakan kepada mereka, “Al-Qur’an adalah kitab Allah yang mulia, orang yang mau menjaganya, maka Allah akan menjaga orang itu. Orang yang mau berpegang teguh kepadanya, maka akan mendapat pertolongan dari Allah. Kitab ini akan menjadikan hati seseorang baik dan berperilaku mulia.”

5. Menggunakan sarana menghafal yang inovatif.

Hal ini disesuaikan dengan kepribadian dan kecenderungan si anak (cara belajarnya), misalnya :

  • Bagi anak yang dapat berkonsentrasi dengan baik melalui pendengarannya, dapat menggunakan sarana berupa kaset, atau program penghafal Al-Qur’an digital, agar anak bisa mempergunakannya kapan saja, serta sering memperdengarkan kepadanya bacaan Al-Qur’an dengan lantunan yang merdu dan indah.
  • Bagi anak yang peka terhadap sentuhan, memberikannya Al-Qur’an yang cantik dan terlihat indah saat di bawanya, sehingga ia akan suka membacanya, karena ia ditulis dalam lembaran-lembaran yang indah dan rapi.
  • Bagi anak yang dapat dimasuki melalui celah visual, maka bisa mengajarkannya melalui video, komputer, layer proyektor, melalui papan tulis, dan lain-lain yang menarik perhatiannya.

6. Memilih waktu yang tepat untuk menghafal Al-Qur’an.
Hal ini sangat penting, karena kita tidak boleh menganggap anak seperti alat yang dapat dimainkan kapan saja, serta melupakan kebutuhan anak itu sendiri. Karena ketika kita terlalu memaksa anak dan sering menekannya dapat menimbulkan kebencian di hati anak, disebabkan dia menanggung kesulitan yang lebih besar. Oleh karena itu, jika kita ingin menanamkan rasa cinta terhadap Al-Qur’an di hati anak, maka kita harus memilih waktu yang tepat untuk menghafal dan berinteraksi dengan Al-Qur’an.

Adapun waktu yang dimaksud bukan saat seperti di bawah ini:
Setelah lama begadang, dan baru tidur sebentar,
Setelah melakukan aktivitas fisik yang cukup berat,
Setelah makan dan kenyang,
Waktu yang direncanakan anak untuk bermain,
Ketika anak dalam kondisi psikologi yang kurang baik,
Ketika terjadi hubungan tidak harmonis anatara orangtua dan anak, supaya anak tidak membenci Al-Qur’an disebabkan perselisihan dengan orangtuanya.

Kemudian hal terakhir yang tidak kalah penting agar anak mencintai Al-Qur’an adalah dengan membuat anak-anak kita mencintai kita, karena ketika kita mencintai Al-Qur’an, maka anak-anak pun akan mencintai Al-Qur’an, karena mereka mengikuti orang yang dicintai. Adapun beberapa cara agar anak-anak kita semakin mencintai kita antara lain:

  • Senantiasa bergantung kepada Allah, selalu berdo’a kepada Allah untuk kebaikan anak-anak. Dengan demikian Allah akan memberikan taufikNya dan akan menyatukan hati kita dan anak-anak.
  • Bergaul dengan anak-anak sesuai dengan jenjang umurnya, yaitu sesuai dengan kaedah, “Perlakukan manusia menurut kadar akalnya.” Sehingga kita akan dengan mudah menembus hati anak-anak.
  • Dalam memberi pengarahan dan nasehat, hendaknya diterapkan metode beragam supaya anak tidak merasa jemu saat diberi pendidikan dan pengajaran.
  • Memberikan sangsi kepada anak dengan cara tidak memberikan bonus atau menundanya sampai waktu yang ditentukan adalah lebih baik daripada memberikan sangsi berupa sesuatu yang merendahkan diri anak. Tujuannya tidak lain supaya anak bisa menghormati dirinya sendiri sehingga dengan mudah ia akan menghormati kita.
  • Memahami skill dan hobi yang dimiliki anak-anak, supaya kita dapat memasukkan sesuatu pada anak dengan cara yang tepat.
  • Berusaha dengan sepenuh hati untuk bersahabat dengan anak-anak, selanjutnya memperlakukan mereka dengan bertolak pada dasar pendidikan, bukan dengan bertolak pada dasar bahwa kita lebih utama dari anak-anak, mengingat kita sudah memberi makan, minum, dan menyediakan tempat tinggal. Hal ini secara otomatis akan membuat mereka taat tanpa pernah membantah.
  • Membereskan hal-hal yang dapat menghalangi kebahagiaan dan ketenangan hubungan kita dengan anak-anak.
  • Mengungkapkan rasa cinta kepada anak, baik baik dengan lisan maupun perbuatan.

Itulah beberapa point cara untuk menumbuhkan rasa cinta anak kepada Al-Qur’an. Semoga kegiatan menghafal Al-Qur’an menjadi hal yang menyenangkan bagi anak-anak, sehingga kita akan mendapat hasil sesuai yang kita harapkan.

Diringkas dari Agar Anak Mencintai Al-Qur’an, Dr. Sa’ad Riyadh

***

Artikel muslimah.or.id

SOLUSI ISLAM UNTUK MENGATASI KRISIS EKONOMI GLOBAL

SOLUSI ISLAM UNTUK MENGATASI KRISIS EKONOMI GLOBAL
Oleh : Ir. H. Budi Suherdiman Januardi, MM.

Islam sebagai satu-satunya ad-dien yang Alloh Swt ridloi dan pilih bagi umat manusia sejak era Nabi Adam As dan disempurnakan para era kerasulan Muhammad Saw dimaksudkan untuk meregulasi tatanan kehidupan manusia agar selamat baik di dunia maupun akhirat. Sebagai sebuah sistem, dienul-Islam yang mencakup aqidah, akhlaq dan syari’at merupakan undang-undang ilahiyah berisi berbagai aturan kehidupan.

Diantara keagungan sistem Islam adalah sistem perekonomian yang sering kita sebut dengan ekonomi syari’ah. Jika instrumen ekonomi syari’ah diimplementasikan, maka beberapa masalah krusial perekonomian bisa diantisipasi sehingga tidak menimbulkan krisis ekonomi maupun finansial sebagaimana yang saat ini tengah terjadi.

Beberapa instrumen ekonomi Islam diantaranya adalah zakat serta sistem mata uang dinar dan dirham yang telah terbukti mampu mengatasi berbagai gejolak perekonomian maupun finansial, sebagaimana telah dibuktikan dalam sejarah masa kejayaan Islam ketika institusi kepemimpinan Islam (khilafah) masih berdiri.

ZAKAT

Zakat sebagai salah satu pilar (rukun) Islam merupakan instrumen strategis dari sistem perekonomian Islam yang dapat memberikan kontribusi besar terhadap penanganan problem kemiskinan serta problem sosial lainnya, karena zakat dalam pandangan Islam merupakan “hak fakir miskin yang tersimpan dalam kekayaan orang kaya’.

Sebagai sebuah kewajiban, maka zakat merupakan kewajiban minimal dari harta seorang muslim, yang menurut DR. Didin Hafidhuddin “zakat adalah batas kekikiran seorang muslim”.

Menurut DR. Yusuf Al-Qardhawi, zakat merupakan suatu sistem yang belum pernah ada pada agama selain Islam juga dalam peraturan-peraturan manusia. Zakat mencakup sistem keuangan, ekonomi, sosial, politik, moral dan agama sekaligus. Zakat adalah sistem keuangan dan ekonomi karena ia merupakan pajak harta yang ditentukan. Sebagai sistem sosial karena berusaha menyelamatkan masyarakat dari berbegai kelemahan. Sebagai sistem politik karena pada asalnya negaralah yang mengelola pemungutan dan pembagiannya. Sebagai sistem moral karena ia bertujuan membersihkan jiwa dari kekikiran orang kaya sekaligus jiwa hasud dan dengki orang yang tidak punya. Sebagai sistem keagamaan karena menunaikannya adalah salah satu tonggak keimanan dan ibadah tertinggi dalam mendekatkan diri kepada Alloh Swt.

Zakat tidak hanya difahami secara sempit yang hanya ditunaikan setahun sekali pada momentum bulan Ramadlan melalui pembayaran zakat fitrah, akan tetapi ruang lingkup zakat sangatlah luas. Selain zakat fitrah, seorang muslim yang telah masuk pada kategori ‘muzzaki’ yang kekayaannya telah mencapai ‘nishab’ (jumlah minimal yang harus dipenuhi sebelum mengeluarkan zakat yaitu senilai 85 gram emas) dan harus dibayarkan setiap tahun, juga wajib menunaikan zakat maal (zakat kekayaan) yang menurut DR. Yusuf Al-Qardhawi meliputi: Zakat binatang ternak; Zakat emas dan perak/zakat uang; Zakat kekayaan dagang; Zakat pertanian; Zakat madu dan produksi hewani; Zakat barang tambang dan hasil laut; Zakat investasi pabrik, gedung, dll; Zakat pencarian dan profesi; serta Zakat saham dan obligasi.

Secara teknis, pemungutan dan pendistribusian zakat akan sangat efektif jika dilakukan oleh sebuah lembaga yang mempunyai otorisasi serta kekuatan memaksa dalam sebuah pemerintahan. Bagian dari institusi pemerintah yang berkompeten melakukan pemungutan zakat yaitu Badan Amil Zakat. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan Alloh Swt dalam firman-Nya dalam Surat At-Taubah (9) ayat 103:
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendo'alah untuk mereka. Sesungguhnya do'a kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Alloh Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.

Sejarah mencatat, bahwa persoalan kesejahteraan masyarakat merupakan fokus utama kepedulian dari para pemimpin Islam. Betapa besarnya kepedulian para pemimpin Islam terhadap persoalan tersebut diantaranya diperlihatkan oleh sikap tegas Abu Bakr Shiddiq ra sebagaimana terlihat dari komitmennya melalui pidato sesaat setelah pengukuhan sebagai Khalifah pertama sepeninggal Rasulullah Muhammad Saw, dimana beliau mengatakan:
“.......yang terlemah diantara kamu aku anggap terkuat sampai aku mengambil dan memulangkan haknya, yang terkuat diantara kamu aku anggap terlemah sampai aku mengembalikan hak si lemah dari tangannya....…”.
Komitmen serta sikap tegas Abu Bakr Shiddiq ra tersebut kemudian terlihat melalui implementasi salah satu programnya dalam penanganan zakat, dan beliau mengambil sikap tegas terhadap para pihak dari kalangan muslim yang masih enggan menunaikan kewajiban zakat. Secara konsisten kebijakan tersebut kemudian diteruskan secara estapeta oleh para khalifah sesudahnya.

Dalam implementasi sistem pemerintahan Islam, pengelolaan zakat ternyata tidak hanya mampu meminimalisir angka kemiskinan, bahkan sampai mampu mengeliminir tingkat kemiskinan dalam kehidupan sosial dan kemasyarakatan. Karena dengan zakat, status sosial warga negara yang semula merupakan pihak yang berhak menerima zakat (mustahik), berubah status menjadi pihak yang berkewajiban menunaikan zakat (muzzaki), dimana warga negara bersangkutan telah bergeser dari miskin menjadi kaya.

Sejarah monumental masa kepemimpinan Islam zaman kekhilafahan Daulat Umayyah yaitu saat Umar bin Abdul Aziz (717-720 M) memimpin-yang walaupun singkat, selama 2,5 tahun (30 bulan) telah membuktikan bahwa kesejahteraan masyarakat secara merata benar-benar terwujud.

Hal ini sebagaimana disebutkan dalam buku “Umar bin Abdul Aziz Perombak Wajah Pemerintahan Islam”, tulisan Imaduddin Kholil yang diterbitkan oleh Pustaka Mantiq, Solo (1992) pada halaman 142-144:
“Pada masanya keamanan dirasakan oleh setiap penduduk dimanapun mereka berada di wilayah kedaulatan Islamiyah. Hampir semua warga negara menjadi kaya. Saat itu tidak lagi ditemukan fakir miskin yang berhak menerima zakat dan shadaqah. Keadaan ini membuat para orang kaya kesulitan untuk memecahkan persoalan, kewajiban yang harus ditunaikan. Kesejahteraan yang merata dapat dicerminkan lewat ucapan Yahya bin Said, amil zakat dari Khalifah untuk daerah Afrika, beliau berkata: ‘Aku diutus Khalifah Umar bin Abdul Aziz untuk mengelola zakat di Afrika. Setelah terkumpul semua, aku kebingungan mencari siapa yang harus kuberi. Di sana tiada seorangpun yang fakir dan yang mau menerima pemberian pembagian zakat. Itu disebabkan Umar telah membuat kaya penduduknya. Dan akhirnya zakat itupun kupakai untuk menebus para budak, membebaskan mereka dan menggabungkannya dengan para muslimin yang lain’.

Problem kemiskinan yang semakin hari semakin tak terkendali, sesungguhnya terletak pada besarnya ketimpangan (disparitas) kekayaan antara yang kaya dan miskin. Dalam pengimplementasian zakat, persoalan pendistribusiannya yang tepat sasaran sesuai dengan para fihak yang berhak menerimanya sesuai dengan yang telah ditetapkan Al Quran akan dapat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap upaya mendokrak tingkat kesejahteraan masyarakat terutama masyarakat yang masih terbelit dengan belenggu kemiskinan harta.

Dalam pandangan Islam, sasaran zakat merupakan hal sangat penting, sehingga terdapat hadits yang menjelaskan bahwa untuk menentukan sasaran zakat seakan-akan Alloh tidak rela bila Rasulullah Saw sendiri yang menetapkannya, sehingga Alloh Swt menurunkan ayat ke-60 dalam Al-Quran Surat At-Taubah, dimana disebutkan 8 sasaran (asnaf) untuk pendistribusian zakat yaitu:
(1) Orang fakir: orang yang amat sengsara hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi penghidupannya;
(2) Orang miskin: orang yang tidak cukup penghidupannya dan dalam keadaan kekurangan.
Berdasarkan Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim, "Orang miskin itu bukanlah mereka yang berkeliling minta-minta agar diberi sesuap atau dua suap nasi, satu atau dua biji kurma, tapi orang miskin itu ialah mereka yang hidupnya tidak berkecukupan kemudian diberi sedekah, dan merekapun tidak pergi meminta-minta pada orang".
Berkenaan dengan golongan fakir dan miskin, DR. Yusuf Al-Qardhawi menjelaskan beberapa hal:

  • Fakir miskin hendaklah diberikan harta zakat yang mencukupi kebutuhannya sampai dia bisa menghilangkan kefakirannya. Bagi yang mampu bekerja hendaknya diberikan peralatan dan lapangan pekerjaan. Sedangkan bagi yang tidak mampu lagi bekerja (orang jompo, cacat fisik), hendaknya disantuni seumur hidupnya dari harta zakat;
  • Dengan demikian jelas bahwa tujuan zakat bukanlah memberi orang miskin satu atau dua dirham, tapi dimaksudkan untuk memberikan tingkat hidup yang layak. Layak sebagai manusia yang didudukan Alloh Swt sebagai khalifah di muka bumi, dan layak sebagai muslim yang telah masuk ke dalam agama keadilan dan kebaikan, yang telah masuk ke dalam ummat pilihan dari kalangan manusia;
  • Tingkat hidup minimal bagi seseorang ialah dapat memenuhi makan dan minum yang layak untuk diri dan keluarganya, demikian pula pakaian untuk musim dingin dan musim panas, juga mencakup tempat tinggal dan keperluan-keperluan pokok lainnya baik untuk diri dan tanggungannya.

(3) Pengurus zakat (Amil zakat): adalah mereka yang melaksanakan segala kegiatan urusan zakat, dimana Alloh Swt menyediakan upah bagi mereka dari harta zakat sebagai imbalan. Dimasukkannya amil sebagai ashnaf menunjukkan bahwa zakat dalam Islam bukanlah suatu tugas yang hanya diberikan kepada seseorang secara individu, tapi merupakan tugas jama’ah bahkan menjadi tugas negara.
(4) Muallaf: orang kafir yang ada harapan masuk Islam dan orang yang baru masuk Islam yang imannya masih lemah.
(5) Memerdekakan budak: mencakup juga untuk melepaskan muslim yang ditawan oleh orang-orang kafir.
(6) Orang yang berhutang (gharimin): yaitu orang yang berhutang untuk kemaslahatan sendiri (seperti untuk nafkah keluarga, sakit, mendirikan rumah dsb). Termasuk didalamnya orang yang terkena bencana sehingga hartanya musnah. Juga orang yang berhutang untuk kemaslahatan orang lain, seperti untuk memelihara persatuan umat Islam dibayar hutangnya itu dengan zakat, walaupun ia mampu membayarnya.
(7) Untuk kepentingan sabilillah (pada jalan Allah): yaitu untuk keperluan pertahanan Islam dan kaum muslimin. Diantara mufasirin ada yang berpendapat bahwa fisabilillah itu mencakup juga kepentingan-kepentingan umum seperti mendirikan sekolah, rumah sakit dan lain-lain.
(8) Orang yang sedang dalam perjalanan (ibnu sabil) yang perjalannya tidak dimaksudkan untuk maksiat dan dia mengalami kesengsaraan dalam perjalanannya.
Pengimplementasian zakat yang profesional, transparan dan akuntabel akan berimplikasi terhadap lancarnya perputaran perekonomian, karena dengan memobilisasi potensi dana umat dari zakat tersebut harta tidak lagi hanya berputar di kalangan para pihak yang memiliki kekayaan saja, akan tetapi terdistribusi secara adil. Pendistribusian zakat secara tepat sasaran juga dapat memberikan akses produktif bagi orang-orang miskin.

Pada sisi ini kita dapat melihat bahwa betapa indahnya ajaran Islam yang sangat peduli terhadap persoalan sosial kemasyarakatan.



SISTEM MATA UANG DINAR DAN DIRHAM

Instrumen kedua yang sangat strategis dalam perekonomian Islam adalah sistem mata uang dinar dan dirham. Hal ini mengingat bahwa sistem moneter dalam Islam adalah berbasis emas dan perak. Diterapkannya sistem perdagangan dengan menggunakan emas dan perak dalam mata uang dinar (Gold dinar) dan dirham dalam kekhilafahan Islam telah membuktikan terkendalinya angka inflasi.

Inflasi sesungguhnya merupakan suatu kemudlaratan ekonomi yang sejatinya harus ditekan, karena dengan terjadinya inflasi berarti telah terjadi sebuah fenomena yang signifikan terhadap meningkatnya kemiskinan masyarakat. Dengan demikian, maka penerapan sistem mata uang dinar dan dirham secara luas, akan ikut mengurangi tingkat inflasi yang selama ini terus membayangi sistem perekonomian berbagai negara akibat penerapan sistem ekonomi konvensional (kapitalisme) yang menggunakan uang kertas (fiat money) yang tak terkendali. Sehingga berkurangnya angka inflasi sebagai dampak positif dari diterapkannya gold dinar, sesungguhnya merupakan upaya menghilangkan belenggu kemiskinan masyarakat.

Dengan demikian, maka jika stabilitas perekonomian suatu negara ingin terwujud, solusi jitunya adalah dengan “bergantinya penggunaan sistem keuangan dari uang kertas ke uang emas”. Kita yakin bahwa sejalan dengan akan kembalinya kejayaan Islam dan umatnya untuk kali ke dua, penerapan kembali dinar dan dirham juga merupakan suatu keniscayaan, karena penerapan dinar akan menciptakan kemashlahatan dan keadilan ekonomi.

Jika kita simak, ternyata dengan diterapkannya mata uang dinar dan dirham akan didapatkan beberapa keunggulan, baik secara mikro maupun makro ekonomi, diantaranya:

  • Gold dinar memiliki stabilitas tinggi yang nilainya tidak fluktuatif sehingga jika dikomparasi dengan mata uang lainnya tidak akan terdepresiasi bahkan terus terapresiasi. Sejarah telah membuktikan bahwa pada zaman Nabi Muhammad Saw, harga seekor ayam harganya satu dirham, dimana dengan uang yang sama (satu dirham saat ini setara dengan tiga gram perak), seekor ayam masih bisa kita dibeli. Hal ini membuktikan bahwa emas (dinar) dan perak (dirham) merupakan extra ordinary currency (anti inflasi). Sehingga pada masa kerasulan Muhammad Saw yang dilanjutkan oleh Khulafaur-Rasyidin dan para Khalifah sesudahnya dalam pengelolaan pemerintahannya sangat jarang terjadi resesi ekonomi.
  • Gold dinar merupakan mata uang yang berbasis komoditi (commodity money), karena adanya keseimbangan antara nilai instrinsik dengan nilai nominal yang terdapat pada gold dinar. Bahkan nilai instrinsik dari gold dinar merupakan garansi dan perlindungan jika terjadinya situasi eksternal yang tidak diinginkan.
  • Penerapan dinar dan dirham akan terhindarkan dari upaya menjadikan uang sebagai komoditas. Krisis ekonomi global saat ini diantaranya terjadi karena tidak difungsikannya secara penuh uang sebagaimana mestinya sebagai alat tukar, akan tetapi telah bergeser menjadi komoditas yang diperjualbelikan sehingga sangat menguntungkan bagi para spekulan pada berbagai transaksi maya di pasar uang. Kondisi tersebut akan menguntungkan bagi para pihak yang memiliki dana banyak untuk mengendalikan pasar uang, sehingga terjadilah ketergantungan suatu negara yang labil dalam hal politik maupun ekonominya terhadap negara yang memiliki power. Secara politis, penerapan gold dinar dalam sistem keuangan suatu negara akan memandirikan suatu negara, sehingga tidak lagi tergantung pada dominasi negara luar. Karena penerapan sistem ekonomi dengan menggunakan keuangan gold dinar, berarti menerapkan sistem ekonomi berbasis keadilan (fairness), yang mana faktor keadilan ini tidak dimiliki oleh sistem manapun selain sistem Islam.
  • Tidak seperti halnya mata uang kertas yang sangat mudah untuk dipalsukan, maka penggunaan gold dinar dapat menghilangkan upaya pemalsuan uang dari pihak-pihak tertentu.

Tidak terjadinya jurang pemisah yang sangat lebar antara si kaya dan si miskin dengan terdistribusinya pendapatan melalui pengelolaan zakat yang tepat sasaran serta diberlakukannya mata uang dinar dan dirham akan menjadikan sebuah keseimbangan antara sektor finansial dengan sektor riil, karena jumlah uang yang beredar sama banyaknya dengan nilai barang dan jasa dalam perekonomian, sehingga perkembangan sektor keuangan tidak akan berjalan sendiri, tanpa terkait dengan sektor ril. Hal ini akan berimplikasi terhadap pertumbuhan ekonomi sekaligus terciptanya stabilitas ekonomi masyarakat.

Dalam ekonomi Islam, sektor finansial selalu mengikuti pertumbuhan sektor ril. Inilah perbedaan konsep ekonomi dalam Islam dengan konsep ekonomi konvensional yang kapitalistik, dimana dalam ekonomi kapital, pemisahan antara sektor finansial dengan sektor ril merupakan keniscayaan. Implikasi dari adanya pemisahan itu, maka ekonomi dunia sangat rawan terhadap gonjang-ganjing krisis. Hal ini disebabkan pelaku ekonomi menggunakan uang tidak untuk kepentingan sektor ril, tetapi untuk kepentingan spekulasi mata uang semata. Akibat adanya spekulasi tersebut, maka jumlah uang yang beredar sangat tidak seimbang dengan jumlah barang pada sektor ril.

Dengan diterapkannya sistem ekonomi syari’ah, maka kita akan terhindar dari gharar (spekulasi); maisyir maupun riba, sehingga keberkahan Alloh Swt akan dirasakan bersama, sebagaimana yang Alloh Swt ingatkan dalam Al Quran Surat Al A’raf ayat 96:

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya”.

Dalam menghadapi berbagai malapetaka (fitnah) sekarang ini, terutama menghadapi krisis ekonomi global yang konstelasinya cenderung terus memburuk, beberapa peringatan dari lisan seorang yang suci, Muhammad Saw kiranya perlu kita renungkan bersama:

Peringatan Pertama : Hadits Riwayat Ibnu Majah; Al-Bazar; Al-Hakim; Al-Baihaqi dan Abu Nu’aim : “Wahai kaum muhajirin, ada lima hal yang aku berlindung kepada Alloh agar kalian tidak mengalaminya:

  • Tidaklah perbuatan keji (zina) nampak pada suatu kaum hingga mereka terang-terangan melakukannya, melainkan mereka akan ditimpa berbagai macam wabah penyakit (tha’un) dan kelaparan yang belum pernah menimpa orang-orang sebelum mereka;
  • Tidaklah suatu kaum yang mengurangi takaran dan timbangan, melainkan mereka akan ditimpa ‘as-sinin’ (paceklik, kemarau panjang), sulitnya mendapatkan makanan, dan jahatnya (sikap zhalim) penguasa terhadap mereka;
  • Tidaklah suatu kaum enggan mengeluarkan zakat dari harta mereka, melainkan akan terhalang hujan dari langit, kalau saja bukan karena binatang, niscaya tidak diturunkan hujan atas mereka;
  • Tidaklah suatu kaum melanggar janji Alloh dan Rasul-Nya, melainkan Alloh menjadikan mereka dikuasai musuh-musuh yang bukan dari golongan mereka, kemudian musuh mereka itu akan mengambil harta yang mereka miliki;
  • Dan selama pemimpin-pemimpin mereka tidak menerapkan hukum Alloh dan memilih-milih apa yang Alloh turunkan didalam kitab-Nya, niscaya Alloh akan menjadikan al-ba’s (bala bencana, kekerasan dan keributan) terjadi di tengah-tengah mereka”.

Peringatan Kedua : Hadits Riwayat Ibnu Najar (Dalam Kitab ‘Muntakhob Kanzu’l-Ummal):
“Tidaklah Alloh murka terhadap suatu umat, kecuali akan dinaikkannya harga-harga, hancurnya pasar (dimana angka inflasi tinggi sedangkan daya beli masyarakat rendah) serta akan lebih banyak berbagai bentuk kemungkaran, dan semakin hebatnya penyelewengan-penyelewengan di bidang hukum yang dilakukan oleh para penguasa. Maka sebagai akibat dari kondisi seperti itu orang-orang kaya tidak lagi menunaikan kewajiban berzakat; para penguasa tidak lagi memiliki harga diri (karena hilangnya rasa malu) serta orang-orang fakir (miskin) tidak lagi melaksanakan kewajiban shalat”.

Oleh karena itu, tiada jalan lain untuk dapat keluar dari berbagai persoalan hidup termasuk krisis ekonomi global sekarang ini yaitu dengan kembali pada penerapan sistem Islam dalam berbagai lapangan kehidupan. Tiada lagi yang diagungkan kecuali hanya Alloh Swt yang dengan kegagahan-Nya berada di atas ketinggian, di atas Arsy-Nya yang agung. Dia-lah yang mengetahui berbagai kelemahan dan persoalan hamba-Nya. Dengan kasih sayang-Nya, Alloh Swt telah memilih Islam sebagai satu-satunya sistem kehidupan untuk menuntun manusia agar terselamatkan.

Mengakhiri tulisan ini, sebuah ungkapan dari Umar bin Kaththab ra kiranya perlu kita simak bersama, dimana beliau pernah berujar: “Dahulu kami adalah kaum yang paling hina, lalu kami dimuliakan Alloh dengan Islam. Andaikan kami mencari kemuliaan dengan selain apa yang Alloh muliakan, tentu Alloh akan menghinakan kami”.


Wallohu a'lam

www.dudung.net